Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Republik Argentina
Asosiasi: Argentina Football Association
Berdiri: 1893
Gabung FIFA: 1912
Keikutsertaan: 14
Juara: 2 kali (1978, 1986)
Prediksi: Perempat final
DI rumah itu, mereka biasa mengobrol. Tentang apa saja. Tentang Benjamin—si kecil yang lucu—atau tentang makanan dan minuman. Juga tentang sepak bola. Lawan bicara Sergio ”Kun” Aguero, sang tuan rumah, bukanlah orang sembarangan.
Tamu itu adalah Diego Maradona, 49 tahun, orang penting di La Albiceleste. Namun Maradona juga calon mertua Kun. Gianina, anak Maradona, adalah tunangan Kun. Meski baru tunangan, kisah kasihnya telah membuahkan anak laki-laki, Benjamin.
Nah, tiap kali ke Madrid, Maradona dipastikan singgah di rumah Kun. ”Tapi kalau kami bicara sepak bola, hanya hal-hal umum. Tak pernah membahas tim nasional,” kata Kun, pemain Tim Tango. Dia mengaku, meski menjadi calon menantu sang manajer, dia tak pernah tahu persis nasibnya di tim nasional Argentina. Apakah dia terus bergabung atau malah ditendang.
Kun tidak sedang bersilat lidah. Tim Tango sepenuhnya milik Maradona. Pemain mana yang akan dibawa dan taktik permainan apa yang akan diperagakan di lapangan mutlak hanya ada di dalam batok kepala Maradona.
Diego Maradona berhasil duduk di kursi paling penting Tim Tango sejak 2008. Saat itu Julio Grandona, Ketua Federasi Sepak Bola Argentina, menunjuknya menggantikan Alfio Basile, pelatih sebelumnya.
Alasannya, telah lama Grandona berharap legenda itu menggarap tim nasional. Maradona bukan tidak punya pengalaman menjadi orang di pinggir lapangan. Namun rekornya tak terlalu memukau. Dia gagal ketika melatih klub Deportivo Mandiyu, yang kemudian disusul Racing Club, tak lama setelah pensiun pada pertengahan 1990-an. Toh, Grandona optimistis. ”Argentina akan memiliki sepak bola yang berbeda sebelum dan sesudah ditangani Maradona,” katanya.
Tim Tango memang jauh berubah. Tim ini menjadi tak jelas bentuknya. Si manajer tak ubahnya sedang main game. Sesuka hatinya dia memanggil dan memulangkan pemain. Total lebih dari 100 pemain hilir-mudik dalam skuadnya.
Bukan hanya itu. Maradona dinilai kepala batu dan sangat subyektif. Juan Riquelme, pilar Argentina di Piala Dunia 2006 di Jerman, sama sekali tak diliriknya. Sebabnya sepele. Bintang Boca Junior itu ogah bergabung dengan Maradona karena merasa tak cocok dengan permainannya. Tanpa ampun, namanya disetip selamanya.
Perilaku Maradona itu tak pelak mengundang kritik. ”Dia boleh saja menjadi pemain besar sepanjang masa. Tapi sesungguhnya dia pelatih yang buruk. Orang pun tahu soal itu,” kata Jorge Lanata, jurnalis Argentina yang juga penulis berbagai buku sejarah negeri itu. Tapi Maradona santai saja. ”Mereka membicarakan pengalaman saya. Jangan lupa, saya sudah menghabiskan 20 tahun bersama tim Argentina. Mereka hanya membuat saya tertawa,” katanya.
Justru orang lain yang tak henti menertawakannya. Taktik permainan di lapangan tidak jelas. Hasilnya amburadul, Tim Tango terseok-seok. Salah satunya, Argentina habis dibantai Bolivia 6-1, lalu dibekap 1-3 oleh Brasil di kandang sendiri.
Nasib Maradona pun di ujung tanduk. Sekali lagi timnya terpeleset, habislah kariernya. Mereka akan gagal lolos ke Afrika Selatan. Namun bukan Maradona kalau lantas mengkerut. Dia tetap optimistis dan terus melecut semangat pemainnya. Beruntung, keajaiban datang. Dalam dua pertandingan akhir, Oktober tahun silam, mereka menang atas Peru dan Uruguay.
Argentina pun lolos ke Afrika Selatan. ”Untuk orang-orang yang tidak percaya pada tim ini, untuk mereka yang memperlakukan saya bak sampah, inilah jawabnya: kita lolos ke Piala Dunia,” katanya penuh emosi.
Ucapan itu pula yang membuat dia diganjar hukuman tak boleh tampil menemani timnya selama dua bulan. Perang mulut memang menyertai kiprahnya menjadi manajer. Dengan siapa saja, pers atau pemain.
Dalam hidupnya, boleh dibilang ini adalah keajaiban kedua yang didapatkannya. Sebelumnya, pada 2004, dia hampir mati. Saat itu, gara-gara doyan kokain, jantungnya terganggu. Kondisi tersebut ditambah dengan berat badannya yang menggelembung bak balon udara membuat kesehatannya acak-acakan.
Semua itu adalah buah pelariannya. Setelah kariernya tamat di Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat karena ketahuan memakai obat terlarang, dia pun langsung terhuyung dan makin akrab dengan narkotik.
Kini Maradona mengharapkan keajaiban ketiga, yang mampu membawa timnya tidak saja tampil berkilau tapi juga mencetak sejarah besar: menjadi juara dunia ketiga kalinya. Di babak awal, lawannya, yakni Nigeria, Korea Selatan, dan Turki, relatif bisa diatasi.
Hanya, persoalannya, sampai sekarang Maradona mengaku baru memiliki tiga pemain yang sudah pasti tak terusik posisinya di tim nasional. Mereka adalah Lionel Messi, Juan Sebastian Veron, dan Javier Mascherano. ”Kondisi tim ini masih 60 persen,” katanya. Waktu kian dekat saja. Maradona semestinya sudah menyiapkan formasi dan pemain yang pas—yang sebenarnya tidaklah sulit. Bagi rakyat Argentina, Maradona adalah sosok yang istimewa. Semua pemain yang dipanggilnya pasti akan habis-habisan tampil bersama si biru langit itu.
Marcello Lippi, pelatih yang sukses membawa Italia menjadi juara dunia 2006, melihat sesuatu dalam diri Maradona yang tidak dimiliki pelatih lain. ”Karisma yang dimilikinya akan membuat pemain mengikutinya 100 persen,” katanya. ”Mereka akan mendengarkan Diego layaknya seorang cenayang.”
Semua orang di Argentina tetap kagum pada sosoknya di lapangan. Kehebatan dan kelicikan kompak bersatu. Di Meksiko 1986, dia diamuk para penggila bola Inggris saat mencetak gol dengan tangan. Namun beberapa menit kemudian dia dipuji gara-gara golnya terjadi setelah mengecoh lima pemain Three Lions. Gol dahsyat itu dikenang sebagai ”gol abad ini”. Maradona pun membawa Argentina menjadi juara dunia yang kedua kalinya.
Di luar lapangan, dengan capnya sebagai bad guy, dia tetap menjadi sebuah simbol hero. Bahkan di Buenos Aires, berdiri Gereja Maradona. Hari ulang tahunnya ke-43, pada 2003, ditetapkan sebagai penghitungan tahun yang baru. ”Dalam konteks itu, Maradona adalah pahlawan yang sempurna,” kata Pablo Alabarces, pengamat sosial di sana.
Kembali ke soal komentar Lippi. Dia tidak keliru. Pemain yang dipanggilnya tetap memujanya. ”Dia adalah nabi abad ini bagi Argentina,” papar Carlos Tevez, bintang Manchester City. Apa pun akan mereka lakukan demi idola dan juga negerinya. Pada merekalah, Maradona berharap keajaiban ketiga akan memeluknya.
Irfan Budiman (World Soccer, AFP, Guardian)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo