Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Joss Wibisono
*) Penyiar Radio Nederland di Hilversum, Belanda
PARTAI politik pertama di Nusantara adalah Indische Partij, yang pada 1912, di Bandung, didirikan oleh Ernst Douwes Dekker (Setiabudi Danudirdja), Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Suryaningrat. Kata bahasa Belanda partij kita serap ke dalam bahasa Indonesia menjadi partai. Karena itu, kita punya Partai Keadilan Sejahtera, sedangkan di Malaysia ada Parti Keadilan. Perbedaan dan akar sejarahnya jelas: Malaysia dipengaruhi bahasa Inggris (party), kita mendapat pengaruh bahasa Belanda.
Pengaruh bahasa Belanda tidak terjadi dalam bidang politik semata. Mulai hal-hal sederhana dan sehari-hari (kantor dari kantoor, buku dari boek, bangku dari bank) sampai yang ilmiah di lingkungan akademis. Misalnya, dosen dari docent, dekan dari dekaan, tentamen dari tentament, atau rektor dari rector.
Pengaruh biasanya dua arah. Jadi, yang kena pengaruh bukan saja bahasa Indonesia, tapi juga bahasa Belanda kena pengaruh kita, yang mereka sebut het Maleis, bahasa Melayu. Pengaruh yang paling jelas adalah di bidang medis, misalnya sakit lever, sakit maag, bludrek, kanker, infeksi, praktek, dan apotek. Untung tidak semua istilah harus kita serap dari bahasa Belanda. Kita masih punya sakit jantung, sakit jiwa, atau gangguan pernapasan.
Di bidang lalu lintas dan mobil, bahasa Indonesia menggunakan kata atret (dari achteruit), verboden, knalpot, rem, persneling (dari versnelling), dongkrak, dan schokbreker.
Dalam bidang hukum, walaupun bahasa Indonesia sudah memiliki kata pengadilan, hakim, jaksa, dan undang-undang, masih banyak istilah yuridis Belanda. Maklum, hukum kita bersumber dari hukum Belanda. Ingat saja ruilslag (tukar guling), gijzeling (penyanderaan), advokat (pengacara dari advocaat), beslag (sita), toerekeningsvatbaar (bertanggung jawab), atau bezet (diduduki).
Serapan itu paling sedikit tampil dalam dua bentuk. Ada yang tetap seperti aslinya, dengan atau tanpa penyesuaian (misalnya pelopor dari voorloper dan arsip dari archief, sedangkan beleid tetap dalam ejaan Belanda); tapi ada juga yang kita terjemahkan dulu. Contohnya, seni suara (terjemahan toonkunst) atau guru besar (terjemahan hoogleraar).
Yang menarik adalah sering juga terjadi pergeseran makna dari bahasa asli. Kalau bicara tentang bludrek, selalu kita maksudkan tekanan darah tinggi, padahal dalam bahasa Belanda bloeddruk cuma berarti tekanan darah. Orang Belanda menyebut tekanan darah tinggi hoge bloeddruk. Demikian pula kata rentenir, karena dalam bahasa Belanda rentenieren berarti hidup dari bunga tabungan, tidak perlu bekerja lagi. Sementara itu, bagi Indonesia, seorang rentenir adalah lintah darah.
Pergeseran makna juga terjadi pada kata-kata bahasa Indonesia yang masuk bahasa Belanda. Misalnya, kata toko. Ik heb mijn eigen toko bukan berarti saya punya toko sendiri, melainkan saya punya tanggung jawab sendiri. Jadi toko yang harfiah berubah menjadi toko yang kiasan ketika masuk bahasa Belanda.
Demikian juga kata bagian. Dat is mijn pakkiaan niet bukan berarti itu bukan bagianku, melainkan itu bukan tanggung jawabku. Di sini kita lihat bagaimana bagian mengalami dua kali perubahan. Pertama, perubahan ejaan (menjadi pakkiaan), dan kedua, berubah makna menjadi kiasan.
Tentu saja ada kata-kata bahasa Indonesia yang tidak berubah makna. Contohnya, ik voel me senang hier, artinya saya senang atau kerasan di sini. Kemudian hij is een pientere jongen juga tetap berarti dia anak pintar. Een meisje uit de dessa, gadis desa: dengan perubahan kecil, desa dieja dengan dua huruf s. Zij zit nog te piekeren juga berarti ia tetap memikirkannya.
Paling menarik perjalanan kata pelopor. Pelopor yang berasal dari voorloper itu kembali lagi ke dalam bahasa Belanda sebagai plopper yang artinya para pejuang kemerdekaan kita. Bagi Belanda, plopper tidak lebih dari gerombolan GPK. Seperti bagian, pelopor mengalami pergantian ejaan dan perubahan makna.
Kata-kata Indonesia yang paling banyak masuk bahasa Belanda berkisar di bidang kuliner. Patut ditegaskan orang Belanda berhubungan dengan bahasa Indonesia ketika masih dalam ejaan Van Ophuysen, sudah kita tinggalkan sejak 1952. Jadi orang Belanda mengenal kroepoek, atjar, ajam boemboe bali, nassie, tahoe teloer, dan seterusnya. Dan memang di semua negara Eropa, hanya di Belanda terdapat begitu banyak restoran, rumah makan, dan waroeng Indisch.
Dulu kita masih bicara tentang barang tidak bergerak (dari onroerend goed), sekarang sudah kita gunakan properti. Dulu korting, sekarang diskon. Jelas pengaruh bahasa Inggris. Mungkin inilah yang disebut perkembangan zaman, tapi pengaruh bahasa Belanda makin kabur. Inilah masalahnya. Indonesia merdeka dari Belanda, mungkinkah menghapus sisa-sisa Belanda dari bahasa kita?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo