Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Telegram singkat itu dikirim dari Roma pada 1 Agustus 1940. Pengirimnya adalah Kardinal Montini, pembesar Kongregasi Propaganda Fidelembaga yang dirintis Paus Gregorius XV sejak 1622 untuk memisahkan gereja dari kepentingan kolonialisme. Pesan pendek itu berbunyi: "dari propaganda. Semarang dijadikan vikariat. Albert Soegijapranata ditunjuk sebagai vikaris apostolik dengan gelar uskup danaba. Anda dapat menahbiskannya tanpa surat keputusan Sri Paus."
Sang penerima kawat, petinggi Gereja Katolik di Batavia, Mgr. Willekens, S.J., tahu apa yang harus dia lakukan. Perang Dunia II telah memaksa Roma melantik Soegijapranata menjadi vikaris apostolik (uskup) di Semarang untuk mengantisipasi kemungkinan para misionaris Belanda ditahan Jepang. Pengiriman misionaris dari Roma sudah tidak mungkin lagi. Soegija diminta mempersiapkan gereja lokal secepatnya.
Soegija, padri Jesuit, pendidik, dan jurnalis yang akrab dipanggil Romo Kanjeng, menanggapi penugasan barunya. Selain membalas kawat itu, bersama pembantu Gereja Bintaran Yogyakarta, ia memasak soto guna merayakan penugasan barunya.
Soegija dilahirkan di Surakarta pada 25 November 1896 di lingkungan keluarga Islam Jawa. Karijosoedarmo, bapaknya, seorang abdi dalem keraton, pengikut pujangga Ranggawarsita. Ibunya seorang pedagang kecil yang sangat menekankan semangat ajrih (rasa hormat penuh kerendahan hati) dan asih (altruisme). Orang tua Soegija mendidik anak-anaknya gemar mati raga: melakukan tirakat seperti sesirik (pantang), ngrowot (hanya menyantap sayur dan buah-buahan), dan mutih (makan nasi melulu) sebagai cara mendekatkan diri kepada Tuhan. Di samping menjalani laku tirakat yang keras, Soegija melaksanakan puasa sebulan penuh di bulan Ramadan.
Kebiasaan bermati raga dalam tradisi Jawa, menurut Budi Subanar, penulis buku ini, merupakan cara ampuh penyebar Injil untuk mengembangkan agama Kristen di Jawa. Tradisi ini juga merupakan lapisan terdalam kepribadian seorang Soegija: seorang Jawa yang mengalami perjumpaan dengan kekristenan. Pergulatan Soegija itu mendapat bantuan Pater Van Lithorang yang punya andil mendirikan sekolah guru di Muntilan, Jawa Tengah.
Soegija menjalani studi novisiat, filsafat, dan teologi di Negeri Belanda pada 1920-1932. Ia memiliki minat besar pada dunia jurnalistik. Pengalaman rohaninya ia tulis dalam beberapa majalah, seperti St. Claverbond, Berichten uit Java, dan Swaratama. Setahun menjelang akhir studi di Belanda, pada 15 Agustus 1931, Soegija bersama Reksaatmadja ditahbiskan sebagai imam Jesuit.
Tak hanya berkutat pada lingkungan gereja, Soegija aktif di kancah politik. Ia mengenal Sukarno ketika ibu kota dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Soegija memberikan dukungan penuh kepada dwitunggal Sukarno-Hatta. Ia juga aktif berdiskusi dengan pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan. Ketika Soegija meninggal pada 1963, Sukarno meminta agar jenazah uskup pertama Indonesia ini disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.
Biografi Soegija Si Anak Betlehem van Java ini ditulis G. Budi Subanar, sejarawan yang kini menjadi pengajar di program religi dan budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Secara detail Subanar mendeskripsikan masa awal pembentukan pribadi seorang Soegija: masa kanak-kanak, remaja, dan era ketika belajar di sekolah imam.
Biografi tentang Soegijapranata pernah pula ditulis oleh sejarawan Anhar Gonggong, tapi fokusnya lebih pada peran Soegija sebagai petinggi gereja dan tokoh nasional di kancah revolusi. Budi Subanar melengkapi Gonggong: ia menggunakan data primer seperti La Conversione di un Giavanese, buku yang ditulis Soegija sebagai riwayat hidup spiritualnya dalam bahasa Italia, selain tulisan-tulisan Soegija lainnya di majalah St. Claverbond dan Swaratama. Tak aneh buku ini bergelimang data karena merupakan hasil studi doktor Subanar di Universitas Gregoriana, Roma. Di bagian dalam, kita juga bisa menemukan foto-foto eksklusif Soegija pada 1920-an.
Sayangnya, bagian penutup biografi ini berkesan mengambang. Subanar tak memberikan closing ceremony yang membuat pembaca terkesan dengan tokoh yang dibahasnya. Tapi itu tentu cuma kesalahan sekunder. Di luar itu, yang kita temukan adalah sejarah panjang seorang penggiat agama yang bergulat dengan hidupnya: sebagai orang Katolik, sebagai orang Jawa, sebagai uskup pribumi pertama di Indonesia.
J. Sumardianta
(Guru sejarah SMU Kolese de Britto, Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo