Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IBARAT bermain catur, Marimutu Sinivasan kini unggul satu bidak dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pada saat sang kreditor masih berkutat dengan opsi penjualan, untuk menyelesaikan persoalan utang, pendiri kelompok usaha Texmaco itu telah memainkan langkah kudanya.
Sepekan menjelang tenggat bagi calon investor untuk memasukkan penawaran akhir di Program Penjualan Aset Strategis (PPAS) II, yang jatuh per 20 September lalu, Sinivasan menyatakan kerelaannya untuk mundur dari pucuk manajemen Texmaco. Niat itu disampaikan Wasan, panggilan akrab Sinivasan, di depan sekelompok perwakilan pekerja Texmaco.
Apakah permintaan mundur itu berarti pengusaha keturunan India ini telah mengibarkan bendera putih? Seorang sumber TEMPO yang dekat dengan Texmaco meragukannya. Ia malah mencurigai niat itu sebagai upaya Sinivasan untuk cuci tangan dari masalah keuangan yang kini tengah mencekik perusahaannya. Langkah mundur itu, tapi tanpa melepaskan kepemilikannya atas Texmaco, diibaratkan sang sumber sebagai upaya Sinivasan melepas semua permasalahan ke pundak BPPN.
"Pak Sinivasan hanya ingin mundur dari manajemen, bukan melepas saham," ujar Bonar Sirait, Manajer Personalia Texmaco yang turut menghadiri acara "perpisahan" dengan bosnya itu, di salah satu pabrik Texmaco di Karawang, Jawa Barat. Mengulang pernyataan sang juragan, Bonar menuturkan pengunduran diri Sinivasan disebabkan oleh kekecewaan taikun berumur 66 tahun itu terhadap BPPN, yang tidak mengindahkan permintaan modal kerja yang berulang kali telah dia ajukan. Siaran pers tertulis yang ditandatangani Nina Larasati, Direktur Komunikasi Texmaco, menyiratkan hal yang sama. Surat itu juga diimbuhi desakan ke arah BPPN untuk duduk bersama, supaya ada kepastian bagi nasib para karyawan. Sinivasan sendiri tak dapat dimintai tanggapannya.
Kepastian. Itulah yang dituntut ribuan karyawan Texmaco saat berunjuk rasa tanpa henti sepanjang pekan lalu. Jalan-jalan protokol di Jakarta selama dua hari berturut-turut disesaki oleh manusia berseragam biru-biru. Puncaknya, belasan perwakilan karyawan, termasuk Raju Sinivasan-terhitung masih keluarga Marimutu Sinivasan-menemui para pejabat BPPN. Dalam pertemuan Kamis siang itu, mereka meminta agar lembaga penyehatan perbankan ini segera mengucurkan modal kerja, agar nasib mereka tidak telantar usai Sinivasan turun takhta.
Permintaan itu dijawab dengan diplomatis oleh BPPN. "Hingga saat ini kami masih tercatat sebagai kreditor," tutur Harry Mukadis, Direktur Keuangan dan Manajemen BPPN. Maksudnya jelas, BPPN tidak dalam posisi sebagai juragan yang akan mengucurkan uang.
Maklumlah, BPPN sebelumnya memperkirakan gunungan utang Texmaco bisa dibereskan dengan penjualan. Maka, pada Agustus lalu, saat PT Jaya Perkasa Engineering dan PT Bina Prima Perdana-dua newco yang dibentuk dalam rangka restrukturisasi utang Texmaco-gagal melunasi kupon bunga obligasi Rp 141 miliar, BPPN masih berharap pada keampuhan jurus klasiknya: penjualan. "Kita tunggu saja nanti jika PPAS telah usai," jawab M. Syahrial, Deputi Kepala BPPN, beberapa waktu lalu.
Saat itu Syahrial berharap obligasi senilai Rp 29 triliun, kendati telah default, masih akan laku. Risiko harga jual yang akan hancur pun sudah diantisipasi. "Obligasi Polysindo (anak perusahaan Texmaco yang memproduksi serat) saja hanya ditawar 7 sen," ia menjelaskan.
Dengan pemikiran semacam itu, BPPN merasa tidak perlu mengambil opsi penyelesaian yang menjadi haknya, saat kedua newco tidak melunasi kupon. Bahkan, menerbitkan surat gagal bayar pun tidak. Soalnya, saat itu nama Mirzan Mohamad santer disebut-sebut sebagai calon kuat pembeli Texmaco. Keseriusan putra Perdana Menteri Malaysia itu juga dibenarkan oleh sumber TEMPO yang berprofesi sebagai penasihat keuangan. "Hanya, Mirzan tidak punya duit," tuturnya. Jadi, saat sang penyandang dana mundur, niat untuk membeli Texmaco pun pupus.
Kini, setelah dua kali PPAS terlampaui dan obligasi Texmaco tidak laku-laku, BPPN mau tidak mau harus mengurusi lagi restrukturisasi utang Texmaco sesuai dengan perjanjian induk. "Langkah yang akan diambil akan diputuskan di rapat Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK)," tutur Syahrial, beberapa hari setelah PPAS II usai. Dalam rapat itu akan dibahas rencana penerbitan surat gagal bayar bagi kedua newco Texmaco.
Setelah merilis surat default, BPPN dan debitor akan memasuki masa pemulihan (remedial period) selama 21 hari. Pada saat itu BPPN dan Sinivasan, sebagai pemegang saham mayoritas Texmaco, harus memutuskan langkah apa yang akan diambil. Tiga pilihan yang tersedia: menjual obligasi tersebut langsung ke investor, mengkonversi obligasi menjadi kepemilikan di perusahaan operasional, atau menerbitkan obligasi baru (TEMPO, Edisi 7 September 2003).
Namun, dua hari sebelum rapat KKSK berlangsung, Jumat silam, ribuan karyawan Texmaco sudah keburu turun ke jalan. Para pejabat KKSK pun terjebak dalam dilema. Di satu sisi mereka tidak tahu bagaimana mencari modal kerja, di sisi lain mereka tidak mungkin mengabaikan nasib karyawan Texmaco begitu saja. "Masalahnya sudah melebar ke politik. Ini harus diputuskan di tingkat pejabat paling atas," tutur seorang pejabat Assets Management Credit BPPN. Alhasil, sidang KKSK yang berlangsung Jumat sore lalu hanya berujung pada kesepakatan untuk membawa masalah Texmaco ke sidang kabinet.
Seandainya saja BPPN bersikap lebih tegas terhadap Sinivasan, mungkin kepala Ibu Presiden tidak perlu dipusingkan dengan urusan utang-piutang ini. Sebab, jika dirunut, kesulitan operasional yang kini melanda kelompok Texmaco tak lepas dari kecerobohan manajemen Texmaco sendiri, yang notabene dipimpin oleh Sinivasan, dalam menggunakan kredit modal kerja. Fasilitas letter of credit (L/C) US$ 99 juta yang disediakan oleh BNI untuk membeli bahan baku bagi divisi tekstil, sebagian malah mengalir ke divisi engineering. Akibatnya, baru sekitar satu tahun dikucurkan, kredit modal kerja yang mengalir sejak Maret 2000 itu mulai tersendat pengembaliannya.
Penyelewengan itu sebenarnya sudah terendus oleh BPPN sejak pertengahan tahun lalu, namun baru diakui pada awal tahun ini oleh Ketua BPPN Syafruddin Temenggung. "Divisi engineering membutuhkan dana US$ 26 juta," kata Alfred Inkiriwang, Presiden Direktur dari kedua newco. Alfred menuturkan mereka terpaksa menggunakan fasilitas tersebut karena beberapa bank, seperti Bank Mandiri, tak kunjung mengabulkan permintaan kredit yang mereka minta.
Reaksi BPPN sendiri saat itu terdengar tegas. "Sinivasan bersedia melunasi tunggakan itu dari kantong pribadinya," kata Syahrial. Untuk tindakan preventif, BPPN menunjuk Sucofindo sebagai pengawas keuangan di kedua newco, melapis para wakil BPPN.
Ternyata janji pelunasan itu tidak pernah ditepati. Dokumen BPPN yang sempat dibaca TEMPO menunjukkan: Texmaco ternyata masih menunggak L/C BNI tersebut. Jumlah tunggakan L/C, yang pada bulan Juni 2001 masih US$ 20-29 juta, Agustus kemarin telah membengkak hingga mencapai US$ 80 juta. "Argo bunganya kan jalan terus," ujar seorang wakil BPPN di newco.
Begitu hausnya divisi engineering menyedot dana segar, akhirnya hal itu memacetkan jalan operasi divisi tekstil. Setelah aliran kredit diperketat, giliran hasil operasi divisi tekstil yang diisap divisi engineering. Akibatnya, kapasitas produksi divisi tekstil pun turut terganggu. Sumber TEMPO di Texmaco menuturkan, tingkat kapasitas produksi di kedua divisi Texmaco saat ini hanya 20 hingga 30 persen, jauh di bawah tingkat impas di kisaran 60 persen.
Buntutnya, para karyawanlah yang akhirnya harus menerima getah dari salah urus ini. Sejak awal tahun, sebagian karyawan Texmaco di Kendal dan Karawang telah dirumahkan, dan harus rela gajinya dipotong 30-50 persen. Tidak mengherankan kalau kemudian ribuan dari mereka rela berpanas-panas mengepung BPPN untuk meminta modal kerja.
Menurut seorang penasihat keuangan yang mengikuti proses restrukturisasi utang Texmaco, untuk menyelamatkan periuk nasi 20 ribu karyawan ini hanya tinggal ada satu cara. Mau tidak mau, BPPN harus mengeksekusi obligasi yang telah jatuh tempo itu, dan menjadi pemegang saham di perusahaan operasional Texmaco. "Sinivasan harus out," ia menambahkan.
Bukan apa-apa, jika Sinivasan masih terus bercokol di dalam, ia memprediksi bank akan terus enggan mengucurkan kredit. Bukan apa-apa. Soalnya, peraturan Bank Indonesia mewajibkan bank mana pun untuk membuat pencadangan kredit sebesar 100 persen dari tiap sen dana yang disalurkan kepada debitor yang pernah memiliki catatan kredit macet, seperti Sinivasan.
Alasan yang selalu dikemukakan Syahrial, bahwa opsi pengambilalihan membutuhkan biaya besar, dia bantah. "Utang itu kan masuk ke neraca Texmaco," ujarnya. Maksudnya, sebagai pemegang saham Texmaco, pemerintah bisa saja meminta modal kerja dari, katakanlah, Bank Mandiri, agar napas Texmaco kembali normal. Setelah berjalan lancar, baru Texmaco dijual. Jadi, ancar-ancar kebutuhan dana US$ 120 juta, seperti yang pernah disebut oleh pejabat BPPN, tidak perlu dirogoh dari anggaran negara. "Kalaupun sekarang laku terjual, paling harganya cuma 6 sen," ia mengingatkan, sambil menunjuk kasus penjualan Chandra Asri.
Jam terus berdetak. "Langkah Karpov" pemerintah tengah ditunggu.
Thomas Hadiwinata, Sam Cahyadi (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo