Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menghilangkan Warisan Masa Lalu

RUPS Bank Mandiri menghapus tagih 10 persen dari total kredit macet yang ditanggungnya. Tapi perangkap kredit macet yang lain masih menganga.

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diawali suara organ dan saksofon yang mengalun merdu,pertemuan para pemegang saham Bank Mandiri berlangsung dalam suasana lancar menyenangkan. Tak ada ganjalan yang berarti. Bahkan semua peserta rapat menyetujui seluruh agenda yang digelar Senin pekan lalu itu.

Dan puncaknya, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank Mandiri memutuskan untuk mengangkat kembali Edward Cornelis William Neloe sebagai direktur utama bank pemerintah terbesar itu sampai 31 Desember 2007. Disetujui pula pembentukan posisi wakil direktur utama, yang ditempati I Wayan Pugeg (sebelumnya menjabat Direktur Bank Mandiri), dan wakil komisaris utama, yang diduduki Markus Parmadi (mantan Presiden Direktur Bank Lippo).

Di jajaran komisaris ada beberapa muka baru, yakni Darmin Nasution (Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan), Arie Soelendro (Ketua BPKP), Tony Prasetiantono (pakar ekonomi), dan Ris Winandi (mantan Direktur Bank Danamon). Dengan demikian, dewan direksi terdiri atas sembilan orang (sebelumnya delapan orang) dan dewan komisaris menjadi sebelas orang-semula hanya empat orang. Penguatan di tingkat pengambilan keputusan tertinggi ini sepintas menandakan adanya komitmen pemegang saham untuk tetap konsisten menyehatkan dan memperkuat Bank Mandiri. Tapi ada juga yang meragukan perlunya penambahan jumlah kursi itu, khawatir pucuk pimpinan yang "tambun" cenderung bersikap lamban dan tidak bekerja efisien.

Selain membuat Bank Mandiri jadi top heavy, RUPS menyetujui usul yang tak kalah penting: menghapus tagih piutang macet senilai Rp 2 triliun. Ini berarti sekitar 10 persen dari kredit macet Bank Mandiri yang dihapusbukukan yang sampai semester pertama tahun ini mencapai Rp 20 triliun. Menurut Neloe, kredit macet yang bisa digunakan untuk membangun 100 ribu puskesmas itu (bila harga 1 puskemas = Rp 200 juta) merupakan warisan yang berasal dari masa krisis ekonomi pada 1998. Tapi kalangan analis menduga utang busuk itu berasal dari kerugian transaksi valuta asing Bank Exim-yang dilebur ke Bank Mandiri-lima tahun lalu.

Sebagaimana diketahui, bank bisa menghapusbukukan kredit macet agar tak perlu lagi menyediakan dana pencadangan dan rasio modal tertimbangnya (CAR) membaik. Namun biasanya utang busuk yang sudah dihapusbukukan itu tetap terus ditagih. Hasilnya dimasukkan ke dalam pos pendapatan lain-lain. Tahun lalu, 60 persen keuntungan bersih Bank Mandiri berasal dari pos ini.

Kali ini Bank Mandiri tak lagi menagih kredit macet yang terkategori off balance sheet itu. Namun, sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan yang melarang BUMN menghapus aktivanya sendiri, keputusan tersebut harus melalui RUPS. Selanjutnya, aset itu diserahkan kepada Direktorat Jenderal Urusan Piutang dan Lelang Negara, untuk dijual berdasarkan harga terbaik.

Tindakan menghentikan penagihan biasanya dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Contohnya, sebagian besar debitor sudah tidak memiliki agunan lagi, baik karena telah terjual maupun karena nilainya terlalu kecil dari kewajibannya. Bisa pula karena pengutang tak lagi memiliki prospek dan secara teknis dinilai tidak punya kemampuan untuk memenuhi kewajiban dari operasional usahanya.

Alasan lain ialah adanya putusan pengadilan yang telah punya kekuatan hukum tetap yang membolehkan pengutang tak membayar tagihan. Atau debitor tersebut menerima penghapusan tagihan secara sindikasi, sehingga Bank Mandiri sebagai peserta sindikasi harus tunduk kepada keputusan sindikasinya.

Neloe sendiri berpendapat penghapusan tagihan tak lebih dari pemberian potongan utang. Istilah kerennya haircut. Dalam hal ini, debitor bukan sama sekali tidak membayar, tapi mendapat diskon utang yang besarnya berbeda-beda. "Ada yang akan mendapat potongan 10 persen, 20 persen, atau 50 persen," kata direktur utama yang sukses meluncurkan Bank Mandiri ke bursa saham ini.

Haircut adalah pilihan yang berat buat bank yang bersangkutan, tapi tetap dilakukan, sekadar untuk merangsang nasabah agar melunasi sebagian utangnya. Jadi, tidak ngemplang begitu saja. Bila program tersebut berhasil, Neloe berancang-ancang untuk meminta penghapusan tagihan dalam RUPS berikutnya. "Kalau jatah yang sekarang sudah habis, kita akan minta tambahan jatah dalam RUPS berikutnya," Neloe menegaskan, seolah-olah berbicara tentang jumlah uang yang tidak ada artinya.

Di luar masalah potongan utang, yang juga penting adalah tugas manajemen baru Bank Mandiri untuk menjaga kualitas aset dan meningkatkan kehati-hatian dalam menyalurkan kredit baru. Dalam kedua hal ini, bank-bank pemerintah terbilang lemah, bahkan nyaris tak berdaya menghadapi katebelece pejabat pemerintah.

Tapi buat Bank Mandiri, kehati-hatian itu benar-benar diperlukan. Soalnya, sampai semester pertama tahun ini saja, bank beraset Rp 250 triliun itu sudah menyisihkan pencadangan sebesar Rp 900 miliar. Bila tak waspada, bukan mustahil kredit macet kian membengkak sehingga jumlah biaya pencadangan yang mesti disiapkan bertambah besar.

Sumber TEMPO mengungkapkan, hari-hari ini manajemen Bank Mandiri sedang kebat-kebit lantaran memburuknya kualitas aset kredit sebuah perusahaan eksportir yang diambil alih dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) setahun lalu. Tagihan perusahaan yang berlokasi di Sumatera Utara itu berjumlah Rp 1,15 triliun dan sekarang "mulai masuk kategori kurang lancar," kata sumber tersebut.

Mengapa Bank Mandiri dulu berani mengambil alih kredit tersebut? Inilah yang tak jelas. Ketua BPPN Syafruddin Temenggung memang pernah memuji perusahaan tersebut sebagai eksportir kelas wahid. Toh, kredit itu sekarang tersendat.

Sejauh ini, pihak direksi agaknya masih kurang tegas. Buktinya, perusahaan yang menunggak itu berani mengajukan permintaan tambahan kredit Rp 600 miliar. Lebih tak masuk akal, salah seorang direksi Bank Mandiri kabarnya menyetujui rencana pengucuran utang baru ke debitor yang mulai bermasalah itu. Kebetulan, direksi lain tidak mendukungnya. Alhasil, kredit Rp 600 miliar pun tak jadi dicairkan.

Permintaan kredit yang sama sebetulnya diajukan kepada Bank Rakyat Indonesia (BRI). Dan setahun lalu, mereka berhasil meraup kredit sejumlah Rp 700 miliar dari bank yang dulu sukses menangani pengusaha kecil-menengah itu. Ternyata kredit dari BRI digunakan untuk usaha lain yang terhitung menguntungkan. "Sampai sekarang, kredit itu tergolong lancar," kata Kepala Divisi Sekretariat Perusahaan BRI, Rochhidayat Taepur.

Sekarang, ketika grup perusahaan itu kembali meminta tambahan kredit Rp 400 miliar, BRI mengaku masih pikir-pikir. "Kami masih melakukan evaluasi kelayakan secara teknis maupun ekonomis," ujar Rochhidayat.

Di luar tagihan kepada perusahaan itu, kredit Bank Mandiri kepada perusahaan-perusahaan milik beberapa politikus kabarnya juga terancam macet. Tidak terkecuali kredit yang dikucurkan kepada seorang politikus yang belum lama ini mendirikan sebuah partai politik. Dan mungkin bukan suatu kebetulan bila di dalam akta pendirian partai itu tercantum nama anak seorang petinggi Bank Mandiri.

Sejauh ini, pihak Bank Mandiri enggan menjawab pertanyaan seputar kredit macet tersebut. Surat permintaan wawancara yang dikirim TEMPO belum dijawab sampai batas waktu yang diminta.

Sebelumnya, dua pejabat di bagian hubungan media dan komunikasi bank yang sudah masuk bursa itu memang menjanjikan bahwa jawaban akan segera dikirimkan. Belakangan, Dian, petugas dari bagian corporate secretary, mengatakan bahwa Direktur Utama E.C.W. Neloe dan direksi lain masih sibuk dengan rapat pasca-RUPS. "Kalau soal itu, belum ada jawaban apa-apa," katanya singkat.

Komisaris baru Bank Mandiri, Darmin Nasution, pun menghindar. "Kalau sampai kasus begitu, saya belum tahu. Tolong kasih waktu, dan lihat saja nanti apa yang bisa saya lakukan," ujarnya.

Nugroho Dewanto, Mohammad Teguh, Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus