KETIKA Katsuki Izumi dan Katsuko Orita, dua penari Jepang,
masuk, diikuti oleh para musisi, muncullah segerombolan
laki-laki bertelanjang dada. Diikuti oleh segerombolan wanita
memakai tights hitam, tambah kain bermotif batik. Itu terjadi
tanggal 3 Desember lalu di Taman Ismail Marzuki. Arena yang
sunyi dengan lampu terang, mereka pecahkan dengan suara bilah
kayu yang diadu dengan lantai. Lalu muncul seorang wanita
membawa topeng bertubuh galah: macam boneka nini towok. Entah
apa yang terjadi, tapi rupanya semua berpusat pada boneka putih
itu. Seolah-olah ia dipuja, disoraki dengan gembira. Tapi
adakalanya mereka mengeluarkan suara ngungun ketika duduk
melingkar di lantai sepertinya ada yang diharap datang. Lalu
keributan sepertinya Saling memperebutkan boneka. Dan akhirnya
boneka itu jatuh ke lantai. Pertunjukan pun usai. Para pemain
berderet, juga para musisi dan lain-lain, memberi hormat kepada
penonton. Nampak di antara yang memberi hormat itu Bagong
Kussudiardja.
Pertunjukan malam itu memang pertunjukan bersama. Berangkat dari
musik yang dicipta oleh Paul Gutama Soegijo - yang belajar di
Jerman Barat yang dimainkan Ensembel Tokk dari Tokyo (yang dua
malam sebelumnya sudah bermain di Teater Besar TIM). Bagong
menggarap koreografinya. Kerjasama ini di Teater Arena menjadi
musik yang hanya bunyi, plus tari kalau masih boleh disebut
begitu yang hanya gerak.
Sejumlah anak buah Bagong ditambah 4 orang dari Jakarta di arena
memang hanya berjalan, melenggang, melingkar, duduk, kadangkala
saling berpegang, kadangkala mengeluarkan serentetan suara, bak
sedang berbicara hanya bukan kata-kata yang keluar. Sejumlah
besar dari mereka, kiranya yang berbasiskan disiplin tari,
memang tak mengalami kecanggungan dalam mengisi ruang. Bagong
telah mengaturnya demikian rupa, hingga nampak rapi bersih dan
santai. Bahkan terlalu rapi, terlalu teratur, seperti hafalan
gerak-gerak saja tanpa penghayatan. Lihat saja, babak akhir
yang digambarkan pada awal tulisan ini: bunyi bilah kayu yang
terasa menguasai ruang, membentuk suasana, dicairkan oleh
gerak-gerah yang terasa sekedar menuruti peta koreografi.
Ditambah lagi denan kostum yang tak kalah rapinya, dan lampu
yang benderang, maka tontonan yang diberi judul Ambiance itu
-- yang artinya suasana - memang terasa belum membentuk artinya
belum jadi. Masih diperlukan tangan Bagong yang mantap di
sana-sini, untuk mengulur, memotong menambah maupun mengurangi.
Dibanding dengan dua penari Jepang yang juga muncul malam itu,
yang Jepang ini lebih terasa sudah jadi dan sayangnya,
sekaligus terasa steril. Gerak-gerak yang mereka perbuat, yang
menunjukkan terkuasainya teknik dengan baik, tak memberikan rasa
apa-apa. Kebosanan hinggap di Teater Arena terlalu cepat.
Ataukah ini tuntutan yang terlalu jauh bagi sebuah pertunjukan
yang sebelumnya - melalui publikasi-publikasi TIM -- begitu
diharap menampilkan sesuatu yang "luar biasa"? Yang jelas,
terkurasnya ketrampilan teknik tak berarti terdukungnya sebuah
pertunjukan yang berbobot. Hanya rapi, tak ada apa-apanya.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini