Kelompok Sinepleks 21 merangkul bioskop-bioskop "usang" ke dalam grupnya. Sebagai pengimpor sekaligus pengedar film asing, Subentra jadi sakti. MULAI dari Pamulang, pinggiran Jakarta, sampai ke Manado, taburan bintang berwarna merah-biru (sepintas mirip cukilan bendera Amerika) merajalela. Logo 21 itu bagai jaminan kenyamanan. Film-film di sinepleks- bioskop kembar dempet- 21 selalu mutakhir. Penontonnya dimanjakan. Sambil menunggu waktu pertunjukan, penonton bisa santai di lobi yang bersih dan sejuk, seraya mengunyah berondong jagung (pop corn) buatan 21, a Rp 1.000. Ada musik dan TV yang menayangkan trailer, cuplikan film yang akan datang. Kamar kecilnya bersih dan harum. Ada show case yang memuat informasi lengkap tentang film apa yang sedang dan akan dipertunjukkan. Pada hari Sabtu atau hari libur, di beberapa tempat seperti Empire 21 atau Kartika Chandra 21 di Jakarta, ruang tunggu berubah jadi ajang ngeceng. Anak-anak muda bergerombol dengan dandanan masa kini. Jumlah mereka makin mbludak pada pertunjukan tengah malam. Suara wanita yang renyah menggema di lobi, mempersilakan penonton memasuki gedung pertunjukan. Di pintu masuk ada sepasang wanita berseragam batik dengan belahan sampai betis, menyungging senyum. Ruangan berbau wangi, kursi kelas sofa, lantai dibalut karpet merah-biru yang empuk, dan akhirnya dolby system stereo yang menggetarkan. Sinepleks lahir di bioskop Kartika Chandra (KC) tahun 1984. Waktu itu KC yang sudah ngos-ngosan diambil alih Sudwikatmono. Dialah yang memprakarsai pembedahan bioskop berkapasitas 900 kursi itu menjadi tiga bagian. Masing-masing 250 tempat duduk, dengan layar lebih kecil. Tak disangka, tiga film dalam satu bioskop rata-rata 500 karcis terjual, setiap malamnya. Pada masa KC lama, hanya sepersepuluhnya yang terjual. Tiga tahun kemudian, Subentra (perusahaan patungan Sudwikatmono dan Benny Suherman yang bergerak di berbagai sektor in- dustri) membuka sinepleks baru di Jalan Thamrin. Namanya Studio 21- diambil dari nomor kaveling. Bioskop dengan empat layar itu berharga Rp 85 milyar, dibangun di atas tanah seluas sekitar 5.000 m2. Kursinya yang diimpor dari Prancis berharga Rp 600 ribu per buah. Hampir setiap malam, antrean mobil mengular di jalur lambat Jalan Thamrin, ingin memasuki Studio 21. Tiket Rp 5.000 di awal pembukaan, sekarang jadi Rp 7.500. Ada kesan: menonton di Studio 21 mendongkrak gengsi. Sejak itulah, kelompok 21 gesit merangkul dan mendekap bioskop-bioskop "usang" ke dalam grupnya. Subentra membentuk PT Subentra Twenty One (STO) yang mendirikan divisi sinepleks. Divisi yang bertugas menegosiasi bioskop satu demi satu. Dalam waktu singkat, beberapa bioskop berubah wajah. Tamara Theatre di Velbak, Kebayoran Lama, jadi Amigo 21. Rawamangun Theatre jadi Astor 21. Megaria Theatre jadi Metropole 21. Begitu juga bioskop-bioskop di daerah. Semua serba 21. Pemilik lama tak punya hak mengelola lagi. Karena, begitu kontrak kerja sama disepakati, hak itu sudah berpindah ke Grup 21. Contoh, Metropole 21. Sejak beralih tangan April 1989, pemiliknya tinggal menikmati uang sewa Rp 7,5 juta per bulan selama lima tahun (uang sewa itu naik 5% setiap tahun). Untuk kelas Megaria, menurut Kepala Divisi Bioskop Subentra Group Ridwan Efendy, sedikitnya dibutuhkan investasi Rp 700 juta. Maka, kalau mau cepat balik modal dan untung, paling tidak pihaknya mesti memperoleh lebih dari Rp 120 juta per layar (diperoleh dari tiket dan kantin). Target itu, kalau melihat penonton yang datang, katanya, bisa tercapai. Apalagi kalau film-filmnya sedang in. Tak semua bioskop setuju sistem sewa. Plaza 21 Semarang, misalnya, lebih suka merenovasi sendiri gedungnya. Dana Rp 1,4 milyar diperolehnya dari perusahaan leasing Subentra. "Boleh saja, kalau mau pinjam ke leasing lain, tapi apa ada yang mau minjemin, sebab mereka tidak tahu bisnis film," kata Presdir Subentra Group, Benny Suherman, tenang. Ia betul, memang cuma ada satu pilihan. Rontoknya bioskop bukan semata karena keampuhan modal Subentra, tetapi posisinya sebagai pengimpor sekaligus pengedar film asing. Jenis film apa dan berapa lama diputar di bioskop sudah dijadwalkan di situ. Bioskop tak bisa menolak. Tinggal memutar. Menurut aturan, impor film disalurkan lewat tiga asosiasi, yakni Asosiasi Importir Film Eropa-Amerika (AIFEA), Asosiasi Importir Film Mandarin (AIFM), dan Asosiasi Importir Film Non-Mandarin (AIFNM). Ketiga asosiasi itu masing-masing mempunyai anggota, yang berhak mengimpor film untuk memenuhi kuota 160 (terdiri dari 80 film Eropa-Amerika, 45 film Mandarin, dan 35 film non-Mandarin). Namun, kenyataannya, ketiga asosiasi menyerahkan pelaksanaan impor kepada manajemen tunggal bernama PT Suptan Film. Padahal, perusahaan itu sehari-hari mestinya cuma mengurus impor film Mandarin. Tak jelas bagaimana hal itu bisa terjadi. Asal tahu saja, Benny Suherman selain direktur PT Suptan Film juga merangkap Ketua AIFM. Sedang Sudwikatmono juga menjabat komisaris PT Satrya Perkasa Esthetika, anggota AIFEA. Dari situlah, pengaruh itu merebak, sehingga berhasil merangkul Asosiasi Importir Film (AIF) ke dalam satu kantor: PT Suptan Film di Jalan H. Samanhudi, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Untuk melicinkan peredaran film-filmnya itu, Suptan kemudian menunjuk pengedar film daerah, mulai dari Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, sampai ke wilayah Indonesia Timur. Jaringan Suptan semakin kukuh sejak Grup 21 berkibar. Maka, bagai lewat di jalan tol, distribusi film impor mengalir tanpa hambatan. Sebab yang menguasai jalur impor, jalur edar, dan bioskop, ya itu-itu juga orangnya. Padahal, dulu, AIF dibentuk justru untuk menangkal monopoli. Mungkin ini bisa dilihat dari sejarah lahirnya asosiasi. Semasa Boediardjo menjabat Menteri Penerangan tahun 1972, ia mendirikan Badan Koordinasi Importir Film (BKIF). Namun, kendati BKIF punya anggota 76 importir, toh pemerintah tetap menunjuk CV Asia Baru sebagai importir tunggal. Maksudnya, supaya lalu lintas impor film lebih lancar, walaupun prakteknya setiap anggota tetap diperkenankan mengimpor film, asalkan membayar import fee kepada CV Asia Baru. BKIF ini dibubarkan pada era Menteri Penerangan Mashuri. Soalnya, para anggotanya masing-masing pada gontok-gontokan, berebut judul film. Ia kemudian membentuk empat Konsorsium Importir Film (KIF) dengan anggota masing-masing 21 importir, kecuali PT Suptan Film yang tiba-tiba muncul menggantikan posisi CV Asia Baru sebagai importir film Mandarin, beranggotakan delapan importir. Kuota 700 film digencet jadi tinggal separuhnya. Pada masa itu, kehadiran importir film dirasa ikut membantu perkembangan produksi film nasional. Jika KIF memproduksi film nasional, diberi imbalan tiga film impor. Jika filmnya mendapat Citra, importir mendapat bonus satu film impor lagi. Sebaliknya, terhadap importir yang tidak berproduksi, wajib membeli tiga sertifikat produksi seharga Rp 3 juta per buah, untuk mengimpor satu judul film melalui KIF. Namun, kebijakan itu roboh ketika Ali Moertopo menjadi Menteri Penerangan. KIF dibubarkan, diganti AIF. AIF tetap dipertahankan saat Harmoko menjabat Menteri Penerangan tahun 1983. Pada masa itu, peran PT Citra Jaya Film sebagai pelaksana AIFEA sangat bagus. Semua anggota diberi kesempatan mengimpor film, secara merata. Tak ada gejala menguasai bioskop. Bioskop diberi kebebasan memilih dan memutar film apa saja, dari mana saja, dan kapan saja. Padahal, ketika itu banyak film kuat, seperti Rambo I, Indiana Jones I, dan Flashdance, yang jelas bisa membuat bioskop bertekuk lutut. Citra juga bekerja sama dengan PT Perfin. Film-film nasional bisa diedarkan semua Komisi Pengedar Film (KPF) dan boleh diputar di bioskop mana saja. Itulah yang membuat kualitas film nasional berkibar. Contohnya, Doea Tanda Mata (Teguh Karya), Kembang Kertas (Slamet Rahardjo), Serpihan Mutiara Retak (Wim Umboh). Namun, kejayaan film nasional itu berakibat buruk buat film Mandarin. Peredaran film Mandarin merosot drastis. Tetapi Citra tak berumur panjang. Sebelum masa jabatan berakhir, tahu-tahu dicopot begitu saja, tanpa sebab yang jelas. Posisinya diganti PT Suptan Film. Maka, bisa diduga, riwayat film Mandarin yang sudah babak-belur tadi terangkat lagi. Dengan leluasa, Suptan menginstruksikan bioskop-bioskop menayangkan film itu lagi. KPF tak berkutik. Suptan mewajibkan bioskop memutar film impor 12 sampai 14 judul sebulan. Kalau membandel, dicabut hak edarnya. Tak heran jika film Indonesia collapse. Lima tahun silam, Grup 21 cuma punya lima sinepleks (18 layar). Tahun ini ada 96 sinepleks yang tersebar di seluruh Nusantara (kecuali NTB, Irian, dan Maluku)- 26 di antaranya di Jakarta dengan 384 layar. Ke sanalah film-film itu diprioritaskan. Bagaimana dengan bioskop yang tak masuk Grup 21? Cukup satu kata: bencana. Contohnya, Prince Theatre, di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Bioskop itu berdiri pada 1979, dengan modal sekitar Rp 500 juta. Sejak lima tahun lalu ia terseok-seok. Bukan saja karena kalah bersaing (penontonnya lari ke Metropole dan Empire), tapi juga karena selalu kebagian film-film second round. Padahal, harga karcis sama dengan bioskop kelas A lainnya, Rp 5.000. Prince kalah bersaing dengan sinepleks yang punya tiga sampai enam layar. Kalau dari empat layar sinepleks ada tiga film kuat, yang satu, yang kategori biasa-biasa saja, dilempar ke Prince. Ia pernah, misalnya, ngotot minta Gods Must Be Crazy Part II main di tempatnya. Dikasih, tapi cuma tiga hari. Setelah itu ditarik. Alasannya, mau diedarkan ke daerah. Kondisi gawat itu terang melemahkan saraf Prince. Bioskop yang punya kapasitas 650 kursi itu pernah cuma kedatangan 50 penonton. Keadaan makin parah ketika Prince tetap menolak kerja sama dengan Kelompok 21. "Buat apa, sinepleks kan cuma trend. Di luar negeri, sinepleks memutar film-film second round. Yang bagus, ya, bioskop layar lebar itu," kata salah seorang direksi Prince. Karena bersikukuh, pertengahan tahun 1989, Prince resmi ditutup. Seluruh peralatan bioskop dibeli Grup 21 dengan harga tak sampai Rp 100 juta. Nasib Ratu Theatre hampir sama. Bioskop di puncak pertokoan Ratu Plaza itu pernah mengalami kekosongan penonton. Memang, sejak dibukanya, Ratu bukan mengutamakan profit. Bioskop itu cuma pelengkap pertokoan, supaya ramai. Tapi toh, karena sering kosong- gara-gara film yang diputar tak masuk hitungan- pengelolanya pusing juga. Ratu tak buru-buru menerima ketika ditawari kerja sama. Soalnya, Kelompok 21 meminta supaya ruangan dibelah. Hampir dua tahun Ratu dibujuk. Alhasil, karena sudah kewalahan, tawaran itu diterima dengan syarat: ruangan tak dibelah. Ratu disewa Rp 500 juta untuk lima tahun. Barangkali yang masih ngotot bertahan sampai sekarang cuma Djakarta Theatre (DT). Bioskop yang pernah mendapat julukan termegah di Asia Tenggara dengan 1.173 kursi di bagian bawah dan balkon itu juga sedang berjuang melawan maut sekarang. Persoalannya bukan terletak pada film, karena sampai sekarang DT tetap diprioritaskan mendapat film sama dengan Grup 21. Tetapi justru karena cuma main di layar tunggal, DT kalah bersaing. Toh DT tetap ogah dikawini Kelompok 21, sebab berarti membedah akustiknya. Sementara itu, Grup 21 sendiri sudah gregetan. Karena setelah diprioritaskan pun, DT tak bisa membayar sesuai dengan target. Sebab jumlah penontonnya memang sedikit. Entah sampai kapan DT bertahan. Di daerah, keadaan lebih parah lagi. Di situ, pengedar film daerah Kelompok Suptan juga sangat kuat menancapkan pengaruh. Jadwal putar setiap film sudah ditentukan. Maka, bioskop di luar Kelompok 21 jangan harap bisa ikut mencicipi larisnya film impor. Menurut Presdir NV Peredaran Film dan Eksploitasi Bioskop Seluruh Indonesia (Perfebi) Siswo Soemarto, 74 tahun, lima bioskopnya di Yogya, Wonosobo, dan Purworedjo, "Cuma mendapatkan film-film bekas," katanya kepada M. Faried Cahyono dari TEMPO. "Dan ini," lanjutnya, "tak lepas dari praktek monopoli pengedar film Suptan di daerah." Siswo juga mengakui pernah ditawari kerja sama oleh Kelompok 21, tapi ditolak. "Perfebi tetap akan berdiri sendiri," ia menegaskan. Di Medan, keadaan serupa juga dialami sembilan distributor film di luar Kelompok Suptan. Sejak PT Cipta Mas Subentra Film menjadi distributor tunggal di Medan, dua tahun lalu, PT Inafil rugi Rp 1 milyar, misalnya. Maklum, di Sumatera Utara, ia punya 50 bioskop yang, tentu saja, sangat bergantung pada pasokan film. "Jangankan dibeli, disewa pun tak boleh," keluh A Hong, yang sudah 22 tahun malang-melintang di dunia distribusi film. Akibatnya, ia cuma bisa menayangkan film-film Indonesia dan film-film impor yang sudah usang. Tapi betulkah begitu banyak orang dirugikan? "Bagi kami, menguntungkan, karena tak perlu pusing lagi mengurus gedung dan karyawan," komentar bekas manajer Megaria itu. Nada yang sama juga terdengar dari Ratu Plaza. Direktur Keuangan PT Ratu Sayang Haryono menganggap untung, karena pengelolaan Ratu sekarang lebih profesional. "Sasaran kami kan supaya Ratu Plaza ramai. Dan itu tercapai setelah menjadi Ratu 21," ujarnya. F.S. Sugianto, pemilik bioskop kembar di Blok A, Lokasari, dan Cengkareng, bahkan menyayangkan kenapa banyak pengusaha putus asa. Ia bukan Grup 21 tetapi berhasil melobi pihak 21. Sehingga film-filmnya tak pernah ketinggalan zaman. "Lagi pula, kenapa tak mau mengikuti trend. Kalau tak mau kalah bersaing, buatlah sinepleks," kata bapak penyanyi I'is Sugianto itu. Bagaimana tentang monopoli? Benny Suherman tidak menampik tuduhan itu, "Lho, kan tidak ada aturan dagang yang melarang," ujarnya. Sri Pudyastuti R., Moebanoe Moera, Dwi S. Irawanto, dan Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini