MEMBUAT film di Indonesia ternyata sudah susah sejak merancang cerita. Banyak ganjalan yang dihadapi produser. Misalnya memilih judul yang akan diajukan ke Departemen Penerangan. Sebuah judul tidak selalu mulus dan disetujui. Mungkin judul itu sudah didaftarkan produser lain- biasanya kalau ada novel laris- atau tata bahasanya jelek, atau menyangkut SARA. Atau alasan yang hanya diketahui oleh kalangan Deppen sendiri. Banyak contohnya. Arjuna Mencari Cinta berdasarkan cerita Yudhistira A.N.M. Massardi batal difilmkan karena tak diberi izin. Judulnya menghina Arjuna- maksudnya warisan budaya adiluhung perwayangan. Cas Cis Cus lain lagi. Judul yang diajukan Sutradara Putu Wijaya dianggap aneh, karena bukan bahasa Indonesia. Deppen minta judul itu diganti. Karena publikai telanjur dibikin, terjadilah negoisasi dan kemudian muncul tambahan (Sonata di Ten- gah Kota). Kabarnya, untuk film laris tapi tak bermutu Kanan Kiri Oke, judul semula Kiri Kanan Oke. Tak jelas kenapa kiri tak boleh lebih dulu dari kanan. Yang runyam dan akhirnya mengganggu pemasaran adalah film Nyoman dan Presiden karya Sutradara Judy Subroto. Skenario yang diajukan ke Deppen memakai judul itu sampai keluar izin prinsipnya. Namun, ketika izin produksi keluar, Deppen memberi judul sementara Nyoman. Mungkin Judy tak memperhatikan benar soal itu. Ketika film itu selesai dan dibawa ke Badan Sensor Film (BSF), 1989, judulnya ternyata tak dipersoalkan BSF, yakni Nyoman dan Presiden. Deppen kemudian melarang judul ini. Alasannya, penampilan Presiden (Soeharto) di film itu terkesan cuma tempelan, dan ini akan berakibat mengganggu kewibawaan lembaga kepresidenan secara luas. Sederet judul baru ditawarkan kepada produsernya. Salah satunya, Nyoman dan Merah Putih. Tapi Judy menolak dengan alasan BSF sudah memberikan cap lulus sensor. Dan ia mengantungi surat dari Hankam yang tak keberatan judul film itu. Karena tak ada kesepakatan, film yang menelan biaya Rp 1 milyar dan bercerita tentang anak lugu dari Bali ini- dengan musik yang bagus dari Leo Kristi- hanya mengisi gudang, sampai kini. Itu baru urusan judul. Skenario lebih diperhatikan lagi. Tokoh perampok Kusni Kasdut tak bisa difilmkan karena dianggap menonjolkan penjahat. Juga ada larangan yang jelas, yakni film harus bebas dari ajaran-ajaran seperti Leninisme dan Marxisme. Sensor pada skenario ini membuat sejumlah penulis ragu-ragu, apakah mereka berani menulis skenario film yang berisi ketimpangan sosial di masyarakat, misalnya korupsi. Setelah skenario disetujui, praduser pun harus memilih pemain, sutradara, kameramen, dan sebagainya. Ini berurusan lagi dengan Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia) dan KFT (Karyawan Film dan Televisi) untuk memperoleh rekomendasi. Ada pembatasan-pembatasan, misalnya artis tak oleh ikut lebih dari dua produksi sekaligus. Sutradara harus sudah "lulus" dari ujian KFT. Contohnya, film Max Havelaar, yang judulnya di sini menjadi Saijah dan Adinda. Film kolosal produksi patungan Indonesia-Belanda (1974-1975) ini sempat terganjal di Deppen. Gara- garanya, D.A. Peransi yang diusulkan produsernya akan mendampingi sutradara Fons Rademakers- sekaligus produser film ini- ditolak Deppen karena ia tidak mengantungi rekomendasi KFT. Film ini akhirnya diedarkan juga setelah 12 tahun terkatung-katung. Jika judul, skenario, dan rekomendasi tak menjadi persoalan, maka ujung lorong adalah BSF. Proses di sini bisa cepat- satu hari jadi- tapi bisa pula panjang- bertahun-tahun. Fee resmi besarnya Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu per judul. Entahlah kalau ada fee tidak resmi. Film Petualang-Petualang karya Sutradara Arifin C. Noer mengendap di BSF sampai tujuh tahun. "Begitu keluar, sudah compang-camping," kata Arifin. Filmnya yang lain, Matahari-Matahari, hanya tertahan tujuh bulan, karena dianggap ber- semangat "sosial realisme". Jika film sudah lulus sensor BSF, pencetakan copy pun disiapkan produser. Ada peraturan yang menyebutkan agar peng- gandaan itu dilakukan di dalam negeri, yakni di Inter Studio dan PP (Pusat Produksi Film Negara). Haram dilakukan di luar negeri. Celakanya, "Proses di dalam negeri lebih lama dan lebih mahal," ujar Ferry Anggriawan pengelola Virgo Putra Film, yang kini berhenti berproduksi. Katanya, untuk menggandakan hingga 25 copy- dengan biaya Rp 1,5 juta per buah- di dalam negeri dibutuhkan tempo tiga bulan. Sedang di Hong Kong, misalnya, paling lama satu minggu dengan biaya Rp 1 juta per copy. Karena ketentuan proses di dalam negeri ini film Pagar Ayu-nya Virgo tak bisa diputar menjelang Lebaran yang lalu. Copy tidak siap. Tampaknya, produksi film nasional memang sarat masalah . Moebanoe Moera dan Iwan Q. Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini