Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan begitu. Begini cerita yang paling asyik, seperti dikisahkan Tika dalam seminar pers di Surabaya belum lama ini. Satu hari, seorang wartawan palsu berdandan necis menemuinya. Ia ingin tahu beberapa soal tentang perusahaan tempat Tika bekerja. Ketika ditanya balik apa yang ingin diketahuinya, si "wartawan" tadi justru mengeluarkan kartu namanya. Yang membuat Tika "terkagum-kagum", di kartu itu tak tercantum nama media apa pun, melainkan justru daftar serenteng keahlian, mulai jual-beli tanah sampai jasa pengobatan. Ujung-ujungnya, ya, duit juga yang diminta. Diberi? "Ya, bagaimana lagi? Saya kasih Rp 40 ribu sebagai ganti dua foto yang ia tawarkan," kata Tika, 39 tahun. Lucunya, karena begitu terkesan, Tika mengaku masih menyimpan kartu nama si "wartawan serba bisa" tadi.
Sebetulnya, Tika sendiri ingin tradisi mengambil "amplop" alias "uang transpor" tak lagi dilakukan para wartawantermasuk yang punya media resmi. Bukan karena ia pelit, tapi ia ingin pers lebih profesional. Sayangnya, "Yang mengembalikan amplop jumlahnya tak bertambah, paling cuma dari media tertentu saja," kata Tika. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo