LAUT Indonesia menyimpan harta karun yang luar biasa nilainya. Konon, ada 185 buah kapal yang karam di perairan Indonesia dengan muatan benda-benda yang tak ternilai harganya. Dari emas sampai keramik, yang tentu saja, karena usianya begitu tua, punya nilai sejarah tinggi. Entahlah, sejauh mana kebenaran adanya 185 kapal yang karam itu dan di mana saja lokasinya.
Yang jelas, cerita soal kapal yang menyimpan harta karun ini bukan sekadar dongeng dari abad silam. Sudah banyak orang jadi kaya karena berburu harta di dasar samudra ini. Sayangnya, semua itu tak pernah terbuka ke masyarakat umum. Tak pernah pemerintah menjelaskan secara gamblang bagaimana prosedur pengangkatan barang-barang dari beberapa abad yang silam ini. Juga tak pernah diumumkan secara terbuka siapa saja yang diberi hak mengangkat harta karun itu. Apalagi kalau ditanyakan hasilnya. Sudah berapa banyak nilai barang yang diangkat itu? Ke mana saja uangnya?
Selama ini, dari laut yang luas itu, kita hanya tahu ada ikan-ikan yang kena jaring nelayan—dan sebagian besar ditangkap kapal nelayan asing. Kita tak pernah sadar betul, apalagi digerakkan, untuk ikut memikirkan harta lain di luar ikan, yang justru nilainya begitu besar. Tiba-tiba kita jadi kaget, ternyata ada orang asing yang sudah mengangkat sebagian harta karun itu. Jikapun ada orang kita yang kecipratan, ya, lagi-lagi lingkaran kecil saja, keluarga dan kroni penguasa Orde Baru.
Kini, pemerintah punya Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan—entahlah, apakah departemen ini masih dipertahankan atau bubar, kita tunggu saja pengumuman susunan kabinet baru pemerintahan Gus Dur pekan ini. Yang jelas, sejak departemen ini ada, pengangkatan harta karun di samudra itu lebih genah juntrungannya, lebih transparan seluk-beluk perizinannya, dan tentu pula pembagian hasilnya. Sebelum ini, pemerintah hanya mendapatkan bagi hasil dari barang berharga itu dalam hitungan miliaran rupiah, padahal nilai yang dihasilkan triliunan rupiah. Siapa yang menyangka kalau pengangkatan harta karun yang bertebaran ini sudah berlangsung 11 tahun lamanya.
Kini, pemerintah harus bisa tegas dalam perkara ini. Siapa saja yang diberi izin untuk ''beroperasi" di dasar lautan ini harus jelas kriterianya. Kemudian, soal perjanjian bagi hasil, harus ada hitam di atas putihnya. Kita maklum, menelusuri harta karun ini bukanlah perkara gampang. Laut begitu luas. Perlu peralatan canggih untuk menentukan posisi yang tepat di mana kapal-kapal penyimpan harta karun itu karam.
Kalau memang peralatan kita belum memadai, dan tenaga profesional di bidang itu juga kurang, tak apa-apa menyerahkan proyek ini kepada pihak asing. Tapi, itu tadi, pembagian hasilnya jelas dan uangnya betul-betul masuk ke kas negara. Selama ini, semuanya serba gelap, kenapa Keluarga Cendana—anak dan cucu mantan presiden Soeharto—bisa dengan bebas ''terlibat" dalam usaha yang sebetulnya rumit ini. Tommy Soeharto dikabarkan sampai menyimpan keramik hasil pengangkatan dari kapal karam itu bertahun-tahun di Batam, menunggu harga tinggi (lihat rubrik Investigasi di majalah ini). Menjadi pertanyaan, kenapa semudah itu Tommy mendapatkan izin, dan dari hasil pengangkatan itu, sudah berapa yang diserahkan kepada negara. Semuanya masih misteri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini