Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMASA kecil, Katon Bagaskara bergidik mendengar nama Timor Timur. Bapaknya, anggota Kopassus, bertugas di sana selama total dua tahun. Kepada anak-anaknya, sang ayah pamit pergi ke medan perang. Kala itu, pada 1980, Timor Timur baru bergabung dengan Indonesia. "Di sana sedang genting-gentingnya, masih banyak pemberontak," kata Katon, kini 45 tahun.
Sang ayah meninggal terkena serangan jantung karena syok Timor Timur lepas dari Indonesia. Toh, Katon tak dendam kepada siapa pun. "Memang begitu risiko jadi tentara, tergantung perintah atasan," katanya.
Tiga dekade berlalu. Katon akhirnya mendapat kesempatan "napak tilas" jejak bapaknya. Kali ini tak ada hubungannya dengan adu senjata. Vokalis KLa Project ini justru diundang pemerintah Timor Leste. Di tepi pantai, di bawah patung raksasa Yesus Kristus di Dili, Katon bernyanyi. Ia melantunkan lagu-lagu andalan, seperti Dinda di Mana dan Pasir Putih. Saat Yogyakarta mulai berdentam, suasana seketika "panas". Dua dari pejabat yang hadir—Menteri Luar Negeri dan Menteri Pariwisata Timor Leste—kompak ikut bernyanyi lantang. Ternyata keduanya adalah alumnus Yogyakarta. Mereka merasa "pulang kampung" mendengar lagu itu. Keakraban dua negara ini membuat Katon makin yakin, "Memang lebih enak jadi seniman daripada tentara."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo