Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak muda yang marah itu, Mohamed Bouazizi, membakar diri 17 Desember 2010, dan revolusi meletus di Tunisia. Tapi tak tiap orang yang membakar diri untuk menggugat bisa menggerakkan perubahan seperti pedagang kecil di tepi jalan Tunis yang dianiaya kekuasaan itu. Di Kairo, sebulan kemudian, Abdou Abdel-Monaam Hamadah juga mencoba membakar diri, tapi ia—yang tak meninggal—tak pernah disebut sebagai pemicu "Revolusi 25 Januari" yang bergerak dari Alun-alun Tahrir. Empat orang lain menyusul di Aljazair, namun, tragisnya, hanya menimbulkan guncangan kecil.
Revolusi selalu punya pengagum dan epigonnya, tapi tak pernah merupakan fotokopi. Tiruan jarang bisa menggugah. "Sejarah berulang," kata Marx, "pertama kali sebagai tragedi, yang kedua kali sebagai dagelan." Dengan kata lain, tak ada formula yang bisa dipakai berkali-kali, di mana saja.
Paling-paling kita hanya punya satu nama, "revolusi", yang kita terapkan setelah bermula sebuah aksi transformasi politik. Paling-paling kita susun teori yang kita anggap berlaku umum. Tapi sebenarnya tak ada titik tunggal penyebab sebuah revolusi. Tak ada satu garis lurus ke perubahan. Proklamasi 17 Agustus 1945 muncul bukan cuma dari satu awal. Kekuasaan Jepang runtuh, tapi waktu itu sebuah situasi hadir, yang di dalamnya berkecamuk macam-macam anasir yang tak searah dan sejalan. Kemudian Bung Karno, Bung Hatta, dan para pemuda memutuskan untuk memberi bentuk kepada chaos itu. Bersama itu, ada keinginan untuk mempertautkan hal-hal yang bertentangan—misalnya "cara yang seksama" dengan "tempo yang sesingkat-singkatnya".
Hal-hal yang bertentangan itulah yang menyebabkan teori revolusi dibutuhkan, tapi sekaligus diabaikan. "Tanpa satu teori revolusi, tak akan ada gerakan revolusioner," kata Lenin di tahun 1905. Tapi di hari-hari yang menentukan dalam Revolusi Oktober 1917, Lenin tak menerjemahkan sebuah gagasan yang sudah jadi. Ia bertolak dari analisis keadaan konkret dari saat ke saat. Althusser, pemikir Marxis Prancis itu, menyebut Lenin bertindak atas "konjunktur" (kombinasi yang genting antara pelbagai kejadian) di Rusia saat itu.
Kata "konjunktur" agaknya makin harus dianggap penting kini—bukan hanya karena wibawa atau kontroversi Althusser. Saya kira kata itu mengacu ke satu konsep yang merespons apa yang terjadi sejak akhir 1960-an: gerakan revolusioner berbenturan dengan keadaan yang berbeda-beda. Hasilnya tak bisa diprediksi. Dan yang pasti tak semuanya berhasil. Ada yang salah dengan "teori". PKI pernah bersemboyan "Tahu Marxisme dan kenal keadaan", namun akhirnya dengan Althusser kaum Marxis bisa punya semboyan lain: "Biarkan teori Marxis ditentukan keadaan".
Mereka yang ortodoks akan mengecam pandangan Althusser sebagai "revisionis". Tapi bagi pemikir ini, itulah justru semangat "materialisme" yang konsekuen: yakin bahwa bukan ide atau kesadaran yang mewujudkan tindakan dan membuat sejarah. Bagi Althusser, yang menggerakkan sejarah adalah zat (materi) yang juga membentuk tubuh manusia. Tokoh Marxisme Prancis ini telah memisahkan diri dari "materialisme" yang berakar dalam tradisi "rasionalis". Ia menilai—artinya mengkritik—materialisme macam itu, termasuk Marxisme dan Leninisme, sebagai "bentuk idealisme yang tersamar".
Dan ia menyebut "hujan". Hujan, larik air yang berjatuhan tak terhitung, sepenuhnya zat yang saling ketemu dalam curah. Tak dirancang. Gerak dan arahnya tak bisa didalilkan. Maka inilah jenis materialisme yang hendak diperkenalkan Althusser: "materialisme hujan, penyimpangan, ketemu di jalan", matërialisme de la pluie, de la dëviation, de la rencontre.
Di sini agaknya hujan bukan cuma metafor merdu perjalanan manusia dalam sejarah. Bisa dibayangkan jutaan tetes air itu, meskipun hanya "ketemu" (dan bukan "bertemu"), meskipun dianggap menyimpang dari teori apa pun, punya tenaga yang hasilnya tak terduga. Di tanah, hujan adalah air yang membantu hidup tumbuh-tumbuhan, merevitalisasi makhluk, jadi sungai atau banjir yang mengalir. Hujan bisa menggerakkan turbin, merobohkan pohon, mengikis batu, dan merusak bangunan.
Tentu, setidaknya bagi saya, "hujan" Althusser tak persis pas untuk jadi kiasan yang menggambarkan perjuangan manusia. Ia mengabaikan dialektika, ketika manusia dengan kesadaran dan tubuhnya ikut membuat perubahan, tak sekadar hidup sebagai zat yang mengucur mekanistis. Meskipun begitu, Althusser ada benarnya: aksi protes hari-hari ini—kini, setelah Tunisia, Mesir, dan Madrid, juga New York, dan terakhir Moskow—memang mirip "ketemu di jalan". Seperti jutaan titik hujan, tanpa dalil dan teori, orang ramai itu bersama-sama turun ke jalan. Tak ada argumen yang menang yang membuat mereka bersepakat untuk menuntut. Dan, seperti hujan, tak ada arah yang dipasang di hadapan, sebelum mereka berjalan.
Bahwa mereka bersua, mungkin karena imaji menular lewat media yang tak berbatas. Mungkin yang berlangsung hanya penyebaran visualisasi, bukan rasionalisasi. Akhirnya masing-masing akan mengalir ke arah yang muncul di tempat dan di musim yang berbeda.
Tapi tak berarti tak ada yang mempertemukan mereka. Di sini kita tak bisa lebih jauh dengan Althusser. Tindakan Bouazizi sesuatu yang singular, tak terbandingkan. Tapi bahwa ia ditiru, itu karena ia bergaung sebagai variasi atas tema yang universal: pergulatan untuk merdeka, tapi tak cuma merdeka, juga adil. Dan itulah yang membuat laku politik berarti, meskipun terkadang sesudah itu mati. Dan itulah yang membuat laku manusia tak hanya seperti air tercurah, tanpa hasrat.
Dan itu akan berlangsung terus, berabad-abad.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo