Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati usia terentang jauh, Dian Sastrowardoyo, 24 tahun, tak canggung tampil di acara mengenang 100 tahun Sutan Takdir Alisjahbana di Bogor, Jawa Barat. Dia bahkan membacakan sajak Aku dan Tuhanku karya Takdir. Sajak itu menyentuh hatinya dan membuatnya meneteskan air mata. ”Aku suka sajak ini,” katanya, ”Kebetulan putra-putri Sutan Takdir juga menyukainya.”
Bagi Dian, STA—panggilan Takdir—bukan hanya seorang sastrawan. ”Ia adalah sosok yang memiliki nasionalisme tinggi, kritis dan rasional,” ujarnya. Saat ini, menurut Dian, ada ketakutan yang besar terhadap pengaruh dari luar. Segala hal yang berbau Barat harus ditolak. ”Padahal, sejak 1930-an STA sudah mengajak berkaca pada kemajuan Barat,” katanya. Dengan itu pula, ia turut menggagas Indonesia yang modern.
Satu pelajaran lagi yang diperoleh Dian dari STA adalah cara budayawan kelahiran Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 itu bersyukur kepada Tuhan. Ia mengutip STA, ”Berpikir dan menjadi rasional adalah bentuk syukur yang paling besar.” Mantap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo