Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin mencatat setidaknya ada 22 buku yang diterjemahkan Ali Audah. Ali sangat tertarik pada karya penulis Mesir, Husain Haikal. Selain Sejarah Hidup Muhammad, yang diterjemahkannya antara lain Umar bin Khattab, Abu Bakr as-Siddiq, dan Usman bin Affan. Ali melengkapinya dengan menulis Ali bin Abi Thalib, lantaran Haikal lebih dulu meninggal.
Ali juga menerjemahkan sederet kumpulan cerpen penulis Timur Tengah, di antaranya Kisah-kisah Mesir (Mesir, 1977) dan Di Bawah Jembatan Gantung (Aljazair, 1983). Di samping itu, Ali menerjemahkan karya penulis Prancis, André Gide, Theseus (1979) dan Oedipus (1979). "Saya menduga karya Gide diterjemahkan Ali Audah langsung dari bahasa Prancis," tulis profesor sastra Prancis, Rahayu S. Hidayat, dalam tulisannya di buku 90 Tahun Ali Audah. Sebab, terjemahan Ali bagus sekali.
Penyair dan penulis puisi Leon Agusta pun mengaku takjub pada buku Tafsir Al-Quran 30 Juz karya Abdullah Yusuf Ali yang diterjemahkan Ali. Tebal buku yang diterbitkan pada 2009 itu mencapai 1.862 halaman. "Siapa yang bisa melakukan hal seperti itu?" ujar Leon.
Dalam pidato perayaan ulang tahun Ali, esais Goenawan Mohamad mengatakan dua hal yang membuat Ali menjadi penerjemah ulung: sabar dan tak ingin menonjolkan diri. Ali memilih menjadi penerjemah karena baginya tidak penting namanya menjadi monumen. Goenawan memuji bahasa Indonesia yang digunakan Ali dalam terjemahannya. "Seharusnya ada Ali Audah Award untuk karya-karya terjemahan sastra asing ke dalam bahasa Indonesia."
Ali sendiri mengatakan yang belum tercapai dalam kariernya sebagai penerjemah adalah menerjemahkan karya Al-Ma'arri, penulis Suriah. Ia ingin, tapi sudah tak mungkin melakukannya.
Kumpulan cerpen terjemahan pertama saya berjudul Suasana Bergema karya Hamid G. as-Sahar, diterbitkan Balai Pustaka pada 1957. Selain membuat cerpen, saya menulis novel, Jalan Terbuka (1971). Naskah drama juga saya tulis. Pernah dimainkan di TVRI. Judulnya Hari Masih Panjang, yang bercerita tentang kehidupan dosen di Institut Pertanian Bogor.
Saya memasuki dunia penerjemahan pada 1951. Mulanya, saya tertarik pada sastra Barat. Saya menggemari kesusastraan dan pengarang Rusia, seperti Leo Tolstoy, Anton Chekhov, Maxim Gorky, Nikolai Gogol, Yevgeny Garshin, dan Ivan Turgenev. Saya juga suka pengarang lain dari Eropa, seperti Victor Hugo, Guy de Maupassant, Oscar Wilde, dan Johann Wolfgang von Goethe. Asrul Sani-lah yang mendorong saya menerjemahkan sastra Arab.
Asrul menjadi pengasuh Gelanggang di majalah Siasat. Saya mengirimkan terjemahan cerpen dari pengarang muda Timur Tengah. Dia kaget sewaktu membacanya dan mengatakan cerpen itu sudah maju jauh. Ia menganjurkan saya beralih menjadi penerjemah sastra Arab karena belum ada yang melakukannya.
Terjemahan bahasa Arab kebanyakan buku agama, bukan karya sastra. Ini saya buktikan ketika mengunjungi toko buku di Surabaya. Namanya Toko Kitab Salim Nabhan. Sewaktu saya tanya apakah ada buku sastra, pemiliknya menunjuk tumpukan buku berdebu yang ditaruh di kolong meja. Buku-buku itu nyaris dibuang karena tak laku. Jika mau, saya boleh meambil dengan membayar berapa saja. Saya borong saja dengan harga murah.
Pada masa itu, paling-paling orang hanya tahu roman Majdulin karya sastrawan Mesir, Luthfi al-Manfaluthi. Itu pun karena heboh buku Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Buya Hamka. Saya turut menyumbang opini ketika muncul polemik ini pada 1962 dengan menuliskannya di Suluh Indonesia. Saya berikan contoh-contoh di Prancis, Inggris, dan Timur Tengah sendiri. Banyak yang melakukan pola seperti itu. Dan itu biasa.
Pembelaan saya itu mengena sekali. Saya mengulasnya karena terlihat bahwa si pengkritik yang bernama Abdullah S.P. itu hanya membaca buku bahasa Arabnya. Padahal Manfaluthi menyadurnya dari novel Sous les Tilleuls karya sastrawan Prancis, Alphonse Karr. Si pengkritik salah menuliskannya menjadi Alphonse Care.
Banyak yang tak suka kepada Hamka karena latar belakang politiknya (Masyumi). Ketika itu, situasi dikuasai Partai Komunis Indonesia. Orang-orang Lembaga Kebudayaan Rakyat ada di belakang tuduhan itu. Sewaktu saya bertemu dengan Hamka di Makassar, dia bercerita ada yang mengatakan penulisnya adalah saya yang memakai nama samaran, tapi Hamka tidak percaya.
Ketika saya beralih dari menerjemahkan karya sastra ke buku agama-yang pertama kali terbit: Sejarah Hidup Muhammad, terjemahan dari The Life of Muhammad karya Haikal-teman-teman saya meledek, "Wah, Ali masuk Islam." Itu candaan, karena saya belum pernah menulis soal agama. Prinsipnya, bagi saya, setiap buku yang saya terjemahkan, walaupun buku agama, penulisnya mestilah sastrawan. Itu sebenarnya tidak sengaja.
Ada tiga buku yang mempengaruhi saya dalam memandang agama. Pertama, buku Haji Agus Salim berjudul Keterangan Filsafat tentang Tauhid, Takdir, dan Tawakal; kedua, The Reconstruction of Religious Thought in Islam karangan Muhammad Iqbal; dan ketiga, buku The Life of Muhammad karya Haikal. Buku-buku itu memantapkan hati saya tentang apa yang mesti dilakukan dalam hidup terkait dengan agama.
Saya menerjemahkan The Reconstruction bersama Taufiq Ismail dan Goenawan Mohamad. Kami menerjemahkannya dari buku berbahasa Inggris. Saya berkawan dengan mereka. Saya dengan Goenawan beda 17 tahun, dengan Taufiq terpaut 11 tahun. Di luar kampus Institut Pertanian Bogor, kami kerap berkumpul membahas sastra dan puisi. Pada 1965, terbitlah buku itu.
Saya masih menyimpan cita-cita menerjemahkan sederet buku, tapi sudah tidak mungkin melakukannya. Salah satunya The Epistle of Forgiveness (Risâlat al-ghufrân, Surat Pengampunan) karangan penulis Suriah, Abul 'Ala al-Ma'arri. Dia itu orang buta, sastrawan yang paling saya senangi. Saya sangat tergoda menerjemahkan esai dan puisinya. Ia banyak menulis tentang kehidupan di akhirat nanti.
Menurut Ali Audah, mungkin buku The Epistle of Forgiveness tidak bisa disiarkan bebas di sini karena begitu liarnya Al-Ma'arri menulis. Tapi, di Timur Tengah, tak jadi masalah buku seperti itu diedarkan, bahkan di Mesir dijadikan disertasi doktor. "Dia muslim yang taat sekali, tapi kalau baca esainya, seperti seorang ateis."
Ananda Badudu, Dody Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo