Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Negeri tanpa Telinga
Sutradara: Lola Amaria
Skenario: Indra Tranggono
Pemain: Lukman Sardi, Ray Sahetapy, T. Rifku Wikana
Ketua Partai Martobat, Piton Wangsalaba (Ray Sahetapy), berambisi menjadi presiden. Ambisi itu berakhir di penjara gara-gara ia terlibat kasus korupsi. Sebelumnya, ia bersumpah siap dipanah di depan istana bila terbukti menerima uang haram.
Ustad Etawa (Lukman Sardi), ketua sebuah partai berdasarkan agama, juga dipenjara karena terlibat korupsi impor daging domba. Sebelumnya, anak buahnya tertangkap basah oleh KAPAK (sebuah lembaga pemberantasan korupsi) di hotel bersama seorang perempuan panggilan dan sekoper uang tunai.
Semua itu bagian terpenting dari kisah Negeri tanpa Telinga. Ibarat cermin, semuanya berpadan pada sejumlah skandal korupsi di negeri ini yang sudah berlimpah diberitakan di media massa. Buat apa kisah itu dinyatakan kembali dalam film? Sebaiknya jawaban tidak dicari dari pernyataan resmi pembuat film.
Membicarakan karya seni apa pun, termasuk film, sebaiknya tidak bergantung pada pernyataan verbal sang seniman di luar karya itu. Kita amati saja karya mereka secermat mungkin dan konteksnya. Bukan kata-kata penjelasan seniman di luar karya itu.
Walau berkisah mirip berita jurnalistik yang terbilang mulai basi, Negeri tanpa Telinga tetap menarik ditonton, dan jadi bahan bahasan tentang dua perkara. Pertama, tentang perbedaan dan kaitan antara dua medium bertutur: film dan jurnalisme. Kedua, perubahan politik di negeri ini.
Berita jurnalistik tentang korupsi nyaris jenuh dan kehilangan daya tariknya. Bukan hanya karena isinya itu-itu saja, melainkan juga volume, modus produksi, sirkulasi dan konsumsi informasinya. Ia bertebaran seperti debu yang mengganggu di berbagai tempat dan saat ketika kita mengerjakan aktivitas lain.
Ketika ditampilkan dalam bentuk film fiksi di gedung bioskop, kisah korupsi bisa berbeda. Orang perlu datang khusus ke tempat pertunjukan di waktu yang dijadwalkan. Ketika pintu ruang ditutup, lampu dipadamkan, dan film mulai diputar, seluruh perhatian dan indra kita terpusat pada gambar-gerak dan suara padu. Materi yang tersaji pun berbeda dengan berita yang disusun jurnalis, yang serba terburu-buru. Gambar dan suara film disusun berbulan-bulan kalau bukan bertahun-tahun.
Yang layak dipuji dari Negeri tanpa Telinga adalah pengambilan gambar Nur Hidayat. Bukan isi dan jalannya cerita. Juga layak dipuji dua aktor utama, yaitu Ray Sahetapy dan Lukman Sardi. Sebagai sutradara, Lola tampil lebih fasih bertutur dengan medium film daripada karya-karya sebelumnya.
Dari berita korupsi di televisi dan media cetak, kita hanya menerima laporan verbal atau gambar tertuduh masuk-keluar kantor pemeriksaan, atau tertangkap dan digiring masuk mobil tahanan. Negeri tanpa Telinga memaparkan lebih banyak, termasuk adegan sebelum penangkapan yang lebih seru: perbincangan rahasia mereka yang diselingi ucapan-ucapan keagamaan; tawar-menawar jumlah suap; serah-terima uang suap; mereka masuk kamar hotel dan bercinta dengan perempuan panggilan; sebelum disergap petugas negara.
Negeri tanpa Telinga merupakan teriak makian terhadap elite politik dan seluruh pranata politik yang korup di negeri ini. Juga pada manipulasi keislaman dalam politik-ekonomi pada tingkat tidak-tahu-malu. Kemarahan itu bisa dipahami karena praktek tersebut sering dibiarkan negara. Laporan jurnalis terbukti tidak berdaya membuat elite politik malu dan jera.
Film ini menelanjangi semua itu lebih dramatik dan memakinya lebih geram ketimbang karya jurnalistik. Tapi, karena menggebu marah, penokohan dalam film ini mentah dan tampil karikatural. Semua tokoh politik dalam film ini korup dan brengsek. Seorang tokoh jelata (Rifnu Wikana) yang apolitis ditampilkan serba baik. Alih-alih mendewasakan publik dalam politik, ia berisiko mengajak orang jadi anti-politik. Beda tapi mirip depolitisasi Orde Baru.
Gaya bertutur film ini mirip Teater Koma di masa Orde Baru: lihai mengolok-olok penguasa, dengan humor segar dan karikatural hitam-putih. Skenario Negeri tanpa Telinga ditulis Indra Tranggono, yang kaya pengalaman berteater di Yogya. Beberapa aktor dari Yogya juga tampil dalam film ini.
Tapi waktu itu Teater Koma berjaya karena media massa dan parlemen tidak berkutik ditekan teror-negara. Kritik politik diharamkan. Politik negeri sudah berubah besar. Film ini akan jauh lebih menggigit seandainya diedarkan sebelum ada ledakan gairah politik massa nonpartai di Pemilihan Presiden 2014.
Ariel Heryanto *)Pengajar di Australian National University, bukunya yang terbaru Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture (NUS Press 2014)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo