Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Air dan minyak tidak pernah benar-benar terpisah. Bahkan, dalam urusan tumpahan minyak di laut, para ahli selalu menunjukkan betapa sulit "melerai" dua jenis cairan yang sesungguhnya berbeda watak itu.
Hingga kini tumpahan oli dari tanker PT Vale pertengahan bulan lalu masih mencemari perairan Teluk Bone di Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Inilah tumpahan minyak jenis high sulphur fuel oil (HSFO) PT Vale ketiga, setelah perusahaan tambang itu menumpahkan minyak pada 2009 dan 2012.
Sebenarnya ada satu terobosan dari tim insinyur kampus Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Cambridge, Amerika Serikat. Dengan ferofluida magnetik, cairan magnetik berwarna hitam berisi partikel besi berlapis surfaktan, mereka mendapatkan cara yang efektif untuk memisahkan minyak dan air.
"Karena minyak bersifat magnetik, kita bisa memindahkannya dengan magnet yang kuat dan memisahkannya dari air," kata profesor teknik elektro MIT, Markus Zahn, seperti dikutip dari situs universitas itu, 20 Agustus 2014.
Berbeda dengan sembrani yang langsung menempel saat magnet mendekat, minyak memang tidak dapat ditarik oleh magnet. Namun, tatkala dicampur dengan larutan yang anti-air dan partikel magnetik, seperti besi, minyak dapat ditarik dan dipisahkan dari air dengan magnet. Prinsip inilah yang dipakai tim insinyur MIT untuk membuat ferrofluida magnetik.
Dengan teknologi nano, Zahn dan timnya membuat cairan magnetik yang terdiri atas partikel besi dan cairan pelarut yang mengandung surfaktan. Surfaktan berfungsi melapisi partikel besi agar tidak saling menempel saat terkena medan magnet. Partikel besi yang digunakan berdiameter 10 nanometer. Sebagai perbandingan, diameter rambut manusia adalah 50 mikron atau 0,05 milimeter, sedangkan partikel besi kira-kira setara dengan diameter rambut yang dibelah 50 ribu kali.
Cairan magnetik bersifat anti-air atau hidrofobik tapi cekatan mengikat minyak. Dalam uji coba di laboratorium, tim insinyur menaruh air yang tercemar minyak dalam wadah persegi panjang. Di tengah wadah tertancap delapan pipa magnetik yang ditata dalam dua baris. Begitu diteteskan ke wadah, ferofluida magnetik langsung menyedot minyak di sekitarnya dan membawanya bergerak menempel ke bagian atas pipa magnetik.
Pemimpin penelitian, Shahriar Khushrushahi, mengatakan minyak menempel ke bagian atas pipa magnetik karena medan magnet paling besar terletak pada ujungnya. Minyak yang tersedot itu lantas menggumpal dengan tepiannya meruncing bak kulit durian. "Membentuk bulatan mirip manik-manik di sekitar ujung magnet," katanya.
Keberhasilan metode ini juga ditentukan oleh desain magnet. Menurut Khushrushahi, tim insinyur menyusun magnet menggunakan Halbach array untuk menyedot minyak pada bagian atas magnet silindris. Posisi magnet dalam Halbach array diatur agar medan magnet di dasar wadah mendekati nol, sedangkan di ujung lain hampir dua kali lipat.
Tim peneliti memang belum menerapkan teknologi ini di laut lepas. Namun, dalam skema riset mereka, pemilahan minyak dan air akan berlangsung efektif di kapal. Ferofluida tak perlu ditumpahkan ke laut agar tidak semakin mencemari lingkungan. Sebaliknya, air laut yang tercemar minyak disedot dengan pompa ke tangki khusus, lalu dicampur ferofluida. Campuran ini lantas disaring dengan magnet untuk memisahkan minyak dari air. Dengan cara ini, air dapat langsung dialirkan kembali ke laut.
Tim insinyur MIT tidak seketika membuang minyak yang tersaring oleh magnet. Mereka justru memastikan minyak yang tertumpah ke perairan dapat kembali digunakan. Dengan begitu, perusahaan minyak tidak menanggung kerugian yang terlampau besar. "Minyak yang diangkat dari perairan dapat kembali ditampung dalam kilang minyak atau tanker," Khushrushahi mengatakan.
Untuk memisahkan minyak dari ikatan ferofluida, tim peneliti menggunakan teknologi high-gradient magnetic separation. Hanya, teknik ini bisa terganjal oleh adanya air yang terlarut dalam minyak. "Mata kita mungkin tidak dapat melihat kelembapan itu, tapi saya yakin ada uap air yang terlarut di dalamnya," ucap Zahn. Itu sebabnya proses pemilahan harus dilakukan dalam beberapa tahap agar minyak yang dihasilkan benar-benar murni.
Ferofluida sebenarnya bukan barang baru. Hanya, pemanfaatannya untuk membersihkan pencemaran minyak di laut baru tercetus oleh tim insinyur MIT. Zahn mengatakan metode ini terinspirasi dari kasus tumpahan minyak BP di Teluk Meksiko pada 2010. Bencana lingkungan terburuk dalam sejarah Negeri Abang Sam ini membuat BP harus menggelontorkan US$ 40 miliar untuk membersihkan perairan dari tumpahan minyak.
Pakar kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Agus Haryono, mengatakan teknologi nano memang jauh lebih efisien dibanding teknologi pembersih minyak lainnya. Sebab, nanopartikel magnetik bisa menyerap minyak lebih banyak. Selain itu, "Material nano bisa didaur ulang sehingga tidak khawatir mengganggu lingkungan," katanya, menanggapi inovasi tim insinyur MIT.
Nanopartikel magnetik (Fe3O4) dapat menyerap minyak karena ditambahkan zat lain yang dikombinasikan. Untuk memunculkan sifat anti-air, partikel besi dilapisi dengan polimer hidrofobik. "Biasanya polistirena, bahan dasar Styrofoam," ucap Agus. Partikel besi juga dilapis polimer penyerap, biasanya poliasam akrilat, bahan dasar popok bayi. Polimer ini menyerap minyak melalui gaya Van der Waals, yaitu interaksi antargugus hidrofobik.
Para peneliti terkadang juga menempuh mekanisme lain. Mereka, kata Agus, biasanya mencampurkan partikel besi dengan lempung, yang memiliki pori. Pori-pori pada lempung inilah yang berfungsi menyerap minyak secara fisika. Nah, efektivitas penyerapan minyak sangat ditentukan oleh ukuran nanopartikel. Interaksi nanopartikel dengan molekul minyak semakin banyak jika ukurannya semakin kecil.
Renni Suhardi, pakar bioremediasi Institut Teknologi Bandung, menambahkan bahwa besi sebenarnya satu-satunya unsur logam penyusun cairan magnetik. Nanopartikel dari logam lain juga bisa digunakan, misalnya emas (Au) dan silika (Si). Tapi nanopartikel magnetik berbahan besi lebih gampang didaur ulang. "Nanopartikel yang telah menyerap minyak bisa dibersihkan dari minyak itu sehingga bisa kembali digunakan," ujarnya.
Khushrushahi tidak menampik kabar bahwa teknologi ferofluida belum terbukti di lapangan. Apalagi banyak perusahaan minyak yang meragukannya. Selain kontroversial, metode ini dianggap rumit dan sulit diterapkan pada skala besar. "Pada skala kecil mungkin hasilnya sangat baik, tapi metode ini tidak akan bekerja baik di lautan lepas," kata Susan Shaw, pendiri Pusat Riset Lingkungan Kelautan Amerika Serikat.
Namun dua metode utama yang jamak dipakai, dispersant kimia dan skimming, juga dinilai kurang ampuh. Dispersant kimia, untuk memecah dan menenggelamkan molekul minyak ke dasar laut, berpotensi merusak terumbu karang dan mengancam organisme. Adapun skimming, teknik melokalisasi tumpahan minyak dengan pelampung, rawan terhambat cuaca. "Skimming juga tidak efektif di perairan berombak," kata Khushrushahi, seperti diberitakan CNN.
Nah, prosedur standar skimming dapat disempurnakan dengan teknologi ferofluida magnetik. Menurut Khushrushahi, efisiensi pembersihan minyak dengan skimming di perairan berombak hanya 50 persen. Artinya, perairan yang ditangani dengan cara ini masih mengandung separuh air, separuh minyak. "Teknologi kami bisa meningkatkan efisiensi dan menjernihkan 50 persen sisanya," ujarnya.
Mahardika Satria Hadi, Yohanes Seo (Kupang), Haswadi (makassar)
Tak Kunjung Raib
Teknik pembersihan tumpahan minyak yang kurang efektif dan efisien sering memakan korban. Sisa minyak yang masih menggenang akan mengurangi kandungan oksigen di dalam air laut dan mempengaruhi biota yang bergantung pada perairan yang tercemar. Bukan hanya plankton, ikan, terumbu karang, dan burung, manusia yang tinggal di pesisir sekitar lokasi tumpahan minyak juga terganggu.
Sejumlah nelayan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, misalnya, sampai hari ini masih merasakan dampak pencemaran Laut Timor akibat meledaknya ladang minyak Montara pada 21 Agustus 2009. Haji Mustafa, 65 tahun, nelayan di sana, mengatakan perolehan tangkapan ikan para nelayan belum pulih seperti sedia kala. Akibatnya, sejumlah nelayan harus beralih profesi, ada yang menjadi tukang, kerja serabutan, atau berpindah ke daerah lain. "Saya buka kios sambil usaha mebel. Kapal sudah saya jual semua," katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Petani rumput laut juga terkena imbas. Gustaf Lay, petani rumput laut asal Desa Tablolong, mengatakan budi daya rumput lautnya pada 2008 bisa mencapai 500 ton per tahun. Namun hasil itu terus merosot sejak petaka pada 2009 itu. "Panen saya hanya tersisa 10 ton per tahun," ucap Lay. Bahkan nelayan yang melaut terkadang masih mengalami gatal-gatal, efek serupa yang pernah mereka rasakan lima tahun lalu.
Meledak dan terbakarnya anjungan pengeboran minyak di Montara, Blok West Atlas, Laut Timor, perairan Australia, menyebabkan sekitar 400 barel minyak mentah tumpah ke laut lepas setiap hari. Sembilan hari kemudian, tumpahan minyak mentah itu sudah memasuki zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia yang berbatasan dengan ZEE Australia.
Kebocoran kilang minyak itu akhirnya bisa ditutup pada 3 November 2009. Namun tumpahan minyak telanjur mengalir ke perairan Indonesia, mengacaukan hasil tangkapan ikan nelayan dan panen rumput laut petani di wilayah Timor Barat. Kini, menurut Gustaf Lay, jumlah petani rumput laut di daerahnya berkurang dari 523 menjadi 23 orang. "Rumput laut kami gagal total," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo