SIR John Ford, 56 tahun, mungkin Duta besar asing yang paling
dikenal di Indonesia sejak beberapa tahun ini. Temannya banyak
mulai dari jenderal sampai orang yang berpenyakit lepra. Untuk
yang terakhir ini, atas nama perkumpulan orang-orang Inggeris di
rantau, telah didirikan beberapa rurnah bambu atau peralatan
tukang kayu di Tanggerang.
Beberapa sore dalam seminggu, tampak dia main badminton di
pekarangan depan rumahnya. Atau dia berenang di bagian belakang
pekarangan rumah, bersama beberapa staf kedutaan.
Meskipun bukan pengikut Sawito dalam lelono broto, tapi Sir John
telah mendaki beberapa gunung di Jawa (Gede dan Merapi), di Bali
(Agung) dan Sumatera (Merapi). Beberapa waktu yang lalu, dia
malahan turut dalam regu kedutaan Inggeris untuk lomba arung
sungai Citarum. Biarpun mendayung di sungai baru pertama kali
dilakukannya.
Sir John memang pencinta alam. Kepada harian ompas, pernah Sir
John berkata: "Saya tidak punya hati duta besar. Hati saya hati
brengsek mahasiswa." Tapi kalangan mahasiswa dan cendekiawan
Jakarta, cukup dibuatnya terkejut dengan pernyataannya,
seselesainya John Ford bertemu dengan Presiden Suharto untuk
pamitan. Kepada Antara. Ford antara lain berkata tentang
"besarnya kebebasan berbicara dankebebasan untuk menyampaikan
kritik di Indonesia." Ini dinyatakannya 10 hari setelah tujuh
harian ibukota dilarang terbit dan dibekukannya dewan mallasiswa
selurun Indonesia.
Mencapai gelar BA pada Oriel College, Oxford, untuk bahasa
Jerman dan Perancis, sebagai tentara di tahun 1945 pernah
mendarat di Jakarta dan Semarang. Ketika itu usianya masih 24
tahun. Dari Jakarta-lah dia menulis surat lamaran untuk
Kementerian Luar Negeri di London. Tahun 1947, mulailah
kariernya sebagai diplomat. Ia pernah ditempatkan di Budapest,
San Fransisco, Roma. Sebelum ke Indonesia bulan Mei 1975, John
Ford adalah Direktur Jenderal untuk British Trade Deelopment di
Amerika Serikat.
Ia ayah dari dua orang gadis Isterinya seorang wanita Amerika,
Emaline Ford. Sang Dubes gemar menulis sajak. Ketika dia di AS,
dia menulis sajak yang berjudul In Harlem, By Brooklyn Bridge.
Sajak-sajaknya ("yang masih amatir," demikian diakuinya) banyak
berisi tentang Ketuhanan, alam semesta atau kejiwaan. Sir John
adalah pengikut Gereja Inggeris yang salih.
Untuk Indonesia, ada dibuatnya pula beberapa sajak. Tentang
Pancasila, Pokok cerita tersebut ialah petuah, bahwa orang yang
berbuat jahat di dunia, pasti akan masuk neraka nantinya.
Beberapa kata yang sulit atau khusus, ada ditempelkan di dalam
kotak sandiwara, misalnya kata "genit", "bajingan", "brengsek",
"blo'on", "ganteng". Di akhir cerita, ada semacam nasehat untuk
yang hadir: "Hantu itu momok bukan mamang seperti Pak Domo.
Sudah-mudahan hal ini menjadi peringatan bagi saudara-saudara.
Kalau saudara-saudara mendapat pungli, Kopkamtib akan dafang
seperti hantu tadi. Jangan lupa. Selamat tinggal."
Sir John Ford meninggalkan Indonesia 7 Pebruari lalu. Dari
Musium Wayang Jakarta, Gubernur Jakarta Tjokropranolo memberikan
kenang-kenangan seperangkat wayang golek (Durna dan Pandawa
Lima) hasil karya R. Soelaeman Prawiradilaga, 76 tahun. Ketika
Sir John meninggalkan pulau Buru dari kunjungannya beberapa
minggu yang lalu, "penghuni" Buru juga memberikan tanda mata
wayang kulit, Arjuna dan Bima kepadanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini