Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ko dan non-ko

Menurut penilaian sutan syahrir, ternyata thamrin menilai lebih rendah kemanusiaan politik pemerintah daripada hatta yang bersikap non-kooperator. padahal thamrin bersikap kooperator terhadap pemerintah.

11 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Y.B. Mangunwijaya, seoran rohaniawan Katolik di Yogya, kita kenal sebagai penulis di Harian Kompas. Seperti kita ketahui, harian itu untuk sementara dilarang terbit. Maka dalam masa "istirahat" itu Mangunwjaya (yang rupanya sulit beristirahat) megirimkan tulisannya ke TEMPO. Kami bergembira memuatnya, seraya berharap mudah-mudahan Kompas cepat bisa terbit kembali - juga yang lain-lain: TANGGAL 27 Januari 1930 Fraksi Nasional dibentuk dalam Volksraad (DPR Hindia Belanda) di bawah pimpinan M.H. Thamrin, gembong "Kaum Betawi". Thamrin tergolong yang disebut kaum kooperator, patriot yang mencita-citakan Indonesia Merdeka selekas mungkin, namun merasa lebih bijaksana untuk ikut-kerja dengan Pemerintah Belanda Demi pelicinan jalan ke arah cita-cita. Sedangkan Soekarno, Hatta, Sjahrir, H.A. Salim, Tan Malakka, Darsono dan lain-lain memilih ialan non kooperasi. Sebab, kemerdekaan mustahil akan diberikan oleh pihak yang memang tidak akan suka melepaskan keuntungannya selaku pihak yang untung dari sistim kolonial. Mana pernah penguasa mengiklaskan kekuasaannya dilepas? Namun janganlah mengira kaum kooperator itu boneka belaka dalam DPR bikinan kolonial itu. Ada tentu Inlander yang menjadi yes-man dalam Volksraad itu (maklumlah bukan DPR sungguh-sungguh), tetapi para kooperator seperti Thamrin atau Soetardja sungguh tidak tedeng-aling-aling dan tidak kepalang tanggung dalam memperjuangkan cita-cita bersama itu, sehingga mereka tetap terhormat dalam pandangan kaum nasionalis non-ko. Baru sesudah Jepang masuk dan RI diproklamasikan predikat ko praktis disamakan dengan pengkhianat bangsa. Terutama Abdoelkadir Widjojoatmodjo, wakil van Mook dan ketua Delegasi Belanda yang berhadapan dengan Delegasi RI di kapal "Renville" merupakan lambang kehinaan Inlander yang paling menyolok. Sehingga untuk itu ia di stasiun Tugu Yogya historis dan harafiah diludahi oleh rakyat yang berjejal-jejal ingin melihat sang Pengkhianat datang menghadap Bung Karno. Untung masalah ko dan non-ko itu dapat diselesaikan secara damai oleh kebijaksanaan kaum RI yang keluar sebagai pemenang (atau pengkalah?) di Konperensi Meja Bundar. Namun toh kita lazim melihat kaum non-ko jauh lebih jantan. Lebih haibat lebih patriot daripada yang ko. Bung Kecil Yang Menjengkelkan Ternyata soal ko dan non-ko itu psikologis sangat interesan. bila kita mau lebih menggali lagi sendi-sendi dalamnya. Paling tidak dalam beberapa aspek persoalannya. Tetapi untuk itu kita harus mau mencerna uraian seseorang yang umumnya paling tidak disukai oleh kaum nasionalis karena lidahnya memang sering terlalu tajam untuk selaput telinga Timur. Tetapi tidakkah kita perlu juga sesekali pergi ke seseorang ahli bedah yang paling tidak kita sukai, tetapi pisau analisanya kelewat tajam? Orang yang saya maksud itu ialah Sutan Sjahrir, itu bung kecil yang sering menjengkelkan Soekarno-soekarno besar maupun kecil. Ia adalah non-ko zaman Digul, tetapi dalam awal perjuangan Republik kita ia malahan mengajak rakyatnya untuk sedikit-banyak ko-lah dengan Belanda. Alias mau berunding. Ia berbedl dari Tan Malakka serta Kaum Persatuan Perjuangan yang didirikan pada 6 Januari 1946, yang tidak tidak main ko-ko sedikit pun. Bagaimana analisa Sjahrir? Dalam Indonesische Ove peinzingen yang ditulisnya dari pembuangannya di BandNeira. Di situ Sjahrir sedikit mengejek sahabatnya Hafil alias Moh. Hatta yang radikal non-ko itu sebagai terlalu sederhana. Sjahrir sendiri juga non ko, tetapi "Semua pada diriku tidak sekeras itu. Non-kooperasi selalu saya anggap sebagai alat taktik saja." Apa alasannya? "Dulu ia (Hatta) non-kooperator, yang toh di dalam hatinya masih menaruh kepercayaan dalam banyak segi pada pemerintah kolonial. Artinya, pada penguasa yang dari asalmula adalah modern, demokratis dan memiliki kadar tinggi moral umum serta kemanusiawian. Ia tak pernah berpikir tentang polisi rahasia dan kemungkinan-kemungkinan cara-cara teror yang diterapkan kepada lawan-lawan politik, lawan politik yang sadar dan sengaja ingin tetap ada di dalam batas-batas Hukum. Jadi sebagai basis pemikirannya ia sangat tinggi menghargai kesopanan dan metode-metode penguasa kolonial yang dilawannya. Tentulah sekarang ia sudah berpikir lain. Berkat Digul. "Kini ia pasti bukan non-kooperator sengit lagi seperti dulu. Akan tetapi berbicara secara moral barangkali ia dulu lebih kooperator daripada sekarang, sebab dulu ia berhadapan dengan pemerintah dengan kepercayaan yang tak sadar pada kepantasan dan kesopanan .... barangkali jauh lebih banyak daripada yang pernah ada dalam sikap "ko-operator" seperti Thamrin misalnya .... Aku pun begitu. Dulu kami menganjurkan ketidak-percayaan terhadap Pemerintah. Akan tetapi kami tidak tahu bahwa dalam jalan pemikiran kami, toh kami berdiri pada dasar percaya terhadapnya, artinya kepercayaan moral. Ada masa, ketika Hafil (Hatta) tidak percaya, bahwa ia sampai akan dibuang, dan tentang Digul agaknya ia tak pernah memimpikannya .... Untuk Hafil hal itu sungguh merupakan wahyu yang samasekali baru dan tak terduga. Ia lebih banyak belajar dari pengalaman ini daripada "hidup berpolitik" bertahun-tahun di Eropa itu .... Adalah fakta, bahwa kebanyakan ko-operator, juga mereka yang tidak di dalam oposisi, pada hakekatnya kurang percaya pada pemerintah kolonial dan juga kurang menghargainya ketimbang kebanyakall non-kooperator dari waktu kami masih di luar penjara. Kaum kooperator bekerjasama, karena mereka merasa tidak cukup terlindung terhadap kesewenang-wenangan macam-macam yang mungkin saja dikerjakan oleh penguasa secara tega. Dengan kata lain, penaksiran mereka terhadap kesopanan, keperwiraan dan kemanusiawian penguasa begitu rendah sehingga jalan ko-lah yang bagi mereka jalan yang lebih bijaksana. Menurut analisa Sjahrir tentang psikologi sikap pejuang, ternyata Thamrin menilai jauh lebih rendah kemampuan kesopanan dan kemanusiawian politik pemerintah Laripada Hatta, ketika Hatta masih non-kooperator keras. Apakah barangkali karena uraian Sjahrir itulah Soekarno-Hatta lebih memilih jalan diplomasi? Lain dari sementara non-ko yang lebih fanatik atau lebih hijau? Kita tidak tahu. Tetapi pelajaran Sjahrir itu, kendati pun kita tidak perlu harus menyetujuinya, pantas juga kita pertimbangkan, bila ada situasi yang analog dengan keadaan ko dan non-ko mereka dulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus