Y.B. Mangunwijaya, seoran rohaniawan Katolik di Yogya, kita
kenal sebagai penulis di Harian Kompas. Seperti kita ketahui,
harian itu untuk sementara dilarang terbit. Maka dalam masa
"istirahat" itu Mangunwjaya (yang rupanya sulit beristirahat)
megirimkan tulisannya ke TEMPO. Kami bergembira memuatnya,
seraya berharap mudah-mudahan Kompas cepat bisa terbit kembali
- juga yang lain-lain:
TANGGAL 27 Januari 1930 Fraksi Nasional dibentuk dalam
Volksraad (DPR Hindia Belanda) di bawah pimpinan M.H. Thamrin,
gembong "Kaum Betawi".
Thamrin tergolong yang disebut kaum kooperator, patriot yang
mencita-citakan Indonesia Merdeka selekas mungkin, namun merasa
lebih bijaksana untuk ikut-kerja dengan Pemerintah Belanda Demi
pelicinan jalan ke arah cita-cita. Sedangkan Soekarno, Hatta,
Sjahrir, H.A. Salim, Tan Malakka, Darsono dan lain-lain memilih
ialan non kooperasi. Sebab, kemerdekaan mustahil akan diberikan
oleh pihak yang memang tidak akan suka melepaskan keuntungannya
selaku pihak yang untung dari sistim kolonial. Mana pernah
penguasa mengiklaskan kekuasaannya dilepas?
Namun janganlah mengira kaum kooperator itu boneka belaka dalam
DPR bikinan kolonial itu. Ada tentu Inlander yang menjadi
yes-man dalam Volksraad itu (maklumlah bukan DPR
sungguh-sungguh), tetapi para kooperator seperti Thamrin atau
Soetardja sungguh tidak tedeng-aling-aling dan tidak kepalang
tanggung dalam memperjuangkan cita-cita bersama itu, sehingga
mereka tetap terhormat dalam pandangan kaum nasionalis non-ko.
Baru sesudah Jepang masuk dan RI diproklamasikan predikat ko
praktis disamakan dengan pengkhianat bangsa. Terutama
Abdoelkadir Widjojoatmodjo, wakil van Mook dan ketua Delegasi
Belanda yang berhadapan dengan Delegasi RI di kapal "Renville"
merupakan lambang kehinaan Inlander yang paling menyolok.
Sehingga untuk itu ia di stasiun Tugu Yogya historis dan
harafiah diludahi oleh rakyat yang berjejal-jejal ingin melihat
sang Pengkhianat datang menghadap Bung Karno.
Untung masalah ko dan non-ko itu dapat diselesaikan secara damai
oleh kebijaksanaan kaum RI yang keluar sebagai pemenang (atau
pengkalah?) di Konperensi Meja Bundar. Namun toh kita lazim
melihat kaum non-ko jauh lebih jantan. Lebih haibat lebih
patriot daripada yang ko.
Bung Kecil Yang Menjengkelkan
Ternyata soal ko dan non-ko itu psikologis sangat interesan.
bila kita mau lebih menggali lagi sendi-sendi dalamnya. Paling
tidak dalam beberapa aspek persoalannya. Tetapi untuk itu kita
harus mau mencerna uraian seseorang yang umumnya paling tidak
disukai oleh kaum nasionalis karena lidahnya memang sering
terlalu tajam untuk selaput telinga Timur. Tetapi tidakkah kita
perlu juga sesekali pergi ke seseorang ahli bedah yang paling
tidak kita sukai, tetapi pisau analisanya kelewat tajam?
Orang yang saya maksud itu ialah Sutan Sjahrir, itu bung kecil
yang sering menjengkelkan Soekarno-soekarno besar maupun kecil.
Ia adalah non-ko zaman Digul, tetapi dalam awal perjuangan
Republik kita ia malahan mengajak rakyatnya untuk sedikit-banyak
ko-lah dengan Belanda. Alias mau berunding. Ia berbedl dari Tan
Malakka serta Kaum Persatuan Perjuangan yang didirikan pada 6
Januari 1946, yang tidak tidak main ko-ko sedikit pun.
Bagaimana analisa Sjahrir? Dalam Indonesische Ove peinzingen
yang ditulisnya dari pembuangannya di BandNeira. Di situ
Sjahrir sedikit mengejek sahabatnya Hafil alias Moh. Hatta yang
radikal non-ko itu sebagai terlalu sederhana. Sjahrir sendiri
juga non ko, tetapi "Semua pada diriku tidak sekeras itu.
Non-kooperasi selalu saya anggap sebagai alat taktik saja."
Apa alasannya? "Dulu ia (Hatta) non-kooperator, yang toh di
dalam hatinya masih menaruh kepercayaan dalam banyak segi pada
pemerintah kolonial. Artinya, pada penguasa yang dari asalmula
adalah modern, demokratis dan memiliki kadar tinggi moral umum
serta kemanusiawian. Ia tak pernah berpikir tentang polisi
rahasia dan kemungkinan-kemungkinan cara-cara teror yang
diterapkan kepada lawan-lawan politik, lawan politik yang sadar
dan sengaja ingin tetap ada di dalam batas-batas Hukum. Jadi
sebagai basis pemikirannya ia sangat tinggi menghargai kesopanan
dan metode-metode penguasa kolonial yang dilawannya. Tentulah
sekarang ia sudah berpikir lain. Berkat Digul.
"Kini ia pasti bukan non-kooperator sengit lagi seperti dulu.
Akan tetapi berbicara secara moral barangkali ia dulu lebih
kooperator daripada sekarang, sebab dulu ia berhadapan dengan
pemerintah dengan kepercayaan yang tak sadar pada kepantasan dan
kesopanan .... barangkali jauh lebih banyak daripada yang pernah
ada dalam sikap "ko-operator" seperti Thamrin misalnya .... Aku
pun begitu. Dulu kami menganjurkan ketidak-percayaan terhadap
Pemerintah. Akan tetapi kami tidak tahu bahwa dalam jalan
pemikiran kami, toh kami berdiri pada dasar percaya terhadapnya,
artinya kepercayaan moral.
Ada masa, ketika Hafil (Hatta) tidak percaya, bahwa ia sampai
akan dibuang, dan tentang Digul agaknya ia tak pernah
memimpikannya .... Untuk Hafil hal itu sungguh merupakan wahyu
yang samasekali baru dan tak terduga. Ia lebih banyak belajar
dari pengalaman ini daripada "hidup berpolitik" bertahun-tahun
di Eropa itu .... Adalah fakta, bahwa kebanyakan ko-operator,
juga mereka yang tidak di dalam oposisi, pada hakekatnya kurang
percaya pada pemerintah kolonial dan juga kurang menghargainya
ketimbang kebanyakall non-kooperator dari waktu kami masih di
luar penjara.
Kaum kooperator bekerjasama, karena mereka merasa tidak cukup
terlindung terhadap kesewenang-wenangan macam-macam yang mungkin
saja dikerjakan oleh penguasa secara tega. Dengan kata lain,
penaksiran mereka terhadap kesopanan, keperwiraan dan
kemanusiawian penguasa begitu rendah sehingga jalan ko-lah yang
bagi mereka jalan yang lebih bijaksana.
Menurut analisa Sjahrir tentang psikologi sikap pejuang,
ternyata Thamrin menilai jauh lebih rendah kemampuan kesopanan
dan kemanusiawian politik pemerintah Laripada Hatta, ketika
Hatta masih non-kooperator keras.
Apakah barangkali karena uraian Sjahrir itulah Soekarno-Hatta
lebih memilih jalan diplomasi? Lain dari sementara non-ko yang
lebih fanatik atau lebih hijau? Kita tidak tahu. Tetapi
pelajaran Sjahrir itu, kendati pun kita tidak perlu harus
menyetujuinya, pantas juga kita pertimbangkan, bila ada situasi
yang analog dengan keadaan ko dan non-ko mereka dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini