Berhenti sebagai ketua MPRS, 1972, Jenderal Purnawirawan Abdul Haris Nasution, yang 13 tahun memimpin TNI-AD dan ABRI,seperti "tersisih". Memasuki usia ke-71, ia masih manpak segar bugar dan menyala menuliskan memoarnya. Jilid ke-8 Memenuhi Panggilan Tugas baru saja terbit. Berikut ini peletak sistem perang gerilya, otak penumpasan pemberontakan PKI Madiun dan -- sebagaimana diakuinya sendiri -- sisi arsip hidup sejarah perjuanagn, ini kami minta bercerita tentang perjalanan hidupnya lewat wartawan kami: Budiman S. Hartoyo, Priyono B. Sumbogo, Bambang Bujono, Isma Sawitri, dan Amran Nasution. MATAHARI belum muncul ketika say bangun. Setiap pagi saya memang biasa bangun pukul 4, lalu sembahyang subuh. Biasanya salat berjamaah, atau sendiri-sendiri. Sejak masih jadi prajurit dulu, saya tidak pernah meninggalkan kewajiban salat lima waktu. Kita berasal dari pada-Nya, dan akan kembali pula kepada-Nya. Dalam keadaan bagaimanapun juga saya berusaha tidak meninggalkannya. Dan selalu saya usahakan tepat pada waktunya. Sikap ini juga saya terapkan pada cucu-cucu saya. Kalau saya terlambat bangun, kadang-kadang cucu saya membangunkan saya. Biarpun terlambat bangun, saya tetap salat subuh. Sebab, hanya ridha Allah juga yang saya harapkan. Apalagi dalam usia tua seperti sekarang. Teman-teman seangkatan sudah banyak yang mendahului saya. Setiap kali ketemu dengan kawan seangkatan, saya kerap bergurau, "Di antara kita, siapa yang duluan menghadap-Nya?" Yah, apa lagi sih yang bisa saya lakukan sekarang selain mendekatkan diri dan berbakti kepada Allah. Selepas subuh, biasanya saya jalan-jalan. Ya, di sekitar rumah saja. Sendirian, tapi sering pula bersama cucu saya. Dulu main tenis, sekarang tidak. Maka, saya kadang-kadang iri juga melihat Bu Nas keluar menenteng raket tenis. Untuk menjaga kesehatan, saya mengatur irama hidup yang baik. Sebab, belakangan ini dokter menganjurkan agar saya banyak istirahat. Dan alhamdulillah, kesehatan saya berangsur-angsur membaik, meski jantung saya pernah dibelah pada akhir 1986 di Amerika Serikat, dan kini memakai katup jantung. Dokter yang membedah jantung saya bilang, saya ini a strong old soldier. Yah, hal itu mungkin karena dulunya saya terbiasa hidup bersih dan tertib. Juga selalu belolahraga. Ketika jantung saya dibelah, selama sembilan jam saya hidup dari mesin. Tapi sebulan kemudian kesehatan saya sudah pulih. Malah pulangnya ke tanah air, mampir ke Tanah Suci melakukan ibadah umroh. Tentang kesehatan saya selama ini, seperti Anda lihat sendiri, saya sehat. Semua ini berkat Allah swt., dan jua usaha saya mengatur irama hidup yang teratur. Tekanan darah saya dulu memang agak tinggi: 160/90. Tapi sekarang stabil, hanya 120/80. Dengan kondisi kesehatan seperti itu, saya sering bergurau dengan kawan-kawan lama. "Kalau harus bergerilya lagi, saya nggak akan ikut. Kalian saja yang pergi. Bukan apa-apa, sebab dalam usia tua seperti sekarang ini, saya tak bisa lepas dari rumah sakit. Setiap bulan darah dan jantung saya diperiksa di Rumah Sakit Harapan Kita. Kalau bergerilya di hutan, siapa yang mengukur-ukur darah dan memeriksa jantung kita? Sebab, darah dan klep jantung saya kan ada kaitannya. Kalau darah terlalu kental atau terlalu encer, itu tidak baik, akan mengganggu kerja klep jantung yang dibikin dari logam itu. Tapi dalam soal makanan, saya masih tetap makan makanan kesenangan saya sejak dulu, yaitu lalapan dan sambal. Itu jenis lauk-pauk yang paling saya senangi sejak dulu. Saya bahkan menanam sendiri beberapa macam sayuran di belakang dan samping rumah: kecipir, terung, cabe, kacang panjang, kemangi, kemlanding. Setiap hari saya memeriksa, bahkan kadang-kadang menyiraminya sendiri. Setiap hari pula saya makan dengan lalapan yang dipetik dari kebun saya sendiri. Terhadap lalapan, saya memang luar biasa senang. Bila disuruh memilih daging ayam atau lalapan, saya akan memilih lalap. Mungkin ini hikmah dari zaman perang gerilya di hutan-hutan dulu. Dulu, di tengah-tengah perang dan desingan peluru, saya banyak makan lalap-lalapan. Bahkan sampai sekarang, tanpa sambal penyedap pun, lalapan itu saya santap juga. Barangkali itu sebabnya saya tetap sehat. Tapi tentu juga karena saya selalu bersikap pasrah dan mengharapkan ridha Allah swt. Itulah yang saya sebut "menjaga irama hidup". Acara setiap hari, kadang membaca atau menulis, menghadiri pertemuan atau ceramah, ngobrol dengan keluarga. Terutama dengan cucu. Dua putri saya kan tinggal satu, yang seorang, Ade Irma Suryani, gugur ditembak Pasukan Cakrabirawa yang mendukung G30S-PKI pada 1965. Cucu saya empat: dua di SMA, dua lagi masing-masing di SMP dan SD. Kalau pulang dari pertemuan, saya tidak lupa membawa kue untuk oleh-oleh cucu saya. Saya juga suka memeriksa buku rapor cucu saya. Cukup repot mendidik disiplin dan agama pada mereka. Mereka sama-sama saya sayangi. Kalau mereka berkelahi, sulit bagi saya mendamaikannya sebagai penengah. Karena yang salah kan mesti disalahkan. Tapi tempo-tempo ada yang protes kenapa disalahkan. Soal menulis buku merupakan acara yang tidak rutin. Ya, kalau lagi mau saja. Ya, katakanlah "musiman". Malah kadang-kadang selama berhari-hari tidak menulis. Kalaupun membaca atau menulis, paling-paling sampai pukul 3 sore. Di malam hari, paling-paling sampai pukul 8 malam. Tapi saya akan tetap menulis. Menulis memang merupakan kerja ilmiah yang paling saya senangi, sudah jadi cita-cita sejak saya masih jadi prajurit. Saya akan tetap menulis, sampai saya meninggal. Saya menulis dengan tangan, lantas diketik orang lain. Dulu, di awal tahun 50-an, ketika masih menjabat sebagai Kasad, saya punya petugas pengetik. Namanya Tugeno. Dialah satu-satunya orang yang bisa membaca tulisan tangan saya. Orang lain tidak bisa baca. Dialah yang sampai sekarang membantu saya mengetik tulisan-tulisan tangan saya itu. Sedang yang memeriksa Drs. M. Marbun, dosen sejarah FS-UI. Dulu, selain minta bantuan Pak Marbun, saya juga minta bantuan almarhum Nugroho Notosusanto, bekas Menteri P dan K itu. ABRI waktu itu memang bertekad menyusun sejarah yang benar, setelah melihat gelagat PKI hendak menyimpangkan sejarah. Soal referensi, saya memang banyak membaca beberapa buku. Tapi tidak begitu banyak yang saya gunakan sebagai referensi. Malah kalau ada orang hendak menulis sejarah perjuangan bangsa atau operasi militer, mereka biasanya datang kepada saya. Juga ada anak-anak sekolah atau mahasiswa yang datang bertanya ini-itu kepada saya, hingga hampir saya kehabisan waktu buat istirahat atau menulis. Tapi saya senang menerima mereka. Kadang-kadang saya memang memerlukan beberapa arsip, untuk mencocokkan nama, tanggal, tempat, jumlah pasukan. Ini saya ambil dari terbitan-terbitan Hankam. Yang detail seperti itu, saya kan tidak hafal. Namun, mengenai seluruh siasat operasi, tentu saja tidak usah saya cari lagi karena ketika itu kan saya sendiri yang bikin. Operasi PRRI, misalnya, sudah ada di kepala saya. Cara saya menulis memang lain dari para ahli sejarah. Saya lebih mengandalkan ingatan dan pengalaman. Pengantar, kerangka, isi, dan hal-hal lain yang penting saya susun sendiri, dengan tulisan tangan itu, lalu diketik oleh Pak Tugeno. Beberapa hal yang tidak saya ingat lagi seperti hari, tanggal, nama tempat, saya kosongkan dulu, kelak dicari di dokumentasi. Khusus genai penulisan buku Sekitar Perang Kemerdekaan yang 11 jilid itu, saya banyak memanfaatkan arsip Markas Besar Tentara. Royalti dari buku tidak seberapa, karena daya beli rakyat kita masih amat rendah, hingga buku saya kurang laku. Malah saya lebih sering membeli buku-buku saya sendiri untuk memenuhi permintaan para pelajar atau mahasiswa dari berbagai pelosok. Hidup saya sekarang ditunjang oleh empat macam pensiunan. Pensiun sebagai jenderal, pensiun bekas menteri, pensiun bekas Ketua MPRS, dan royalti buku. Untuk menunjang hidup sehari-hari, ya kurang. Itulah sebabnya keluarga kami selalu bergotong-royong. Misalnya bila saya berulang tahun, masing-masing datang membawa makanan sendiri. Tapi menghadapi hal itu, terutama Bu Nas, sudah terbiasa. Kami dulu kan juga pernah kekurangan di zaman gerilya. Sejak pensiun pada 1972, secara formal saya ini kan "tunakarya". Tidak ada tugas resmi. Juga tak punya bisnis seperti halnya kebanyakan teman purnawirawan jenderal yang lain. Kadang-kadang membantu Bu Nas dalam kegiatan sosial. Tapi yang banyak makan waktu ialah meladeni mahasiswa atau sarjana yang riset mempersiapkan skripsi atau disertasi. Saya ini kan bisa disebut sebagai "sisa arsip hidup" sejarah perjuangan. Kini saya sedang mendalami lagi bahan-bahan mengenai perang gerilya, untuk melengkapi buku saya yang sudah terbit. Hal ini perlu, antara lain untuk memperjelas kondisi, situasi, dan posisi serta pemikiran lawan, yang dulu tidak banyak kita pahami. Dengan demikian generasi sekarang dapat secara lebih tepat menilai jawaban-jawaban kita terhadap tentangan-tantangan yang dulu kita hadapi. Biasanya buku-buku Belanda mengenai perang kemerdekaan oleh penulisnya dikirimkan kepada saya. Tapi yang sangat menarik ialah diskusi dengan bekas para pelaku pihak sana. Baik sipil maupun militer, baik yang di staf maupun yang di kesatuan-kesatuan di lapangan. Misalnya diskusi dengan perwira Belanda yang dulu merencanakan penyerangan ke Yogya pada 19 Desember 1948 atau serangan 1 Maret 1949. Kita memang belum memiliki kesadaran yang baik untuk memelihara arsip. Arsip saya dari masa perang kemerdekaan tinggal sedikit sekali. Dulu pernah saya menyerahkannya ke Mabad, tapi hilang satu peti. Sedang arsip saya sejak saya dua kali jadi Kasad banyak yang dimakan rayap karena disimpan di garasi. Sudah beberapa lama ini saya punya sebuah ruangan, luasnya sekitar 4 x 5 meter. penuh bertumpuk dengan buku. Dari lantai sampai langit-langit setinggi sekitar tiga meter. Susunannya memang berantakan, tidak keruan. Tetapi saya hafal letak buku dan arsip-arsip yang saya perlukan. Kalau diatur lagi, malah mungkin saya sulit mencarinya. Tapi ini bukan tempat saya bekerja. Hanya kadang-kadang saja saya masuk kemari mencari data yang diperlukan untuk melengkapi tulisan. Sekarang saya sedang menunggu penerbitan edisi terakhir. Jilid kesembilan buku Memenuhi Panggilan Tugas. Iul belum tentu edisi terakhir. Dan saya memang akan tetap menuliskan sejarah yang benar. Saya akan tetap menulis sampai Allah swt. memanggil saya .... Guru yang Terbakar Semangat Perjuangan KAKEK saya pendekar silat. Jurus-iutus pukulannya menyemburkan api. Ia juga punya "ilmu" menghilang. Tapi itu semua kata orang. Saya sendiri tidak tahu. Waktu masih kecil, saya suka datang kepada beliau. Lantas biasanya beliau menepuk-nepuk bahu saya sambil berkata, "Cucu saya akan menjadi pendekar silat." Tapi kata Bapak. Anak ini kelak mesti jadi kiai." Tapi lain lagi dengan pendapat Ibu. Beliau menginginkan saya sekolah sampai setingi-tingginya. seperti Uwak. Kakak ibu saya itu, katanya, masuk sekolah dokter di Batavia, tapi lantas meninggal dan dimakamkan di Tanah Abang. Jadi, Ibu ingin agar saya seperti almarhum. Sering kedua orangtua saya itu berdebat mengenai pendidikan dan hari depan saya. Tapi saya lebih cenderung pada cita-cita Ibu. Ketika itu, saya berangkat dan pulang ke HIS (Hollandsche Inlandsche School), atau sekolah dasar, naik bendi. Pulangnya, pukul setengah tiga sore, mestinya saya harus masuk maktab atau pesantren. Rambut dicukur tipis, kepala harus pakai peci. Berangkat bawa Quran. Yang mengajar bapak saya sendiri. Jadi, saya termasuk anak yang rada alimlah, karena pendidikan agama yang keras. Yang bersama-sama saya dalam satu bendi ketika itu, setelah dewasa, pada umumnya jadi orang pergerakan. Misalnya Mahidin Nasution sepupu saya yang paling tua -- yang di masa tuanya menjadi tokoh Partai Murba, kemudian pimpinan PDI. Ketika saya masih kelas salu, dia sudah kelas enam. Ada pula Baharuddin, sudah meninggal, yang mndirikan Partai Sosialis di kampung saya. Lalu Kamaluddin, yang di zaman perang kemerdekaan menjadi redaktur senior Utusan Melayu di Kuala Lumpur. Ada pula Saleh. Malah salah seorang anaknya kemudian menjadi Kepala Staf Angkatan Laut Malaysia. Dialah orang Melayu pertama yang jadi pimpinan. Sebenanya orang Inggris dan India. Adapun keluarga Adam Malik sangat dekat dengan keluarga saya. Kami berdua, sejak kecil, juga sudah saling mengenal. Jadi, pengaruh nasionalisme dan patriotisme sudah tertanam dalam dada, sejak saya masih kanak-kanak. Yang jelas, pergerakan nasional memang sangat terasa. Apalagi cerita kepahlawanan Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya sering saya dengar dalam pengajian. Bapak saya, yang dari keluarga "bersorban", aktivis Sarekat Islam. Paman saya -- Syeikh Musthafa, yang mendirikan sebuah pesantren yang tertua di Purba, dekat Kotanopan -- menolak pemberian bintang dari pemerintah kolonial. Kakek saya, dari ibu saya, umumnya sebagai pegawai di pemerintahan. Sementara itu, di seluruh Tapanuli, Kotanopanlah desa pertama yang mendirikan ranting partai politik. Sarekat Islam, dan kemudian Partindo. Pendeknya, pergerakan nasional, dengan semangat Islam yang kuat, sangat terasa di kampung saya. Ada tiga pemuda Kotanopan yang dibuang ke Digul oleh pemerintah kolonial. Ketika itu saya masih sangat kecil. Kehebatan beberapa tokoh internasional luga mempengaruhi jiwa saya. Misalnya Kemal Attaturk, pemimpin Turki itu. Pada 1925, nama Attaturk sangat beken. Ia memimpin negeri dan bangsanya ke arah kemajuan. Saya ingat betul, gambarnya, besar-besar, banyak dipasang orang. Sebab, penduduk Kotanopan kan mayoritas Islam, tentu juga tertarik pada perkembangan di negeri-negeri Islam seperti Turki. Ayah membeli sebuah gambar Attaturk yang banyak dijual di pasar. Gambar itu besar. Bagi saya, yang ketika itu baru berusia tujuh tahun, gambar itu terasa besar sekali. Besar dan bagus. Pengaruh suasana politik seperti itu tentu saja juga berkesan pada pribadi saya. Begitu pula suasaa pergerakan nasional, yang juga bergema sampai di kampung saya. Tamat dari sekolah rakyat, atau namanya sekarang sekolah dasar, saya masuk sekolah guru. Di zaman dulu, profesi guru sangat dihormati. Jadi, semua orang maunya ya jadi guru, tanpa tahu persis apa itu guru sebenarnya. Tapi memang di mana-mana di tanah air kita, kedudukan guru memang sangat berpengaruh. Pada waktu bergerilya di hutan-hutan Jawa Barat dulu, tahun 1947-1949, yang paling berpengaruh di desa ialah guru, ajengan kiai. Dan di seluruh Sumatera hanya ada sebuah sekolah guru, namanya Sekolah Raja, di Bukittinggi. Saya pun kemudian masuk ke sana, karena ada anggapan sekolah itulah satu-satunya yang paling terkemuka. Di Sekolah Raja itu ada satu hal yang sangat menguntungkan dalam pembentukan prihadi saya. Di sana ada perpustakaan, dalam bahasa Belanda, yang cukup lengkap. Saya bisa membaca sejarah Negeri Belanda, beberapa tokoh yang dianggap pahlawan oleh bangsa Belanda, admiral-admiralnya, tokoh-tokoh Perang Kemerdekaan Belanda yang disebut Perang Kemerdekaan 80 Tahun. Itu bacaan yang paling saya senangi. Ketika itu saya juga sudah membaca Revolusi Prancis. Saya juga sudah membaca kehebatan Napoleon. Saya juga baca dua jilid roman dengan latar belakang zaman Tsar Rusia, sampai revolusi. Buku-buku yang sangat mengesankan. Di Bukittinggi itu pula saya mengenal wajah Bung Karno. Ketika itu, di mata saya, dia orang yang begitu besar, hebat. Lukisannya, diambil dari foto, dipasang di mana-mana. Juga di masjid. Gambar Bung Karno dilukis sedang berpikir keras, di sakunya terselip fulpen. Ketika itu banyak orang melukis diri sendiri dengan gaya seperti Bung Karno. Termasuk paman saya yang jadi camat. Anak-anak dan pemuda juga begitu, seperti kawan akrab saya, Tambih. Jadi, mula-mula bercita-cita jadi guru. Kemudian "terbakar" oleh semangat pergerakan nasional. Lalu ditambah dengan bacaan-bacaan di Sekolah Raja. Saya lalu tertarik pada perjuangan bangsa dan sejarah kemiliteran. Bahkan di Bukittinggi inilah untuk pertama kalinya saya "berkenalan" dengdn aparat kolonial. Ketika itu 1932, ketika pemerintah Hindia Belanda bertindak sangat keras. Bung Karno ditangkap dan diasingkan ke Flores. Nah, ketika itu saya menerima sepucuk kartupos dari kawan saya. Bustami, yang sudah berada di Jakarta. Dia bercerita soal perjuangan. Dalam bahasa Belanda. Tapi saya sendiri tidak pernah menerima kartupos yang kemudian saya ketahui ditahan di kantor pos. Gara-gara itulah saya diperiksa oleh intel Belanda, dan ditahan sehari. Akhirnya dibebaskan, karena saya memang tidak ikut partai mana pun. Hanya tiga tahun saya di Bukittinggi, karena Sekolah Raja dibubarkan. Padahal, kelas terakhir ada di Bandung. Saya terpaksa melanjutkan ke sana, dengan saringan yang sangat ketat. Dari kelas kami di Bukittinggi, hanya empat orang yang lolos. Di Bandung itulah, dalam asrama karena kami semua mendapat ikatan dinas, saya bertemu dengan siswa-siswa yang berasal dari seluruh Indonesia. Setelah lulus, saya melamar jadi guru partikulir. Saya membaca iklan ada lowongan di Bengkulu, gajinya 50 gulden. Ketika itu sudah banyak. Kebetulan sekretaris bestuur sekolah itu masih ada hubungan famili dengan saya. Saya juga mengajar di Muara Dua dekat Sumatera Selatan. Nah, di situlah secara fisik saya kenal Bung Karno. Bukan hanya lewat potretnya. Kebetulan rumah tinggalnya di Bengkulu terletak antara sekolah tempat saya mengajar dan pondokan saya. Nah, setiap hari saya lewat depan rumahnya. Dan Bung Karno selalu menyapa "Hallo" kepada saya. Saya melihatnya sebagai pemimpin yang gagah. Saya pernah pula bertandang ke rumahnya. Langsung saya beliau bicara, berapi-api seperti pidato. "Mengapa tidak masuk Indonesia Muda? Lekas masuk," katanya. Tapi saya sudah jadi anggota Surya Wirawan, pemudanya Parindra, Partai Indonesia Raya. Pada 1938, saya pindah ke Tanjungraja, dekat Palembang. Dua tahun kemudian Perang Dunia I pecah, Negeri Belanda diduduki oleh Jerman. Karena kalah, Belanda mengumumkan milisi, membutuhkan perwira cadangan. Saya baca iklan d surat kabar mengenai akan diselenggarakannya pendidikan perwira di Bandung. Nah, ini kesempatan baik. Tapi syaratnya harus punya ijazah SMA eksakta. Saya terpaksa belajar sendiri untuk mengikuti ujian SMA, dan lulus, lalu melamar ke Bandung. Saya diterima untuk dididik sebagai perwira cadangan. Di sanalah saya bertemu dengan beberapa kawan yang kelak, bersama-sama saya, membentuk TNI: Kawilarang, Kartakusumah, Simatupang. Ketika itu, sementara yang lain-lain bicara soal ketentaraan saja, saya dan Simatupang sudah bicara soal perjuangan bangsa. Yang lulus dengan nilai terbaik diangkat jadi perwira profesi, masuk Akademi Militer. Di kelas tertinggi akademi itulah, ketika saya berpangkat sersan, pecah Perang Pasifik. Perang Rakyat Total KETIKA dibentuk Pembela Tanah Air (Peta) dan Heiho, saya jadi anggota Badan Pembantu Perajurit yang dipimpin Otto Iskandardinata. Tugasnya membantu kesejahteraan prajurit Peta. Saya keliling ke Jakarta, Semarang. Solo, Surabaya. Kita banyak kucing-kucingan. Dalam latihan Jepang kita sisipkan latihan sendiri. Diam-diam kami mempersiapkan Peta untuk menjadi Tentara Nasional. Kita tahu, Amerika dan tentara Sekutu pasti maju. Sewaktu-waktu akan terjadi perang di Jawa. Kalau ada vacuum lagi, nah, itu kesempatan kita naikkan Merah Putih, kita umumkan Pemerintah Nasional dan Tentara Nasional. Tapi perhitungan kita meleset. Bukan pendaratan Sekutu yang terjadi, melainkan bom atom di Hiroshima. Masa vacuum digunakan Soekarno-Hatta buat memproklamasikan kemerdekaan. Kami, pemuda di Bandung, tidak terlibat dalam aksi di Jakarta, yang terjadi pada hari Jumat bulan Puasa 1945. Baru esoknya kami ketahui. Yang mengecewakan, mengapa Soekarno-Hatta tidak sekaligus mengumumkan Peta jadi Tentara Nasional. Seandainya diumumkan, maka tersedia 50 sampai 60 batalyon. Ahad pagi, tiga hari sesudah proklamasi, Saudara Mashudi dan saya mendatangi Komandan Batalyon Peta di Cimahi, Pak Aruji Kartawinata. Ini satu-satunya pasukan yang cukup kompak di kota. Kami ajak beliau untuk segera memproklamasikan batalyonnya jadi Tentara Nasional. Saya bilang, "Resmikan hari ini juga, supaya ini batalyon menjadi Tentara Nasional." Pak Aruji bilang, "Ah, tidak perlu. Jepang sudah janji membantu kemerdekaan kita. Hari ini saya akan mendapat senjata berat sebagai bukti bantuan Jepang." Lantas kami meninggalkan tempatnya dengan bersepeda. Sepeninggal kami, pasukan dibariskan, senjata dikumpulkan, tapi juga segera muncul panser-panser. Lantas Jepang mengumumkan, "Mulai saat ini Pembela Tanah Air dibubarkan." Batalyon-batalyon lain juga dibubarkan, di Bogor, Bandung, Sukabumi, Jawa Tengah, dan di mana-mana. Belum jelas apa yang akan terjadi. Kita hanya bicara firasat -- feeling. Saya kembali menyesalkan mengapa proklamasi kemerdekaan tidak mengumumkan Tentara Nasional. Tampillah laskar-laskar swasta yang sulit dikendalikan. Kelak secara tertulis, Bung Hatta menyalahkan pendapat saya ini. Kata beliau, kita takkan bisa mengandalkan militer terhadap Sekutu yang menang perang. Memang kemudian, 22 Agustus 1945, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), pimpinan Kasman Singodimejo, membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Itu pun tidak secara langsung. KNIP punya Badan Pembantu Korban Perang (BPKP). Nah, BKR di bawah BPKP. Bekas-bekas Peta, Heiho, rakyat, dan pemuda yang ingin jadi tentara ditampung di BKR. Di Bandung, BKR dipimpin oleh almarhum Mayor Suhari. Teman saya juga. Saya penasihatnya. Pak Aruji, Kepala BKR seluruh Priangan. Suryadarma penasihatnya. Tanggal 5 Oktober 1945 BKR diubah jadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pak Urip Sumohardjo jadi Kepala Staf Umum. Pak Uruji jadi panglima TKR seluruh Priangan. Tanggal 11 November 1945, setelah pertempuran Surabaya, kami dikumpulkan di Yogyakarta oleh Kepala Staf Umum TKR, Pak Urip, untuk mengatur siasat. Yang datang komandan resimen ke atas, dari Jawa dan Sumatera. Ha..., di sini terjadi kup halus. Waktu Pak Urip sedang memimpin rapat, Kolonel Holan Iskandar dari Markas Pertempuran Jawa Tengah angkat tangan, "Yang penting sekarang harus ada panglima besar," katanya. Dia oper pimpinan rapat dan menulis calon-calon panglima besar di papan tulis. Pemilih cuma tunjuk tangan. Pak Urip diam saja. Kolonel Sudirman, Panglima Divisi IV yang membawakan Purwokerto, sebagian Magelang dan Pekalongan, yang duduk sederetan dengan saya, dapat suara terbanyak. Nomor dua Pak Urip, nomor tiga Kolonel Joyo Martono. Saya tidak termasuk calon. Kami dari Jawa Barat juga terpecah. Sebagian memilih Pak Dirman, sebagian Pak Urip. Saya memilih Pak Urip, karena sudah kenal lama. Dengan Pak Dirman, baru waktu itulah saya bertemu. Dia 4 atau 5 tahun lebih tua dari saya. Pulang dari Yogya, saya menggantikan Pak Aruji jadi Panglima Divisi III TKR seluruh Priangan ditambah Sukabumi dan Cianjur. Ketika dilantik, saya hanya bercelana pendek, belum punya seragam. Sebelumnya saya menjadi Kepala Staf Komandemen Jawa Barat. Waktu itu laskar lebih kuat daripada tentara. Saya punya Resimen 8 dan Resimen 9. Tapi karena saya juga tokoh pemuda, hubungan saya baik dengan mereka. Setelah saya menjadi panglima divisi, laskar saya dekati. Saya bilang, "Saya mau bentuk resimen tambahan dari kalian." Mereka bersedia, tapi nggak mau disebut tentara pemerintah, maka disebut Resimen Pelopor, langsung di bawah panglima. Dengan begitu, pasukan saya menjadi mayoritas. Dulu saya hanya salah satu komandan TKR yang tergabung dalam Dewan Perjuangan, tempat siasat diatur dan pertemuran diputuskan. Setelah mayoritas, saya mulai menegakkan wibawa militer. Saya bilang kepada laskar-laskar, "Hanya ada satu komando di Bandung." Yang tidak mau taat saya lucuti. Barisan Api, misalnya, kita kepung sewaktu mereka tidur. Yang ditawan kita telanjangi, lalu dibawa ke kantor polisi di Cikaleleng. Saya masih ingat waktu inspeksi ke Jalan Pejagalan, Bandung. Saya lihat banyak sekali orang telanjang, baris, banyak sekali . Ha ha ha .... Tapi tidak telanjang bulat. Tindakan perlucutan itu membuat saya tidak disenangi oleh laskar-laskar dan partai. Saya dituduh agen NICA yang ditugaskan Belanda untuk melucuti rakyat yang bertempur. Bulan Januari 1946, TKR diubah jadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Saya tetap Panglima Divisi III. Bung Karno mengubahnya menjadi Tentara Nasional Indonesia untuk menampung laskar-laskar. Sementara itu, kita waspada karena Inggris sewaktu-waktu bisa menduduki Bandung Selatan. Pos komando saya tidak jauh dari garis demarkasi. Setiap saat bisa dimortir Inggris. Kita harus siap-siap menghilang ke belakang dan terus ke kampung-kampung. Pemerintah Republik menganjurkan agar kita tidak melawan Sekutu dengan kekuatan militer. Harus dengan diplomasi, katanya. Tapi laskar-laskar dan tentara bertindak sendiri. Bulan Maret 1946 terjadi peristiwa "Bandung Lautan Api" yang dikobarkan oleh laskar dan tentara. Saya terharu jika mengenang peristiwa 24 Maret 1946. Tentara membakar sendiri markas, asrama-asramanya, dan bangunan-bangunan penting. Rakyat banyak membakar sendiri rumahnya. Jalan-jalan keluar mulai selatan Cimahi sampai ke Ujungberung di timur penuh dengan pengungsi. Langit terang-benderang oleh lautan api. Udara dipenuhi ledakan serta tembakan. Kita belum menemukan sistem pertahanan yang sesuai dengan kondisi kita. Tapi semangat merebut Bandung begitu tinggi. Pertengahan bulan Mei 1946 saya pergi ke Yogya. Di Gedung Sekolah Kepandaian Puteri, sebelah Barat Markas Besar Tentara di Yogya, disusun organisasi baru dengan panglima-panglima baru. Jumlah panglima berkurang, dari 10 menjadi 7. Divisi I Jawa Barat adalah gabungan dari Divisi I, Divisi II, dan Divisi III yang lama. Dalam pemilihan, saya terpilih menjadi Panglima Divisi I. Belum lagi selesai kita menghadapi Sekutu, Belanda datang dengan tiga divisi: Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Di Bandung, Belanda segera menguasai jalan raya terpenting. Jalan yang kita lewati adalah jalan kelas tiga atau jalan-jalan perkebunan. Sebagai panglima, saya selalu inspeksi berkeliling. Saya sering meninggalkan markas divisi, menginap di rumah atau markas para komandan brigade, resimen, atau batalyon. Belanda juga melancarkan siasat pecah belah. Ia mendirikan negara-negara bagian yang terlepas dari Republik. Di Jawa Barat ia mendirikan Negara Pasundan. Ini membawa pengaruh di Yogyakarta, yang sudah jadi ibu kota Republik. Terjadilah kebijaksanaan yang kelihatannya dualistis. Satuan-satuan TRI dirasionalisasi. Kekuatan batalyon disesuaikan dengan rasio senjata 1: 5. Kepangkatan pun diturunkan. Saya, yang sudah mayor jenderal, kembali jadi kolonel. Sebelum Perjanjian Linggarjati ditandatangi bulan Maret 1947, pertengahan Mei saya menjadi Panglima Divisi Siliwangi -- nama baru untuk Divisi I. Tanggal 20 Mei 1947 Panji Siliwangi diperkenalkan secara resmi kepada umum. Sebenarnya, nama "Siliwangi" sudah kita pergunakan sejak 1946. Tapi resmi diumumkan tahun 1947. Tak lama kemudian terjadi Clash Belanda I, yang melanggar Perjanjian Linggarjati. Dalam Clash I, Belanda merebut 2/3 Pulau Jawa. Bulan Desember 1947 memuncaklah diplomasi yang menghasilkan Persetujuan Renville, ditandatangani oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin sebagai wakil RI dan A. Kadir wakil Belanda pada 17 Januari 1948. Salah satu tuntutan Belanda: TNI harus meninggalkan Jawa Barat. Saya hijrah ke Jawa Tengah bulan Januari 1948. Februari saya diangkat menjadi Wakil Panglima Besar untuk mendampingi Pak Dirman yang mulai sakit-sakitan. Saya juga membawa konsep pengalaman saya di Jawa Barat. Konsep pertahanan menghadapi Belanda kalau menyerang lagi. Antara lain, bikin kantung-kantung gerilya dan siasat bumi hangus semua kepentingan Belanda. Perintah siasat ini saya bikin bulan Maret 1948 dan disampaikan oleh Pak Dirman dalam rapat para panglima bulan Mei 1948. Saya yang menjelaskan kepada para panglima. Pak Dirman yang meneken. Di situ sudah lengkap rencananya, garis-garis perhitungan dari mana Belanda akan menyerang. Hanya, tidak kita perhitungkan serangan dari udara. Ya, pengetahuan kita tentang serangan udara tidak seberapa waktu itu. Kita memang sudah mengira sewaktu-waktu Belanda akan menyerang, dengan maksud menghapus Republik di Yogyakarta. Dan selagi kita sibuk mengatur siasat untuk menghadapinya nanti, Partai Komunis Indonesia (PKI) memukul dari belakang pada 18 September 1948. Rombongan kami bahkan hampir terbunuh di Desa Kepurun, sewaktu mengadakan operasi terhadap PKI. Saya, Dr. Moestopo. Kolonel Abimanyu, dan Broto Amijoyo hampir saja binasa dikeroyok rakyat yang mencurigai kami sebagai mata-mata musuh. Berkat pertolongan Tuhan, Abusadikin, ajudan saya, menyelamatkan nyawa kami. Dia kenal rakyat Desa Kepurun yang dulu pernah dia latih. Tiga bulan sesudah PKI memberontak, tanggal 19 Desember 1948 Belanda menyerang Yogyakarta. Saya waktu itu masih di Jawa Timur, pada pelantikan Divisi Brawijaya. Pada 17 Desember -- saya pamitan Pak Dirman yang sedang sakit. Belanda menjatuhkan pamflet-pamflet yang mengatakan semua pemimpin Republik sudah ditangkap, termasuk Pak Dirman. Jenderal Spoor dengan "Strategi Ujung Lembing" menganggap, kalau pemimpin-pemimpinnya sudah ditangkap, perlawanan akan selesai dan Republik bisa hapus. Inilah kesalahan Belanda. Ia tidak memperhitungkan rakyat, yang dalam konsep Perang Rakyat Total kita libatkan sebagai kekuatan untuk menghadapi musuh. Rombongan saya pulang dari Jombang ke Prambanan. Saya, sebagai Komando Panglima Jawa, membangun pos komando di Prambanan, dan mengumumkan pemerintahan militer di seluruh Jawa, menghadapi maklumat dan selebaran Belanda. Peristiwa 17 Oktober SEKARANG tentang zaman RIS, Republik Indonesia Serikat. Waktu itu parlemen yang berkuasa. Kalau istilah zaman sekarang, itu disebut pemerintahan liberal demokrasi. Kala itu tentara semata-mata alat teknis. Inilah yang mulai membikin konflik, yang menjadi semacam kanker. Ada pemerintah dan ada DPR, yang menurut konstitusi inilah yang berkuasa. Lalu ada tentara yang alat teknis. Tapi keadaan di lapangan lain. Karena aparat RIS sendiri, terus terang saja, tidak keruan, maka kita harus mengopernya. Sementara itu, kabinet dan parlemen enak saja ngomong, seolah-olah negara ini sudah running well. Semakin banyak friksi yang akhirnya memuncak ada peristiwa 17 Oktober 1952. Ketegangan antara parlemen dan TNI memang banyak. Termasuk kasus Bambang Supeno pada 17 Oktober 1952. Bambang Supeno rupanya sejalan dengan parlemen. Secara militer, dia melanggar disiplin. Tanpa melalui Kasad dia menghadap Presiden, mengadu bahwa Kasad bertindak tidak benar. Dulu Presiden memang menerima pengaduan langsung macam itu. Dan Presiden memang tidak senang dengan tindakan saya. Bambang Supeno terpaksa saya skors, saya berhentikan sementara, yang disahkan oleh Menteri Pertahanan Sultan HB IX. Tapi Presiden menyalahkan saya, mengatakan ia tak mengizinkan dia dikors. Jadi, mula-mula saya konflik dengan Bambang, lalu dengan Presiden, dan lalu dengan DPR. Ha, di sini kotornya politik waktu itu. Saya merasa paling jadi korban. Waktu itu sebenarnya secara materiil saya sudah berhenti sebagai Kasad. Saya mendapat perintah dari Menteri Pertahanan untuk sekolah ke Negeri Belanda 6 bulan. Tapi teman-teman bilang bahwa Kasad pergi sekolah rasanya tidak enak. Maka, Sultan mengubah keputusannya. Saya tak jadi sekolah. Apakah perintah sekolah itu untuk menyingkirkan saya atau tidak, saya tak tahu. Dulu Menteri Pertahanannya Sultan HB IX, Sekjennya Ali Budiardjo, Kasab-nya T.B. Simatupang -- merekalah yang jadi pimpinan, yang tahu. Sementara itu, pengganti saya sudah disiapkan, yaitu Kolonel Hidayat. Tapi banyak yang tak setuju. Sebab, sebagai Ketua Pembelian Peralatan, Kolonel Hidayat dikritik tidak beres. Lha, Hidayat itu kan halus perasaannya. Mendengar suara-suara begitu, ia lalu mengundurkan diri, minta berhenti dari ketentaraan. Tapi tak dikabulkan. Karena itu, jabatan Kasad lalu dirangkap oleh T.B. Simatupang. Sebab, toh saya cuma akan pergi 6 bulan, jadi tak perlu ada Kasad baru. Banyak yang tak setuju, termasuk Bung Karno. Sebab, kalau Kasab merangkap sebagai Kasad, kekuasaannya akan besar sekali. Waktu itu, saya sudah bersiap-siap pergi, sudah siap dengan pakaian dingin segala. Surono, ajudan saya, akan ikut bersama seorang sekretaris pribadi, dan seorang pembantu. Ketika itulah terjadi peristiwa Bambang Supeno. Jadi, menurut saya, terjadinya kasus 17 Oktober harus dilihat dari konteks besar, yaitu pergolakan, dan konteks kecil, yaitu siapa yang bakal menggantikan saya sebagai Kasad. Hingga terjadilah serangan terhadap politik Kasad dan Menteri Pertahanan. Karena saya masih resmi Kasad, sayalah yang bertanggung jawab, maka saya pun bertindak. Mestinya saya waktu itu pergi dulu, barulah mereka berkelahi. Tapi mungkin Tuhan maunya begitu. Bila kemudian saya dipecat, November 1952, semasa Kabinet Wilopo, bagaimanapun sayalah yang bertanggung jawab atas peristiwa itu. Sebelumnya juga ada petisi Angkatan Darat kepada Presiden untuk membubarkan parlemen. Nama saya tercantum. Sebelumnya, nama saya tak tercantum. Tapi para penandatangan, semua panglima divisi, berpikir bahwa karena saya Kasad, maka nama saya harus ada. Posisi saya memang terjepit. Penyusunan petisi itu dilakukan di kamar kerja saya. Saya menyetujuinya. Memang kita tidak senang Presiden mendukung kelompok-kelompok yang tidak menyukai saya. Kita tidak senang DPR melontarkan ketidakberesan di kalangan kita secara terbuka, secara seenaknya. Waktu itu PKI belum di depan. Tapi liberalisme yang dimotori kalangan progresif demikian berperan. Teman-teman menyesali mengapa saya tak menjaga kekompakan. Malam sebelum 17 Oktober, saya izinkan Kolonel Moestopo menghadap Presiden. Dia lapor kepada Presiden. Jadi, sebenarnya Presiden sudah tahu bahwa pada 17 Oktober akan ada demonstrasi Angkatan Darat. Yang diatur waktu itu adalah pressure secara maksimal: keluarkan tank, panser, meriam, dan segala macam, supaya Presiden mau membubarkan parlemen. Kita tidak berpikir untuk melakukan kudeta. Bukankah Moestopo sudah melapor kepada Presiden? Jadi, Presiden tidak kaget. Moestopo dari Presiden juga melapor kepada saya. Saya tak pernah memerintahkan menghadapi moncong meriam ke Istana. Maka, ketika saya memasuki Istana, saya juga kaget. Jangan lupa, komandan Jakarta, Kemal Idris, memang paling tak suka pada Bung Karno. Dia pengagum Sjahrir -- dan saya, Sjahrir dan Bung Karno memang tak begitu akur. Tapi Kemal Idris juga tak bisa dituduh yang melakukan itu. Ketika ditanya oleh Jaksa Agung, waktu itu Soeprapto, juga saya ceritakan mengenai meriam itu. Tapi saya tak menceritakan bahwa semua itu dipergunakan hanya sebagai alat maksimal untuk mendesak. Dan sesungguhnya pagi itu suasananya tak begitu tegang. Kan Bung Karno sudah tahu, dan sudah memanggil Bung Hatta, Sri Sultan, Wilopo, dan T.B. Simatupang untuk mendampinginya. Setelah bapak-bapak itu datang, baru kami dipersilakan menghadap Bung Karno tidak marah. Juru bicara kami Letkol. Sutoko, bekas Pesindo. Sutoko bilang, kalau parlemen keadaannya begitu, negara tak bisa diurus. Kami tahu, dua pertiga parlemen bikinan Van Mook, cuma sepertiga bikinan Republik. Saya cuma melapor kepada Presiden, minta agar isi hati kami diperhatikan. Sesudah itu Kawilarang dan Simbolon yang bicara. Simbolon kira-kira bilang bahwa kalau tiap pejabat bisa diresolusi oleh bawahannya, siapa yang bisa bekerja di negara ini. Pernyataan Kawilarang lebih keras lagi. "Saya sudah susah mengerem anak buah saya," katanya. Lantas keluar kebijaksanaan Bung Karno. "Saya dapat mengerti yang kalian sampaikan. Tapi kita punya UUD. Saya tak bisa begitu saja berbuat. Pendapat kalian juga belum tentu merupakan pendapat di daerah," kata Presiden. Yang mengecewakan kami, Presiden juga bilang, "Petisi kamu jangan sampai dikasih pers. Harus tetap rahasia." Beberapa hari kemudian, Kolonel Zulkifli Lubis, Kepala Biro Informasi Angkatan Perang di Hankam membikin laporan. Antara lain, "Waktu menghadap Presiden, Kasad Nasution menuntut supaya negara dinyatakan dalam keadaan bahaya." Presiden, menurut laporan itu, menjawab, "Baiklah, kalau saya yang memegang kekuasaan, saya akan pecat kamu." Itu sebenarnya tak pernah terjadi. Lubis tidak hadir waktu itu. Ia anak buah Simatupang yang tidak taat. Ha, di sinilah permainan Bung Karno. Laporan itu kemudian dikirim ke Makassar, Palembang, dan Surabaya. Kalau laporan itu dibaca, kan kesannya Kasad sudah mau kudeta. Memang, di Kejaksaan Agung saya katakan laporan itu fitnah. Tapi laporan sudah telanjur tersebar. Akhirnya saya dipecat. Bambang Sugeng menggantikan saya sebagai Kasad. Tepat di hari pelantikan itulah saya harus mengikuti pemeriksaan pertama oleh Jaksa Agung. Setelah dilantik dan dinaikkan pangkatnya menjadi mayor jenderal, Bambang datang ke rumah saya dan bilang, "Nas, sudah saya perintahkan kepada Mabad supaya pelayanan terhadap terhadap Nas diteruskan." Itu aneh. Barangkali itu pembawaan waktu kami sama-sama gerilya dulu. Ketika saya menulis Perang Kemerdekaan 11 jilid, Bambang Sugeng membantu sepenuhnya. Kertas dan tenaga mengetik dari dia. Bawahannya bekerja buat saya. Sejak itu, saya tak pernah masuk kantor lagi. Ini sebenarnya salah. Tiap pagi saya naik kuda di Lapangan Gambir. Gambir tak seperti sekarang, dulu ada lapangannya. Sri Sultan, Menteri Pertahanan, memperhatikan saya dari jauh. Suatu kali saya dipanggil Sri Sultan dan Wilopo. Mereka mengirimkan utusan om saya sendiri, Raden Pandji Suroso. Mereka menawari saya sebagai kuasa usaha di Paris. Saya tolak. Saya tak tertarik sama sekali. Diberitahukan kepada saya bahwa itu hanya sebagai permulaan untuk menjadi duta besar. Tetap saya tolak. Setelah itu Wilopo memanggil saya, minta supaya saya mau menjadi pegawai tinggi yang diperbantukan kepada Perdana Menteri. Pokoknya mereka mencari jalan supaya saya keluar dari dinas organik militer. Waktu itu saja masih kolonel. Tahun itu juga ada Kongres PNI. Wilopo kan orang PNI. Partai ini menuntut supaya saya diadili. Ya, akhirnya saya diberhentikan dari dinas militer. Bahkan Devisi Brawijaya Jawa Timur menuntut saya diadili karena melakukan kudeta yang gagal. Yang teken teman saya sendiri. Awal Orde Baru KEGAGALAN PKI (G30S-PKI -- Red.) betul-betul karena Tuhan, tangan-tangan-Nya telah menolong kita semua. Saya ditembak dari jarak 1,5 meter, mestinya saya sudah hancur. Tapi Tuhan belum mengizinkan, saya selamat. Pada kenyataannya, PKI sampai gagal karena satu kesalahan -- mereka tidak membuat rencana alternatif. Merereka merasa yakin dengan satu rencana saja. Artinya, secara strategis mereka telah gagal, karena tidak siap dengan rencana pengganti. Mereka beranggapan, kerja sama dengan pihak intel (dalam hal ini Badan Pusat Intelijen), unsur-unsur ABRI (terutama Angkatan Udara), dan Presiden, sudah baik. Tingkat keterlibatan AU dan Bung Karno memang tidak jelas benar, mungkin saja mereka hanya saling memanfatkan. Sebagai operasi militer, G30S-PKI hanya memperhitungkan Istana. Mereka berpikir, bila pagi 1 Oktober segala rencana lancar dan berhasil, kemudian tinggal menuju Istana, menyodorkan pengumuman politik dan Bung Karno tinggal teken. Ini analisa saya sendiri, yang tentu juga ada kaitannya dengan pengakuan Suparjo. Gerakan itu pusatnya di Jakarta, daerah-daerah hanya menunggu instruksi dari Jakarta. Dan mereka terus menunggu, orang PKI di mana-mana sudah taruh radio di meja. Siapa sangka, Nasution lolos. Dalam 10 menit setelah mereka berusaha mendobrak pintu kamar saya, Ibu menelepon Jenderal Umar Wirahadikusumah -- waktu itu Pangdam V Jaya. Tapi tidak sambung lalu disuruhnya ajudan saya menelepon. Ibu pun terburu-buru, karena harus membawa Ade ke rumah sakit. Sekitar pukul 04.30 Umar sudah datang ke rumah saya (Jenderal Umar tinggal di Jalan Diponegoro, yang letaknya tidak jauh dari rumah Nasution di Jalan Teuku Umar -- Red.). Ia cepat bertindak. Kedatangan Umar bersama pasukan panser saya dengar dari tempat persembunyian saya di halaman Kedutaan Irak. Saya tidak keluar, saya kira panser musuh. Dari rumah saya, Umar langsung ke markasnya dan menghubungi kodim-kodim. Pada anak buahnya dia mengingatkan akan adanya bahaya, tapi tidak sampai memberi perintah kewaspadaan. Tindakan ini ternyata tepat sekali. Sunjoto, komandan kontrol yang ditugasi menggerakkan kekuatan PKI di tubuh militer, tak sempat berbuat apa-apa. Ia sudah didahului Umar. Jakarta, yang oleh PKI dibagi dalam 3 sektor utara -- tengah, dan selatan -- ketika dihubungi oleh komandan kontrol, semua tidak di tempat. Pihak lawan tampaknya panik dan tidak lagi memberi instruksi-instruksi. Saya kira, di sinilah awalnya kegagalan operasi militer G30S-PKI. Untung dan Supardo dkk. gagal, mengapa? Benar, PKI membikin sel di dalam tubuh Angkatan Darat, tapi tidak di semua batalyon seperti yang mereka katakan. Hanya sebagian kecil yang digarap, itu pun dalam satu batalyon tidak digarap seluruhnya. Di Semarang mereka sempat menduduki Kodam. Di Bandung, Ibrahim Ajie cepat bertindak. PKI memang mengusahakan posisi yang strategis saja di kalangan tentara, tapi kalau pagi itu mereka berhasil, maka biar yang digarap terbatas, tapi satu batalyon bisa ikut bergerak. Lalu karena tahu tidak berhasil, tiap orang pun masing-masing cari keamanan buat masa depannya. Apalagi tidak ada koordinasi antara oknum-oknum yang disusupi itu. Tidak pernah terpikir oleh saya bahwa PKI akan membunuh saya, walaupun malam sebelum G30S meletus, ada mahasiswa yang mengatakan bahwa ada yang membuntuti saya, sepulang dari ceramah di Universitas Muhammadiyah. Bahwa PKI semakin galak, ya saya merasakannya, walaupun saya tidak begitu tahu, karena sejak tahun 1962, sebagai Menkohankam saya berada di luar garis komando. Tentang bagaimana sikap Aidit (PKI) yang sebenarnya terhadap kepemimpinan Sukarno, malah itu saya ketahui dari berkas pemeriksaan Pardede -- sudah ditembak mati. Dalam sebuah rapat, Aidit pernah berkata, "Kita harus menjaga agar pimpinan jangan di tangan Soekarno. Soalnya, Soekarno itu borjuis." Jadi, andai saja mereka waktu itu berhasil melancarkan kup, mereka pasti sudah berkuasa, meski di situ masih ada Bung Karno. Aidit sendiri yakin, Bung Karno akan merestui G30S. Tapi kita tidak pernah berhasil mengorek, seberapa jauh Bung Karno mengetahui rencana G30S. Padahal, kepada Jenderal Soeharto -- waktu menjadi Penjabat Presiden -- diberi wewenang untuk memeriksa Bung Karno. Wewenang ini diperkuat oleh TAP-MPRS. Tapi Anda tahu, pemeriksaan itu tak terselesaikan, karena 3 tahun kemudian Bung Karno meninggal. Saya sendiri berpendapat persoalan penting seperti itu harus diselesaikan -- walaupun tidak sempurna -- daripada dibiarkan dan menimbulkan masalah terus. Satu hal yang jelas ialah Bung Karno percaya bahwa Dewan Jenderal akan mengkup Presiden. BPI yang dikuasai Subandrio membuat laporan tentang Dewan Jenderal itu, sedangkan PKI membuat persiapan-persiapan, misalnya dengan Biro Khusus -- dipimpin oleh Sjam -- dan mengadakan infiltrasi ke kalangan militer. Sebagai tanggapan, muncullah perwira-perwira progresif yang akan memotong maksud-maksud PKI. Inilah yang dimanipulasi PKI, untuk menyebarkan isu Dewan Jenderal. Hari-hari Oktober itu sungguh berat bagi kita. Khusus saya rasakan sebagai Menko/Kasab yang tidak memiliki wewenang komando, tapi harus membela posisi kita itu, dengan posisi formil sebagai pembanlu Presiden, terhadap Presiden yang formil memegang wewenang tersebut. Saya memahami sikap konsekuen Presiden Soekarno terhadap saya, yang konsisten menghindarkan saya kembali berposisi dalam komando militer ataupun dalam pemerintahan. Beliau berturut-turut menolak usul yang disampaikan Jenderal Soeharto, agar saya menjabat sebagai Kepala Staf Koti, sebagai Wakil Perdana Menteri, dan seterusnya, sehingga setiap kali ia terpaksa merangkap sendiri semuanya. Sikap Bung Karno yang terus mempertahankan Pranoto sebagai care-taker Pangad, instruksinya yang melarang pasukan di bawah Soeharto untuk bergerak, serta perintahnya pada Supardjo untuk mengkonsinyir seluruh kesatuan Yon 454 di sekitar Pangkalan Udara Halim, telah mendorong saya menulis nota kepada Presiden Soekarno. Nota bertanggal 10 Oktober itu berisi 5 pasal: menegakkan keadilan dengan segera mengadakan Mahkamah mengangkat Pangad baru retooling dalam pimpinan AURI yang terlibat pemberlakuan Panpres 7 terhadap orpol/ormas yang terlibat PKI dan penertiban badan-badan intel serta mengisinya dengan tenaga-tenaga berakhlak dan ahli. Pasal pertama dan terakhir dimaksudkan untuk mengatasi iklim fitnah dan menjaga kehormatan TNI yang difitnah -- kalau perlu untuk itu AD bersedia diperiksa dan diadili. Di pihak lain Adit juga menyampaikan saran 6 pasal kepada Presiden, berbunyi: penyelesaian Dewan Jenderal dan G30S sepenuhnya dalam tangan Presiden/Pangti ABRI dilarang mengutuk Dewan Jenderal muapun G30S semua alat revolusi, terutama ABRI, supaya bekerja. Seperti sebelum G30S masalah keamanan supaya dikembalikan kepada ABRI dengan bantuan From Nasional alat revolusi supaya berkompetisi melaksanakan 5 azimat revolusi dan dilarang tuduh-menuduh atau salah-menyalahkan. Ternyata perjuangan untuk membersihkan nama AD, khususnya jenderal-jenderal dari fitnah G30S, tidaklah didukung penuh oleh Bung Karno. Pada 21 Oktober 1965, beliau mengumumkan komando yang antara lain berbunyi agar fitnah dan tindakan balas dendam disingkirkan, serta melarang semua demonstrasi yang tidak mendapat izin dari pihak yang berwajib. Saya mendapat kesan bahwa Bung Karno belum yakin, soal Dewan Jenderal itu adalah fitnah semata. Karena itu, dengan mufakat 4 Panglima ABRI saya hentuk Panitia Odang, untuk mengusut soal Dewan Jenderal. Panitia kemudian membuktikan bahwa benar TNI difitnah, dengan mengemukakan beberapa fakta. Sebelum G30S, misalnya. Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal Soeharto sudah berusaha agar saya dapat diterima oleh Presiden dalam rangka integrasi TNI dengan Bung Karno. Sesudah G30S-PKI, usaha ini masih diteruskan oleh Soeharto. Ini sekali lagi membuktikan bahwa tidak benar para jenderal mendesak saya mengambil oper pimpinan RI dari tangan Presiden, seperti yang difitnahkan itu. Kesimpuian Panitia Odang tidak digubris sama sekali, Presiden malah membentuk komisi fact-finding untuk menyelidiki kekejaman terhadap PKI di daerah-daerah. Dengan demikian, konflik terus saja terjadi. Pihak AD menghendaki agar PKI terus dibersihkan, sedang Soekarno berusaha mempertahankannya. Terjadilah dualisme pimpinan. Tiga bulan sesudah G30S-PKI -- Desember 1965 -- Bung Karno, Subandrio, Chaerul Saleh, dan lain-lain bermaksud membuat isu lain, yang bertujuan supaya semangat mengganyang PKI kendur. Semua menteri dibawa ke Cipanas -- saya tidak -- lalu keluarlah peraturan pemerintah mengenai devaluasi. Uang seribu rupiah jadi satu rupiah. Harga-harga lalu meningkat, bensin mahal, mahasiswa marah. Inilah pangkal aksi-aksi Tritura, 10 Januari 1966, dan mahasiswa menduduki pompa-pompa hensin. Inilah untuk pertama kalinya publik secara terang-terangan menyatakan tidak menyukai pemerintah. Bung Karno tambah marah. Sabtu beberapa hari kemudian, para panglima diundang ke Istana Bogor. Saya juga diundang. Saya duduk tepat di depan Bung Karno. Tokoh-tokoh mahasiswa juga diundang masuk, sementara ribuan mahasiswa bertruk-truk menunggu di sekeliling Istana. Sewaktu Bung Karno berpidato, saya dengar rentetan tembakan ke udara. Rupanya, mahasiswa mendesak ingin masuk. Waktu itulah saya merasakan pidato Bung Karno yang paling keras. "Siapa yang bisa menurunkan harga tanpa bantuan Nekolim, saya angkat jadi menteri. Tapi kalau gagal, saya tembak!" Nah, saat itu pula terdengar lagi rentetan tembakan dari Cakrabirawa. Di dalam Soekarno masih pidato. "Nekolim mau menyingkirkan saya. Siapa yang mau berdiri di belakang saya, untuk melawan Nekolim." Dan Subandrio malam itu juga membentuk Barisan Soekarno, dengan ketua pelaksana Menteri Penerangan Achmadi. Dari tentara diambil Kol. Sjafii, Bambang Supeno, dan lain-lain. Barisan Soekarno ini pernah menyerang Universitas Indonesia. Ha . . . suasana panas inilah yang mengantar kita ke Supersemar. Semua berlomba-lomba menyatakan ikut setia pada Bung Karno. Sekber Golkar yang saya pimpin sendiri menyatakan, "Hidup matiku buat Bung Karno." KKO bilang, "Bung Karno hitam, KKO hitam, Bung Karno putih, KKO putih." Waktu itu Panglima KKO, Laksamana Hartono. Dia setia pada saya, tapi lebih setia pada Bung Karno. Arief Rahman Hakim tewas tertembak, sehari setelah pelantikan Kabinet 100 Menteri. Situasi semakin bergolak. Tanggal 11 Maret 1966, ada lagi rapat kabinet di Istana. Saya tidak hadir, Soeharto juga tidak, karena sakit. Tapi Bung Karno memanggil Amir Machmud waktu itu Pangdam V Jaya -- untuk duduk di sampingnya. "Kami memang bukan menteri, tapi kamu harus duduk terus di samping saya." Sementara itu, di luar, pasukan Sarwo Edhie sudah mengepung Istana. Sabur melapor bahwa ada pasukan yang bukan Cakrabirawa, berkeliaran di luar. Suasana jadi panik. Buru-buru Bung Karno menyerahkan pimpinan rapat kepada Leimena. Ia menuju ke helikopter yang selalu berada di belakang Istana. Subandrio buru-buru menyusul Bung Karno, sampai sepatunya ketinggalan. Chaerul Saleh juga ikut. Mereka pergi ke Bogor. "Bung Karno sudah menyerah," begitu yang dilaporkan Jenderal Worang kepada saya, mengenai apa yang sekarang dikenal sebagai Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966). Keesokan malamnya, Soeharto telepon ke rumah, yang kebetulan diterima istri saya. Dia bilang, "Saya minta restu. Saya sudah dapat Surat Perintah." Malam itu juga, mereka rapat di Kostrad. Jenderal Sutjipto, S.H., setelah membaca surat perintah itu, tanpa ragu-ragu berkata, "Wah, ini sudah cukup untuk membubarkan PKI." Esok paginya, 12 Maret 1966, Sutjipto datang ke rumah saya, khusus untuk menjelaskan isi surat itu. Mendengar keterangannya -- saya tidak pernah tahu persis, bunyi surat yang asli -- saya bilang, "Soeharto sudah punya kekuasaan de facto atas pemerintahan. Jadi, sekarang Soeharto lekas saja membentuk kabinet." Lalu saya berangkat ke rumah Soeharto, waktu itu di Jalan H. Agus Salim. Hal yang sama saya katakan padanya, tapi Soeharto belum yakin. "Ah, tidak begitu," katanya. "Mengenai pembentukan kabinet, tetap Bung Karno yang berhak." Tapi saya kembali meyakinkan. "Tidak. Kamu yang berhak." Ya, akhirnya dirombaklah kabinet. PKI dibubarkan, Subandrio ditangkap. Saya masih dipersoalkan. Oleh Soeharto saya diusulkan jadi Wakil Perdana Menteri Bidang Hankam. Saya bilang "Oke", tapi Bung Karno lagi yang menolak. Bung Karno bilang, "Nas tidak boleh. Para panglima boleh pilih, saya atau Nasution." Adam Malik juga melaporkan ini pada saya. Soeharto juga datang, katanya ia terpaksa menerima jadi Waperdam Hankam, tapi ad interim. Itu karena kursi tersebut tetap diharapkannya sayalah nanti yang mengisinya. Di atas kertas, jabatan saya adalah Wakil Panglima Besar Kogam, tapi ke kantor sekalipun, saya tak pernah datang. Akhirnya, pada Sidang Umum MPRS tahun 1966, saya terpilih sebagai Ketua MPRS. Pemilihan itu sebenarnya juga tidak disetujui Bung Karno. "Nanti dia bikin kup," kata Bung Karno. "Kalau saya ke luar negeri, tidak boleh pulang." Ternyata, jadi Ketua MPRS tidak mudah. Menjelang sidang istimewa 1967, misalnya, ramai sekali perdebatan di kalangan anggota. Rasanya seperti memimpin operasi di medan pertempuran. Kita memperdebatkan, apakah perlu mengundang Bung Karno ke sidang atau siapa yang patut jadi Presiden. Akhirnya, kita bikin TAP-MPRS No. 33/1967, yang mencabut kekuasaan Soekarno. Dan Soeharto diangkat menjadi Penjabat Presiden. Ketetapan itu memang tidak tegas, hingga akibatnya timbul perdebatan. Sebagian anggota ingin agar Bung Karno harus tegas diberhentikan. Tapi, menurut saya, itu bisa bahaya. Bisa perang saudara. Pendukung Soekarno di kalangan Angkatan Laut dan Angkatan Udara kan masih banyak. Osa Maliki yang mengunjungi Bung Karno menjawab pertanyaan apakah beliau masih Presiden: "Masih, tapi tak berkuasa lagi." Saya sendiri, waktu dalam ceramah di ITB, ditanya tentang itu. Jawab saya, "Bukan Presiden lagi. Tapi oleh Penjabat Presiden masih diberikan perlakuan administratif serta protokoler sebagai Presiden." Ha, kan berbeda-beda tafsirannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini