Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Suara genta memagut besakih

Upacara tawur yang dilakukan 10 tahun sekali. mengambil tempat di pura besakih, bali. dihadiri presiden soeharto, utusan dari india dan malaysia. didahului dengan upacara melasti, berjalan sepanjang 25 km.

25 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI itu, 8 Maret yang lalu, langit pagi tersenyum jernih di balik Gunung Agung, Bali. Di kakinya, tampak pura Besakih -- pura terbesar di Bali yang diperkirakan berusia 1.000 tahun -- telah dipagut dentingan genta dan asap dupa. Inilah upacara puncak Panca Wali Krama, saat umat Hindu Bali memuliakan isi alam. Upacara yang dilakukan sepuluh tahun sekali itu mengundang lautan pengunjung termasuk utusan dari India dan Malaysia. Tidak kurang dari Presiden Soeharto sendiri tampak hadir dalam upacara khidmat yang kaya warna itu. Besakih merupakan markas Buta Kala. Di situ berkumpul Buta Ireng, Buta Petak, Buta Baang, Buta Jenar, dan Brumbun, yang bertugas menjaga alam semesta. Untuk para pengawal itulah, upacara tawur -- korban suci -- itu dipersembahkan. Sejak pagi hari, 92 pendeta Hindu sudah mulai merapalkan puja sembari mengayun genta. Sesekali terdengar degung gong yang membahana. Lalu 40 putri cantik dilepas, meliuk dalam tari Rejang yang sakral. Kemudian, sepasukan pria perkasa pun melanjutkan ritus itu dengan tari Baris Gede. Kedua tarian itu memang jarang ditampilkan, kecuali dalam upacara yang khusus. Upacara tawur merupakan persembahan korban suci bagi Sang Hyang Widi Wasa -- Tuhan Yang Maha Esa. Yang dikorbankan adalah isi dunia, yang direka dalam bentuk sajen. "Untuk keseimbangan ekosistem. Dalam alam yang ekosistemnya seimbanglah manusia bisa bahagia lahir batin," kata Ida Bagus Pangdjaya, dari panitia upacara. Sebagai korban adalah binatang-binatang yang disayangi, di antaranya sapi, kambing, dan kijang. Itulah perlambang keikhlasan manusia untuk mengabdi kepada alam. Dengan dikorbankannya binatang kesayangan itu, diharapkan juga pupuslah kerakusan manusia. Kalau tidak, bencanalah yang akan tiba, berupa peperangan, banjir, topan, gempa, atau kemarau panjang. Upacara tawur didahului dengan upacara melasti. Upacara mengusung 21 jempana (simbol "betara" yang menghuni Pura Besakih) ke laut. Acara yang menempuh perjalanan 25 km itu merupakan prosesi yang spontan, penuh solidaritas, dan meriah. Di setiap desa yang dilewati iringan jempana, penduduk menabuh musik baleganjur. Gaung gamelan bagai tak putus-putusnya bersahut-sahutan. Perjalanan dua hari itu berakhir di pantai Klotok, Klungkung, 25 km di barat Besakih. Di ombak yang menderu itulah, jempana dimandikan. Keesokan harinya, sepi. Tak ada deru mobil, semua kegiatan mati. Pasar sepi. Jalanan sepi. Stasiun bis sepi. Hanya hati yang menyala. Umat Hindu Bali masuk jauh ke dalam sanubari. Merenungkan kembali apa arti dirinya di tengah alam raya.Burhan Piliang, N. Wedja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum