"LATIHAN fisik di Bombay tak pernah seberat ini," Ameeta
Kulkarni, 18 tahun, meringis seraya mengurut betisnya. Lepas
memperkuat India pada final Piala Uber zone Australasia tempo
hari, ia dan Hufrish Nariman, 22 tahun, tetap ngendon di Jakarta
untuk belajar badminton.
Mereka tinggal di asrama Jaya Raya, Ragunan, untuk sebulan.
Retno Kustiyah, pelatih dan penanggungjawab di Jaya Raya, semula
bingung menyediakan makanan. Ternyata, "kami bisa makan apa
saja: nasi, gado-gado, mie . . " tutur Hufrish.
Kedua cewek India ini tak banyak kesulitan bergaul dengan
siswa-siswi Ragunan. Dalam waktu singkat Ameeta yang berkulit
hitam dan suka memakai anting-anting ini-plus satu lagi yang
dipasang di cuping hidung kiri--dijuluki si Rini. Dan si hidung
mancung Hufrish yang berkulit putih, dipanggil "Jinggo".
Keduanya mulai belajar bahasa Indonesia. Kata-kata yang sudah
dihafal Hufrish antara lain "kiri-kanan, bagus, selamat pagi."
Sarjana perdagangan Universitas Bombay ini cepat menyesuaikan
diri rupanya. Juga Ameeta,
siswi kelas Xl di sekolah tinggi biara Hindu.
"Postur tubuh mereka ideal," kata Retno. "Tapi kondisi
fisiknya jelek sekali. Kalau lari mereka tercecer di belakang. "
Gadis-gadis India ini belajar badminton di Indonesia atas
biaya orangtua. Maklum, orang kaya. Ayah Ameeta pengusaha
tekstil, dan Hufrish putri seorang pengusaha minuman essence dan
sirup.
Kalau pulang ke Bombay nanti, kata Hufrish, "saya berharap
bisa menang di Kejurnas India Desember mendatang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini