Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Berpolitik demi Islam

Dia pernah berkampanye mendukung PPP, kemudian menjadi anggota DPR dari Golkar. Berusaha mempersatukan umat.

2 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hawa dingin dari penyejuk udara mempertajam aroma durian di ruang tamu seluas 30 meter persegi itu. Buah berbau menyengat tersebut dibawa pengurus Forum Silaturahmi Takmir Masjid dan Mushala Indonesia yang datang berkunjung. Di tengah percakapan dengan mereka, Rhoma berucap, ”Kalau bisa, kita menggandeng pemuda Muhammadiyah. Selama ini kita hanya mengajak NU (Nahdlatul Ulama).”

Si raja dangdut kini menepi dari dunia politik. Dia lebih memilih aktif di organisasi massa Islam. Sebut saja Forum Ukhuwah Indonesia, Forum Umat Anti-Pornografi dan Pornoaksi, serta Gerakan Rakyat Anti-Madat. Rhoma beralasan semuanya untuk membantu pemerintah mempersatukan bangsa dan mengantisipasi gerakan yang menyimpang dari Islam.

l l l

Banyak orang salah mengira saya memulai kiprah politik dengan menjadi anggota Partai Persatuan Pembangunan. Memang pada 1971 saya mendukung PPP, tapi saya bukan fungsionaris atau konstituen PPP. Saya hanya pendukung saat kampanye. Saya tidak pernah masuk partai tersebut sehingga tidak ada pula kata keluar.

Saya memilih PPP karena merasa saat itu hanya partai tersebut yang berasas Islam. Tidak Golkar, tidak pula PDI. Hati nurani saya membimbing saya memilih partai berlambang Ka’bah itu. Semua hanya karena saya ingin berjuang di jalan Allah.

Lagi pula tujuan saya bermusik bukan hanya kesenangan. Bagi saya, bermusik bisa membentuk karakter bangsa. Saya akui memang saya dipakai sebagai vote getter oleh partai. Hasilnya, selama dua musim kampanye 1977 dan 1982, alhamdulillah, saya bisa menarik ribuan orang.

Pada 1982, Presiden PPP Kiai Haji Idham Chalid berkata, seandainya demokrasi di Indonesia seperti di Amerika, saya sudah menjadi presiden. ”Presiden Indonesia bisa saja Rhoma Irama karena Rhoma pengumpul massa terbesar,” kata dia.

Sebagian besar masyarakat, termasuk para artis, saat itu mendukung Golkar. Hanya saya artis yang mendukung PPP. Dukungan saya terhadap PPP berbuah prasangka bagi penguasa. Mereka menerjemahkan dukungan saya itu sebagai bentuk perlawanan.

Saya mengalami kenangan pahit akibat mendukung kampanye PPP. Sejak 1977, video saya dicekal oleh pemerintah sampai 1988. Sepuluh tahun lamanya saya tidak boleh menyanyi atau sekadar muncul di TVRI, waktu itu televisi satu-satunya di Indonesia.

Alhamdulillah, selama dicekal, saya tidak merasa kekurangan sedikit pun. Itulah bila berjuang di jalan Allah, ada saja jalannya. Ketika itu banyak sekali lirik lagu saya yang menyindir pemerintah. Contohnya lagu berjudul Judi. Lagu itu dibuat untuk menyindir program Porkas, yang dikelola pemerintah. Kemudian ada pula lagu berjudul Rupiah, Ada Udang di Balik Batu, dan Hak Asasi Manusia.

Lagu Hak Asasi Manusia sebenarnya menyindir Golkar, yang saat itu banyak mengintimidasi orang. Akibatnya, tak cuma tidak boleh tampil di TVRI, izin pentas saya pun dipersulit.

Naiknya saya ke mimbar kampanye PPP sempat membuat ibu saya menggigil ketakutan. Ibu saya, yang tinggal di Tebet, Jakarta Selatan, selalu menangis bila saya ikut kampanye. Karena itu, sebelum berangkat, saya selalu mencium tangan Ibu.

Saya katakan kepadanya, tidak perlu khawatir melepas saya. Kalau saya tak ada, masih banyak adik saya yang akan menggantikan saya. Saat itu ibu saya hanya bisa menangis dan berdoa. Doa inilah yang, saya rasa, membuat saya selamat.

Suatu kali mantan Gubernur DKI Jakarta Bang Ali Sadikin pernah bertanya kepada saya, ”Hai, Rhoma, memang kamu sudah memiliki lumbung apa sampai berani melawan pemerintah?” Terus terang saya jawab, ”Saya tidak punya uang.” Sepertinya ragu, Bang Ali bertanya lagi, ”Apa kamu siap mati?” Saya jawab lagi, ”Saya siap mati.”

l l l

Pada 1987, sistem politik di Indonesia berubah. Semua partai politik peserta pemilu diharuskan menggunakan asas tunggal Pancasila, termasuk PPP, yang sebelumnya berasas Islam. Ini menimbulkan perenungan mendalam di batin saya. Hasilnya, saya merasa tidak lagi punya kepentingan untuk mendukung PPP.

Sudah tidak ada lagi asas Islam di sana. Maka saya memilih netral selama dua periode kampanye. Karena sikap netral ini, lagu-lagu saya tidak lagi dicekal. Lagu yang pertama kali muncul di televisi adalah Judi.

Rehat saya dari dunia politik selama dua periode (1987 dan 1992), yang berarti 10 tahun lamanya, menunjukkan bahwa saya bukan ”kutu loncat”. Waktu 10 tahun bukanlah masa yang sebentar untuk mempertimbangkan ke mana saya akan memberi dukungan.

Kalau ditanya apakah ada yang mengajak saya pindah ke Golkar, ya, pasti ada. Namun bukan atas ajakan Mbak Tutut atau siapa pun. Bahkan, selama 10 tahun tidak berpolitik, saya dihajar terus, ditawari ini-itu, dikasih ini-itu, tapi saya tetap tidak mau bergabung.

Hingga pada 1997 saya memutuskan mendukung Partai Golkar. Saya melihat fakta Golkar yang sebelumnya sangat Islamophobia berbalik mendukung Islam. Banyak sekali program yang menurut saya nyata. Misalnya program pembangunan seribu masjid di daerah dan perayaan hari besar Islam yang digelar secara megah.

Tujuan pindah partai ini demi mewujudkan perjuangan Islam. Pertimbangannya, lebih efektif berjuang di Golkar ketimbang di PPP. Sebab, saat itu Golkar merupakan partai yang paling berkuasa. Jadi bukan unsur materi yang membuat saya mendukung Golkar, melainkan karena saya merasa terpanggil.

Tentu saja kepindahan saya menimbulkan protes, terutama beberapa penggemar saya di PPP. Sempat ada masa di mana kaset dan foto-foto saya dibakar. Mereka kecewa sekali atas kepindahan saya. Mereka tidak mengerti alasan saya pindah ke Golkar. Begitu pula dengan beberapa pemimpin partai dan konstituennya.

Sebenarnya tidak ada satu pun dari mereka yang berhak mengadili saya. Tidak perlu bagi saya mengajukan surat pengunduran diri atau laporan kepada siapa pun di PPP. Sekali lagi saya katakan, saya bukan keluar karena saya tidak pernah masuk PPP. Saya di PPP tidak dibayar, malah saya yang membiayai kampanye mereka.

Pada 1997, saya menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Karya Pembangunan. Saya menang di daerah pemilihan DKI Jakarta dan menempati Komisi Agama di DPR. Pada 1998 terjadi reformasi. Maka, 23 November 1998, saya putuskan mengundurkan diri dari Partai Golkar. Ini semata-mata karena saya prihatin terhadap realitas umat yang terkotak-kotak dan bingung.

Kesimpulan itu saya temukan ketika melakukan tablig akbar di beberapa kota besar di Indonesia. Semua tokoh Islam terpecah. Saya merasa harus mengambil posisi netral agar bisa mempersatukan umat. Mereka membutuhkan tokoh yang netral. Karena itu, saya memutuskan berhenti dari dunia politik dan tidak memihak pada kekuatan politik tertentu.

Tetap saja banyak kelompok yang mendorong saya untuk menjadi presiden. Mereka melihat kesempatan untuk menjadi tokoh politik besar sekali. Banyak yang bilang, kalau saya mau terjun ke politik lagi, saya bisa jadi presiden. Bahkan pemilu kemarin sudah ada yang melamar saya untuk jadi wakil presiden.

Memang tujuannya tetap vote getter. Zaman sekarang pemilu cenderung berorientasi pada ketokohan. Orang yang paling dikenal massa adalah pemenangnya. Semakin ngetop, semakin besar kemungkinan terpilih. Mereka melihat peluang saya besar. Makanya banyak yang mendorong saya agar mencalonkan diri. Tapi saya tetap tidak mau.

Bagi saya, di era demokrasi yang cenderung liberal ini, presiden tidak punya fungsi apa-apa. Saya lihat Presiden Yudhoyono melarang erotisme di televisi saja tidak digubris, malah dicaci maki. Artinya, di era demokrasi liberal, peran seorang presiden kecil.

Sekarang presiden boleh dihina seenak jidatnya. Boleh disamakan dengan kerbau. Potretnya boleh dipasangi taring tanpa ada hukum yang mengatur. Dulu ucapan presiden adalah undang-undang. Dalam kondisi seperti ini, untuk apa jadi presiden?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus