Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI pemakaman Segok, Bangil, Jawa Timur, Letnan Kolonel Heru Atmodjo mungkin lebih tenang bersemayam. Di sini, pemegang Bintang Gerilya itu tidak ”bertemu” dengan orang-orang yang pernah berseberangan politik dengannya, seperti ”pengalaman”-nya di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Kuburannya dibongkar, dan jenazahnya dibawa ke Segok. Di kompleks pemakaman tepi kali besar itu, dia bisa ”berjumpa” dengan para almarhum kiai dari kota santri tersebut.
Meski demikian, tetap saja pembongkaran makam Heru di Kalibata—dan pemindahan jenazahnya ke Bangil—bukan perbuatan terpuji. Tindakan itu bukan saja tidak menghormati orang yang sudah dikuburkan, tapi juga memberikan judgment kepada orang yang sudah meninggal tanpa dia bisa membela diri.
Heru, yang wafat pada 29 Januari lalu, sebetulnya sudah dimakamkan di Blok W Taman Makam Pahlawan Kalibata. Upacara pemakaman dilakukan oleh pasukan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, satuan tempat Heru mengabdi sebelum dipindahkan ke bagian intelijen, dan kemudian terlibat dalam Gerakan 30 September. Meski dia dituduh berkhianat terhadap negara dan dihukum 15 tahun penjara, Bintang Gerilya yang diterimanya tidak dicabut—karena itu, Heru layak dimakamkan di pemakaman khusus pahlawan.
Tapi, pada 25 Maret malam, makamnya dibongkar dan jenazahnya dikirim ke Jawa Timur. Alasan pemindahannya tak jelas. Kementerian Sosial mengatakan Heru sebetulnya secara administratif tidak boleh dimakamkan di Kalibata. Undang-Undang Nomor 20/2009 tentang Tanda Jasa tidak mencantumkan penerima Bintang Gerilya sebagai orang yang layak dimakamkan di taman makam pahlawan.
Masalahnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35/2010—yang dibuat untuk mengaplikasikan Undang-Undang Tanda Jasa—dinyatakan penerima Bintang Gerilya layak dikebumikan di Kalibata. Kalaupun peraturan pemerintah dianggap kalah kuat dibanding undang-undang, mengapa hal ini tidak dinyatakan sejak awal? Mungkin ada kesalahan administrasi yang diketahui belakangan? Kalau ya, apakah layak hanya karena kesalahan administrasi kita membongkar makam seorang pemegang Bintang Gerilya?
Karena itu, ada yang menduga pembongkaran makam Heru bukan sekadar soal administrasi. Ada yang mengatakan pemindahan dilakukan setelah tentara mendapat tekanan dari kelompok Islam di Surabaya. Dalam surat mereka kepada Markas Besar TNI sehari sebelum pembongkaran, Gerakan Umat Islam Bersatu mengatakan, dengan memakamkan Heru di Kalibata, TNI tak menghormati arwah pahlawan revolusi.
Panglima TNI menolak mengakui alasan ini. Tapi, dari kronologinya, alasan yang tak diakui ini patut dipercaya. Kalau memang ya, alasan ini juga kurang kuat. Jasa Heru di masa kemerdekaan, bagaimanapun, sudah dicatat dalam sejarah. Apa pun yang dia lakukan setelah itu tak bisa menghapusnya.
Kalau memang keterlibatannya dalam PKI dianggap menodai kepahlawanannya, kenapa pemerintah tidak mencabut saja Bintang Gerilya itu semasa Heru hidup? Dengan demikian, mereka tak perlu repot memakamkan Heru dengan upacara militer dan membongkarnya diam-diam di malam hari beberapa bulan kemudian.
Pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab—dan enggan dijawab tegas oleh pemerintah atau militer—itu semakin menguatkan pendapat bahwa ada kerancuan dalam pemahaman dan aturan yang berkenaan dengan Bintang Gerilya, sesuatu yang tidak bisa dipandang remeh. Kerancuan pemahaman dan aturan ini akhirnya menemukan korbannya yang ”empuk”, yakni Heru Atmodjo, yang—diakui atau tidak—pernah berjuang menegakkan kemerdekaan. Jika setelah pembongkaran dan pemindahan jenazah pun tak ada jawaban resmi yang memuaskan, makin jelaslah kerancuan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo