Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Biro oktroi roosseno

Memimpin usaha jasa perlindungan di bidang merk dan hak paten-biro oktroi roosseno. (pt)

23 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI sebuah bangunan tua sekitar pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Ny. Sita Wachjo, 60 tahun, sedang menyambung tradisi seiarah bahari di negeri kita. Dia membuat kapal - satu pekerjaan yang amat langka bagi kaum wanita - yang dilakukannya sejak 30 tahun berselang. Di mancanegara pun lapangan ini masih merupakan 'kapling laki-laki'. Seperti diungkapkan Richard Cameron seorang arsitek dan pemilik kapal dari Australia: "Sita adalah wanita pertama pembuat kapal yang pernah saya jumpai". Kantornya yang dijuluki para pekerjanya 'kamar komando' berukuran hanya empat kali empat, disekat dengan papan kayulapis. Sehari-hari ia biasa mengenakan celana panjang dan kemeja lengan panjang. Dengan ini memungkinkan dia bergerak bebas, hingga meniti selembar balok untuk masuk kamar kerjanya, ia nampak tak pernah gamang. Laut sewaktu-waktu pasang, maka lantai papan "kamar komando" itu pun tak perlu dilapisi karpet beludru. Dari tempat itu pula cahaya merembes. Tak perlu lampu lagi, memang. Jangan pula ditanya parfum pewangi ruangan. Yang ada cuma aneka ragam semerbak hawa laut Pasar Ikan. Direktris PT"Indonesia Craft" ini selalu menggunakan bis kota pulan peri ke kantornya. Di luar galangan ia dikenal para sahabatnya tetap sebagai wanita biasa: suka berdandan, suka perhiasan, hangat dalam pergaulan sosial. Tiap saat ia bisa saja berada di halaman kantornya, menyertai tukang-tukangnya. Devaluasi barusan tak terelakkan membikin galangannya jadi oleng juga. "Kalau rupiah naik, saya ikut. Kalau sedang jatuh, saya pun plok - ikut terhenyak". Dari sekitar 30 pekerja tetapnya kini hanya separuh yang masih bertukang. Ia menambahkan: "Tapi dalam sebuah galangan kapal selalu ada saja yang dikerjakan. Tidak kapal, kami bikin kursi, meja atau perabot rumah tangga, dan itu masih bisa dijual," ujarnya sambil melirik kerangka kapal pinisi yang saat ini terbengkalai. Pembuatan pinisi ini merupakan proyek idamannya untuk mengawinkan teknologi perkapalan mutakhir Prancis dengan dasar pertukangan tradisional Indonesia. Pernah punya sekitar seribu buruh dengan galangan seluas sepuluh hektar, Ny. Sita telah membuat ratusan kapal. Di antaranya seratus speedboat pesanan Kostrad pada waktu Operasi Dwikora. Juga TNIAL dan Palang Merah Indonesia memesan kapal sebanyak itu dari Ny. Sita. Sedangkan dari Amerika, Prancis, Inggris dan Jerman datang pesanan kapal-kapal pesiar (yacht). Setelah beberapa kali pindah tempat, sejak sepuluh tahun ini masuk di tempat sekarang, di Gudang Setan, kata orang di sana. Areal seluas 1.300 m2 itu dikenal penduduk seantero Pasar Ikan dan Sunda Kelapa sebagai bekas peninggalan Murjangkung - sebutan untuk Jan Pieterszoon Coen (1857-1929). Namun ke mana pun Ny. Sita pindah, senantiasa diikuti pekerja yang sama. Tapi rahasia kesetiaan itu mungkin terletak pada gaya kepemimpinan Ny. Sita juga. Ia terjun menguasai seluk-beluk teknis pembuatan kapal, sampai pada urusan sekrup terkecil. Ny. Sita Wachjo berasal dari keluarga ningrat Jawa, anak ke empat dari delapan bersaudara. Ayahnya seorang insinyur teknik sipil yang sering berpindah tugas. Ia sendiri menjalani pendidikan hukum di Negeri Belanda, berdiam di sana 7 tahun dan menikah dengan orang sono - tanpa anak, sampai bercerai. Masa kecilnya pernah di Wonosobo, di Jambi dan ia lahir di Palembang. Itu sebabnya, wanita yang tetap menjanda ini mengutip pemeo sekali orang minum air Musi, dia akan selalu dekat air. Tak lama setelah Indonesia merdeka ayahnya mendirikan galangan kapal untuk alat angkutan sungai di Kalimantan. Sita langsung ditunjuk menjadi direktris. "Dengarkan saja Herr Vos - insinyur Jerman ahli kapal. Lakukan apa yang dia bilang. Pakai otakmu, kalau kau punya," cerita Ny. Sita mengutip ayahnya. Waktu itu usianya 29 tahun. Ternyata kepala sang putri memang tidak kosong. Ketika insinyur Vos meninggalkan galangannya tahun 1972, Ny. Sita sudah mahir merangkap pekerjaan sekalian sebagai direktur teknik. Pengalaman wiraswasta di kalangan kaum wanita hingga mencapai tingkat 'pengambil keputusan', mungkin tak selamanya karena digiring langsung oleh orangtua. Seperti kisah sukses Ny. Hajjah Mariani Sudirman, 55 tahun, pemilik dan pemimpin perusahaan pakaian jadi, PT "Caldera Garment Factory" di Tanjung Priok, Jakarta. Pekerjanya sebanyak 350 orang - 300 di antaranya wanita. Dari 13 pengusaha industri garment di kawasan Tanjung Priok, ia merupakan satu-satunya wanita. Sejak sebulan mi ia menambah usaha baru, di bidang pafiwisata, yaitu PT Solok Indah. Usaha ini meliputi hotel, bungalow kolam renang dan padang golf di areai seluas dua ribu hektar, di tepi danau, di Solok, Sumatera Barat. Marie, panggilan akrabnya, lahir di Medan sebagai anak ketiga dari sepuluh bersaudara, punya latar belakang pendidikan kebidanan di St. Carolus, Jakarta. Ayahnya pegawai negeri dan berasal dari ranah Minang. Juga ibunya. Tak lama setelah menikah dengan Sudirman di tahun 1951, ia segera sadar sang suami lebih direbut oleh organisasi keolahragaan. Maka Ny. Sudirman dengan sigap mengambil keputusan pentin. "Saya terjun ke dunia bisnis, karena sadar Mas Dirman suatu ketika akan menjadi milik masyarakat," tuturnya. Terbukti kemudian Sudirman memang ditelan organisasi perbulutangkisan (PBSI) selama hampir seperempat abad. Berbagai usaha, sebelum itu, pernah ia coba. Real estate, industri mebel dan mendirikan padang golf. Kandas semua. "Padahal harta sudah dipertaruhkan, namun kredit investasi yang didapat hanya 10%," Ny. Sudirman mengenang dengan suara dalam. Dengan tinggi 1,75 meter dan berat 73 kilo, punya pembawaan tenang, wanita berkulit kuning langsat itu tak mudah patah semangat. "Mungkin karena saya berasal dari keluarga besar yang menuntut saya untuk punya semangat berdikari," ujarnya "dan itu pula yang saya tanamkan kepada anak-anak agar berkecimpung menjadi wiraswasta." Ibu dari 6 oran anak yang semua sudah "jadi orang" ini kini memiliki 10 cucu. Belajar dari serangkaian kegagalan itulah akhirnya wanita yang pernah berjuang di daerah Malang waktu zaman Jepang itu sampai pada keputusan lain: "Saya lalu join dengan Hongkong di bidang garment ini," katanya. Dari perkongsian ini, menurut Ny. Sudirman, ia sekaligus belajar menata perusahaan secara lebih genah. Hingga ia membuat keputusan baru lagi. "Sejak tiga tahunini saya melakukan usaha ini sendiri," tuturnya kepada Yulia Setiawati dari TEMPO. Produksinya berupa jeans dan jacket yang diberi label Jacques de NoiT diekspor ke Amerika, Eropa dan Kanada. Sebulan rata-rata meliputi 7.000 potong. Bagaimana dia mengendalikan perusahaannya? "Biasanya saya rundingkan dengan anak saya," jawabnya "kemudian dibawa kepada staf manajer PT Caldera. Sedangkan suami saya, memberikan petunjuk-petunjuk, karena dia memang ahli di bidang ekonomi." Di tingkat atas pabriknya yang bertingkat dua itu, para pekerja sedang sibuk membuat pola, memotong bahan, menjahit dan merapikannya. Di lantai bawah untuk pengepakan. Ruang kerja Ny. Sudirman sendiri terletak di sebuah sudut, komplit dengan alat pendingin. Sebagai pemegang tampuk pengambil keputusan, ia harus sering bepergian. Untukmenghadiri resepsi maupun pertemuan-pertemuan bisnis di luar kota atau di luar negeri. "Untuk urusan bisnis sedapatnya saya lakukan siang hari," katanya "dan kalaupun harus malam, saya didampingi suami atau anak saya." Hal itu dilakukan Ny. Sudirman, "untuk menghindari gunjingan masyarakat. Sebab sebagai wanita pengusaha saya tak sebebas kaum pria," tambahnya. Nyonya Rukmini Abidin, 59 tahun, juga selalu didampingi suaminya, Zainal Abidin. Pergi pulang kantor, berbelanja, maupun dalam perundingan-perundingan dengan para relasinya. Tapi awal mulanya dorongan orangtua juga yang memacu semangat Nyonya Rukmini, hingga muncul sebagai salah seorang wanita pengusaha terpenting saat ini. "Sejak kecil saya sudah didorong ayah saya untuk berdiri sendiri," katanya suatu ketika kepada TEMPO. Dorongan itu, tambahnya, diarahkan pada pekerjaan yang sarat dengan amal dan dapat meringankan penderitaan orang lain. Bersama suaminya, Zainal Abidin, awal tahun 1950-an Rukmini mendirikan apotek pertama milik pribumi ketika itu - dan karena itu dinamakan Apotek Tunggal. Tapi apabila sekaran wanita kelahiran Padang itu memiliki sekaligus mengendalikan pabrik obat-obatan, dan industri alat-alat kecantikan, dicapainya dengan tidak mudah. PT Tunggal didirikannya dengan modal nol dan hanya dapat bergerak dengan cara meminjam sebagian setoran para peseronya. Baru 8 tahun kemudian uang para pesero ini dapat dibayar kembali. Untuk mengendalikan PT Tunggal berikut cabang-cabang dan anak-anak perusahaannya dengan hampir 1.000 karyawan, Rukmini biasa bekerja dari pukul 8 pagi hingga 16.30. Di rumah, setelah bercengkerama dengan Gibran, cucunya, dan anggota keluarganya yang lain disekitar waktu magrib dan isya, ia melanjutkan pekerjaanpekerjaan sampai larut malam. Suatu saat, tuturnya, "saya pernah membawa pulang 9 koper laporan dari berbagai perusahan". Perusahaannya bekerja sama dengan berbagai pabrik obat terkenal di daratan Eropa maupun Amerika. Untuk itu ia mendidik beberapa karyawannya untuk mengenal manajemen modern. Ia menyekolahkan beberapa stafnya, selain mendatangkan ahliahli untuk mengajar berbagai aspek perusahaan kepada karyawannya. "Karena itu saya sekarang mulai lebih banyak melepaskan tanggung-jawab kepada staf, meskipun keputusan prinsipil tetap di tangan saya," ungkapnya. Mungkin karena itu Rukmini masih tetap muncul di berbagai kegiatan sosial. Setelah mendirikan Yayasan Mitra Budaya (1967) yang banyak memperkenalkan berbagai aspek kebudayaan dari seluruh Nusantara, pada 1970 ia dan suaminya turut pula menjadi pendiri Ganesha Society. Badan terakhir ini kemudian sering melakukan kegiatan yang berkaitan dengan benda-benda kebudayaan kuno. Ia memang penggemar barang-barang antik, khususnya keramik. Di sudut-sudut rumahnya, di belakang Apotek Tunggal di Jalan Salemba Raya, terlihat benda-benda berharga itu. "Semua itu kami kumpulkan secara berangsur-angsur," tuturnya. Di ruang-ruang rumahnya yang besar itu pula setiap hari terlihat vas-vas berisi kembang sepatu segar yang dipetik dari halaman rumahnya. "Semua isi rumah, berikut halamannya, teratur rapi, sebagaimana halnya Nyonya Rukmini yang selalu berpakaian rapi," kata seoang sahabatnya yang sering berkunjung ke rumah itu. Di kolam renang yang terdapat di rumah itu, Rukmini hampir setiap hari berenang - satu-satunya olah raga yang tetap ia lakukan sampai sekarang. Di rumah itu pula diskusi sering berlangsung antara suami-istri Zainal Abidin dan kedua putri mereka. Persoalan terutama berkisar pada perusahaan. Suatu ketika, misalnya, suami-istri itu melaporkan rencana untuk membuka cabang perusahaan baru di suatu tempat. Karena itu keuntungan yang baru didapat akan ditanamkan ke usaha baru itu. Anak-anak umumnya menyetujui, sambil tak lupa menambahkan kata-kata yang sudah terkenal di lingkungan keluarga itu: "Ditelan gelombang Tunggal". Seperti diakuinya, selain pendidikan formal, ia juga mengarahkan kedua putrinya agar mengenal soal-soal rumah tangga. "Sebab saya dulu juga dididik ibu saya begitu," ungkap Rukmini. Tapi barangkali juga sering membawa Gibran ke kantornya. Selain, juga karena "saya tak mau pendidikan Gibran sehari-hari hanya diawasi pembantu di rumah". Bagi Ny. Abidin, sukses sebagai pengusaha dan keberhasilan sebagai bu rumah tangga, selalu saling berkait. "Dengan kurangnya pengertian dari keluarga, ada kalanya usaha tidak tercapai, bahkan bisa mendatangkan malapetaka," ungkapnya. Sebab bagi dia, seorang ibu tetap merupakan kedudukan yang khusus dalam kehidupan keluarga, sehingga di antara orang-orang yang bersangkutan harus ada saling mengerti. Kunci kesuksesan Ny. Rukmini tak hanya pengertian dari seluruh anggota keluarganya--terutama suaminya yang memegang salah satu anak perusahaan. Tapi juga karena Nyonya ini ta pernah berhenti pada satu tujuan. "Saya menetapkan citacita yang tinggi dan saya menetapkan cita-cita yang baru bila yang lama telah tercapai," unkapnya suatu ketika kepada majalah Eksektif. Saya juga, tambahnya, senantiasa mencoba untuk lebih baik dari perusahaan-perusahaan saingan. Untuk itu dalam jangka waktu tertentu, "saya bandinkan rencana dan hasil-hasil yang telah dicapai, menganalisa perbedaan dan menyesuaikan kebijaksanaan perusahaan demikian rupa hingga tercapai hasil yang diinginkan'. Saling pengertian di antara keluarga juga mendukung keberhasilan Ny. Danarsih, 36 tahun, sebagai pengusaha batik. Bersama suaminya, Haji Santoso, 41 tahun, tiap selesai sembahyang maghrib, ia mendiskusikan batik, tentu saja. Sepotong kain batikdigelar di lantai. Mereka bicara ihwal mutu, motif, warna, garapan dan harganya bila kelak dilepas ke pasar. "Sering kami saling debat," kata Ny. Danarsih. Selesai diskusi, ia membuat catatan untuk pegawainya, misalnya, ada segi lemah dari penggarapan batik itu. Dari rumah mereka yang besar di Jl. Dr. Rajiman, Sala, perjalanan batik "Danarhadi" diatur. Merek. usaha berasal dari nama Danarsih dan Hadi - nama sang ayah? Hadipriyono - yang iuga terkenal sebagal pengusaha batik. Lalu untuk lengkapnya dibubuhkan lagi nama sang suami, Santoso, hingga komplit menjadi Batik Danar Hadi Santoso. Ibu empat anak ini, lahir di Sala, dan sejak kecil sudah bergaul dengan seluk-beluk perbatikan. Namanya menjulang sejak awal 1970-an, ketika batik sablon menguasai pasaran. Konsumen menjadi jenuh. Ny. Danar memutuskan untuk tampil dengan batik tulis lagi. Dengan mori halus lagi. Tidak sia-sia. Di rumahnya sekaligus kantor merangkap ruang pamer, tiap tiga menit telepon berdering: kontak langsung dengan segenap tokonya di berbagai kota di Indonesia. Isi pembicaraan: keadaan harga dan pasar. "Saya perlu mengetahui tiap saat apa motif yang digemari dan mana yang seret," katanya kepada Kastoyo Ramelan dari TEMPO. Hubungan bisa pula berlangsung lewat teleks yang juga ada di rumah itu. Di tempat lain, masih di Sala, Ny. Danar mempunyai tiga pabrik batik selain toko batik. Lalu sebuah pabrik mori di Karanganyar, 15 km dari Sala. Perusahaannya mempekerjakan sekitar seribu karyawan, di luar ribuan buruh cap dan buruh pembantik. Produksinya kini 500 sampai 1.000 koli kain batik sehari. Dari jenis tradisional, semitradisional dan yang bercorak mutakhir Sebagian batiknya diekspor ke Negeri Belanda, Jerman, Australia dan juga Afrika. Suami istri itu nampak sudah berbagi tugas: Ny. Danar mengurus pemasaran, dan sang suami mengurus proses pembuatan batik, termasuk urusan pabrik mori. Hari Minggu selalu tersedia untuk keluarga. Mereka meluncur ke Tawangmangu, tempat wisata yang sejuk di !ereng Gunung Lawu. Wanita berkulit kumng langsat dan berhidung mancung ini berperawakan semampai (tinggi 1,64 meter dan berat 54 kg), juga tak mengabaikan perawatan dirinya. Begitu selesai sembahyang subuh, "Saya masuk kamar lain, senam," cerita Ny. Danarsih. Agar tetap sehat dan cantik. "Kecantikan sejati, tak hanya memancar dari lahir tapi juga batin," itu kata BRA Mooryati Soedibyo, pemilik dan Direktur Utama PT 'Mustika Ratu'. Tatiek, nama panggilan perempuan berdarah keraton (dari ibu) dan masih famili R.A. Kartini (dari ayah) ini, pada usia 55 tahun kini membuktikan ucapannya. Usahanya memang mendatangkan uang dari urusan mempercantik diri. 'Mustika Ratu' sebagai industri lahir dari kegemarannya pada jamu dan tata-kecantikan tradisional yang diwarisinya dari lingkungan keraton. "Saya dididik secara kuno," kata ibu 4 anak ini. Di dalam tembok keraton itulah sejak usia 3 sampai 28 tahun, saat ia menikah - ia mendapat keterampilan menari, nembang Jawa, membatik, merias menyanggul, membuat jamu serta kosmetika tradisional. Kepandaian itu semula hanya diterapkan pada teman dan keluarga. Oleh dorongan suaminya, Ir. Soedibyo Poerbo Hadiningrat, hobi itu berkembang menjadi bisnis. Itu terjadi tahun 1973, dengan berdirinya Tat's Beauty Secret, sebuah industri rumah tangga yang "berpabrik" di rumahnya, Jl. Sawo 31, Jakarta. Produksinya lalu diperkenalkan ke salon-salon kecantikan. Ternyata permintaan membludak. Empat tahun kemudian ia mendirikan Pusat Perawatan Kecantikan dan Pusat Pendidikan Tradisional "Mustika Ratu". Ada 40 karyawan bekerja di situ. Pusat ini telah mendidik tiga ribu siswi ahli kecantikan yang kini tersebar di seluruh Indonesia. Pada 1979 ia melangkah sebagai industrialis: pabrik "Mustika Ratu" dibangun di Ciracas, antara Jakarta-Bogor. Di areal seluas satu hektar dengan bangunan 7.000 m2, lengkap dengan lab modern, pabrik itu kini mempekerjakan 200 karyawan. Dari pabrik itu muncul 80 macam jamu dan 70 macam kosmetika tradisional. Barang itu dipasarkan melalui 1.500 salon kecantikan yang tersebar di seluruh Indonesia. "Juga melebar ke Malaysia, Singapura dan Bangkok," kata Mooryati yang gemar menonton film horor itu. Dalam bisnis katanya ia tak terlalu menekankan aspek komersial. Tapi, "Ibu tak sembarang mengeluarkan duit," komentar Djoko Ramuadji, MSc, anak sulungnya yang kini bekerja di Dep. PU. Bahkan sewaktu Djoko di luar negeri, sang ibu enggan membelikan mesin ketik baru. "Ibu membawa mesin ketik lama dari Jakarta," tutur Djoko. Alasan: untuk apa beli yang baru, kalau memang sudah punya. Ny. Sisi Soetrisno, 45 tahun, yang kini Direktur Utama PT "Tiara Royale" -bergerak dalam usaha catering - juga memulai usahanya dengan dorongan suaminya. Ibu tujuh anak ini semenjak awal 1960-an mencoba usaha katering buat menambah penghasilan atas anjuran suaminya yang pegawai negeri. Waktu itu suaminya bekerja sebagai inspektur penerbangan. Ketika suaminya kemudian pindah menjadi Direktur Merpati Nusantara Airlines, Ny. Sisi merintis usahanya dalam bentuk yayasan untuk melayani kebutuhan makanan di perusahaan itu. Karena maju pesat, ia mendirikan PT Tiara Royale. Modal pertama satu juta dan perusahaan diurus dengan tenaga inti empat orang. Kini jumlah karyawan menjadi 400 - termasuk mereka yang ada di cabang Bandung dan Surabaya. Tahun lalu saja omsetnya meliputi Rp 1 milyar lebih. "Omset memang naik sekitar 70% per tahun," kata Ny. Sisi. "Kelihatannya saja uang tambah banyak, tapi harga kan juga naik". Tiap hari dari dapurnya di Jl. Melawai, Kebayoran Baru, harus siap hidangan menu Indonesia sekitar 8.000 porsi, sesuai dengan pesanan tetap langganannya dari berbagai kantor pemerintah. Anak sulung dari delapan bersaudara, kelahiran Pamekasan ini, pernah mengecap pendidikan psikologi di New York, 1956-1959. "Kehidupan saya waktu itu saya rasa banyak membantu keadaan saya sekarang," katanya sambil mengenang lagi pengalamannya tinggal di asrama di sana. Ia harus ikut di dapur, ikut di kamar cuci, harus menerima telepon. Tak heran bila ia terbiasa mengambil keputusan sendiri. Misalnya, semula dapurnya menggabung di rumahnya - sebuah rumah luas di bilangan Kemang. Namanya usaha masak-memasak, terJadi iuga sampah bertaburan di halaman, termasuk kulit udang. Baunya bukan main. "Suami saya marah," Ny. Sisi bercerita kepada wartawan TEMPO, Minuk Sastrowardoyo. "Akhirnya saya putuskan dapur harus pindah," ujarnya mengungkapkan riwayat dapurnya di Melawai itu. Kantornya pun jauh dari rumah, yaitu di Jl. H.O.S Cokroaminoto, Jakarta Pusat, di ruang seluas 600 m2, yang merangkap untuk menyimpan perabot hiasan pesta. Di meja kerjanya penuh tumpukan kertas. Juga sebuah foto anaknya yang sekolah di Paris. Tiga anaknya yang lain bersekolah di Amerika. Untuk mengongkosi anak-anaknya itu, menurut Ny. Sisi, sumbernya bukan diambil dari hasil usaha katering, melainkan dari dividennya di sebuah perusahaan penerbangan patungan dengan Australia, yang juga dirintisnya sejak 1964. Akan halnya keuntungan perusahaan kateringnya, menurut Ny. Sisi diinvestasikan lagi untuk mengembangkan usaha. Bagi Nyonya ini urusan memasak lebih tampak sebagai hobi saja. Bila pekerjaan sudah menjadi hobi, semua urusan tak dirasa sebagai beban. Seperti Ny. Kartini Mulyadi, notaris terkemuka di Jakarta. Bekas hakim pada Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta itu menceritakan: "Sejak sekolah saya tidak mempunyai waktu bersantai dengan teman-teman, karena saya juga kerja part-time". Ketika masih kuliah, ia menjadi guru SMA dalam mata pelajaran tatanegara, pengantar ilmu hukum dan ilmu pesawat badan. "Saya menggunakan waktu senggang untuk bekerja, hingga boleh dikatakan bekerja adalah hobi saya," tuturnya. Di kantornya kini di Jl. Hayamwuruk, sejak sepuluh tahun ini sebagai Notaris/Penjabat Pembuat Akta Tanah, Ny. Kartini membawahkan sejumlah sarjana hukum. "Jumlahnya tak usah saya sebut. Pokoknya banyak," kata ibu 4 anak yang punya acara olah raga jogging secara teratur. Ia juga menolak menyebutkan jumlah kliennya, yang konon termasuk besar. "Saya ini hanya satu dari 120 notaris yang ada di Jakarta," jawabnya merendah. Namun menurut sebuah sumber kantor notaris ini yang pertama menggunakan sistem komputer dan itu pertanda bisnisnya bukan kecil-kecilan. Ia juga terbilang tokoh dalam perusahaan "Revlon" serta punya hak suara juga di perusahaan farmasi PT "Tempo". Anak tertua dari empat bersaudara ini tak melihat adanya halangan bagi wanita menduduki pos eksekutif di Indonesia. "Tapi pandangan saya mungkin karena saya kelahiran Surabaya. Di Jawa Timur, wanita yang terjun dalam dunia usaha itu sudah mendarah-dagmg," ujarnya. Kalaupun ada kesukaran bagi wanita profesional atau eksekutif adalah dalam hal membagi waktu antara pekerjaar dan keluarga. "Ini memang tak mudah, karena menyangkut prioritas," katanya. Buat dirinya sendiri, baik keluarga maupun pekerjaan sama berat. "Kaseimbangan ini harus dihadapi seorang profesional," tambahnya. Tapi di rumah, katanya tetap "tak bisa ada dua kepala keluarga. Dan saya beranggapan yang menjadi kepala keluarga seyogyanya pihak pria. Dalam sistem organisasi yang layak, kita harus dapat memberi pengakuan akan wewenang yang lebih tinggi dari pribadi kita sendiri." Tapi tanpa seorang suami sebagai kepala keluarga, Siti Rahayu Sumadi, 46 tahun, yang sampai sekarang belum berkeluarga, bisa berbangga hati sebagai Direktris PT Deraya Air Taxi. Ia mengelola perusahaannya di mana saja, di kantor, di rumah. "Dua puluh empat jam waktu saya untuk perusahaan, kecuali saya tidur," katanya. Perusahaan ini berdiri 8 Mei 1967. "Saya tertarik pada dunia penerbangan, bukan hanya sebagai hobi, tapi yang dikomersilkan," kata Siti Rahayu. Sekarang PT Deraya memiliki 21 pesawat carter dari berbagai type. Ada jenis gelatik, cessna, piper dan casa. Atas izin khusus pemerintah ia juga memiliki satu pesawat jet bekas Pelita Air Service. Dua tahun setelah perusahaan itu berdiri, Siti Rahayu berangkat ke Belanda. Ia mempelajari seluk-beluk penerbangan dan sekaligus belajar mengemudi pesawat. Tahun 1970 ia berhasil memperoleh Commercial Pilot Licence (CPL). Bagaimana ia memimpin perusahaan? "Semua keputusan saya yang mengambil setelah berdiskusi dengan staf," ujarnya. "Saya tak pernah melepaskan tanggung jawab begitu saja, walaupun sudah melimpahkan kepada orang lain." Siti Rahayu selalu mengambil sikap tegas terhadap 70 karyawannya. "Saya tak bisa memperlakukan karyawan dengan lembut," katanya. Kekerasan dirinya itu juga terpantul di wajahnya yang-bulat telur dan eratnya menggenggam waktu bersalaman. PT Deraya Air Taxi kini punya omset Rp 2,9 milyar. Perusahaan ini banyak dimanfaatkan oleh kalangan perminyakan untuk operasi di Kalimantan dan Sumatera. Selain itu, PT Deraya juga mendirikan sekolah penerbangan sejak 1970, berpangkalan di Kemayoran. Sudah banyak meluluskan PPL (Private Pilot Lisence). Sekolah ini didirikan kareni "banyak pesawat kecil kurang efisien untuk pesawat carteran," kata direktris yang mengaku tak suka berorganisasi ini. Tanpa suami juga bisa menggiring wanita menjadi pengusaha. Itu dialami Ny. Djokosoetono, 60 tahun. Ia memutushn masuk dunia bisnis sepeningal suaminya tahun 1965. "Didorong naluri orangtua untuk memajukan anaknya," cerita Ny. Djokosoetono kepada Rini PWI Asmara dari TEMPO. Ia memilih usaha taksi kota karena waktu itu, "Peninggalan bapak ada beberapa mobil bekas pemberian UI dan perguruan tinggi Akademi Hukum Militer." Prof. Dr. Djokosoetono, SH memang guru besar semasa hidupnya, juga di PTIK. Kediamannya yang merangkap sebagai markas besar taksi Blue Bird ada di Jl. H.O.S. Cokroaminoto, Jakarta. Di sana bermula ada sejumlah mobil bekas. Tahun 1972, Blue Bird resmi mendapatkan dukungan bank. Kini armadanya meliputi 500 mobil. Belakangan diperkuat pula dengan 80 bis yang diberi nama 'Big Bird', untuk pengangkutan karyawan dan anak sekolah. Usaha ini menampung sekitar 800 tenaga kerja. Putrinya dr. Mintarsih, 36 tahun duduk sebagai direktur personalia. Sedangkan dr. Purnomo Prawiro, anaknya yang bungsu menjadi direktur operasi. Ibu 3 orang anak yang semua jadi dokter ini juga aktivis berbagai organisasi bisnis, seperti Kadin, Iwapi (Ikatan Pengusaha Wanita Indonesia). Namun sejauh ini tak pernah terlintas dalam pikirannya untuk mempekerjakan wanita juga sebagai sopir taksinya. "Pada prinsipnya, saya cari makan tidak dengan merendahkan kaum saya," ujarnya, "Karena berbahaya sekali wanita menjadi sopir". Memang masih banyak wanita pengusaha yang cukup menonjol. Misalnya, putri ke lima dari enam anak Prof. Roosseno, Dra. Amalia Mulyono-Roosseno, yang memimpin satu usaha jasa perlindungan di bidang merk dan hak paten. Itulah Biro Oktroi Roosseno yang beralamat di Kompleks Permata Hijau, Jakarta Selatan. Di rumah kediaman bergaya Spanyol itu, Ny. Amalia, ibu 4 anak ini, sejak 15 tahun ini meneruskan usaha keluarga yang sudah ada mulai 1952 itu. Ia mengkoordinasi 15 pekerja, enam di antaranya wanita. "Klien saya hampir seribu perusahaan," kata Ny. Amalia menyebut beberapa merk terkenal. Meski terbilang wanita pengusaha, Ny. Amalia tak pernah ikut Iwapi. "Tak ada hubungannya dengan usaha saya, jadi saya lantas kurang sreg," ujarnya. Iwapi dewasa ini tumbuh sebagai organisasi wanita usahawan terbesar di Indonesia, dengan cabang di 23 provinsi. Ny. Tien Soeharto menjadi pelindungnya. Pesatnya pertumbuhan organisasi yang bertiri sejak 1976 itu ternyata membawa 'nasib buruk' bagi karir Ny. Dewi Motik sebagai peragawati. Sebab di tahun 1979 ia didaulat sebagai ketua. Gelarnya sebagai Top Model Indonesia tahun 1974, melicinkan jalan baginya memasuki dunia bisnis. Ketika akhirnya dia bersungguh-sungguh: dua tahun kemudian, ia mendirikan PT Rulan Jaya bersama keluarganya. Perusahaan yang bergerak di bidang ekspor impor semen ini pada 1980 lebih menaruh minat mengembangkan usaha konveksi. Untuk yang terakhir ini ia mendirikan PT Arrish Rulan Garment Factory yang sempat menyerap sekitar 500 tenaga kerja. Ibu dua anak ini membagi waktu untuk keluarga dan pekerjaan dengan cara selalu memberikan acara hariannya kepada semua anggota rumahnya - termasuk pembantu. "Sehingga semua orang di rumah tahu di mana saya berada," ujarnya. Agenda hariannya padat sepanjang minggu. "Saya bahu-membahu dengan Yu Mala," katanya. Maksudnya, kakaknya, Kemala Motik, yang juga dipandangnya sebagai sahabat, konco bisnis dan sekaligus penasihatnya. Tapi ada orang lain yang disebut Dewi: suaminya, Pramono, yang bekerja di Dept. Pekerjaan Umum, seorang yang lebih suka tak menonjol. "Saya menganggap suami saya adalah orang yang membentuk saya," Ny. Dewi bercerita. Sang suami juga biasa mendampingi bila ia harus menghadiri acara di luar. "Kalau dia tidak sempat, saya akan bepergian dengan mengajak pembantu. Karena terus-terang, saya paling tidak suka jadi bahan pergunjingan," ujarnya bersemangat. "Saya harus menghindari konflik dalam keluarga saya," katanya lagi, dan masih dalam semangat yang sama ia mengutarakan pendiriannya: "Meskipun saya merasa dapat berbuat banyak tanpa bantuan orang lain, saya tetap merasa . . . I need a man, I need a husband" Dari Sita yang sorangan, sampai dengan Dewi yang perlu berdampingan, Kartini 1983 hadir - para wanita Indonesia yang menonjol bukan karena nunut suami - di dalam bisnis yang menjulang tinggi. Zaman pergerakan politik memang tak ada lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus