NYONYA Rahmi Hatta, 55 tahun, berpakaian abu-abu tergolek di
tempat tidur. Berbagai bunga anggrek dan kartu harapan sembuh
berdatangan dari rekan-rekan dekat. Bersandar pada beberapa
bantal, ia mencoba tersenyum dan melayani siapa saja yang
menjenguk -- di Paviliun Cenderawasih RscM Jakarta -- kamar
tempat Bung Hatta dirawat menjelang akhir hayatnya.
"Semua ini gara-gara dipotret pakai blitz. Sekarang saya tak
bisa melihat jelas orang di depan saya. Dalam jarak semeter pun
yang terlihat cuma bayangan saja," ujarnya. "Mungkin karena saya
sudah tua, soal begini saja mata saya jadi kurang jelas
melihat."
Tanggal 21 April di Gedung Juang, dalam peringatan Hari Kartini
sekaligus peringatan 100 hari menmggainya Ny. Fatmawati Sukarno,
ia melihat lukisan Sriyani - yang menggambarkan Bu Fat menjahit
bendera pusaka. Waktu itu, tuturnya, pikirannya mendadak terasa
kosong. "Dalam kekosongan itu, saya melihat roda mesin berputar.
Juga saya melihat, Bu Fat melambailambaikan tangannya kepada
saya. Mungkin karena antara Bu Fat dan saya sejak dulu terjalin
hubungan yang kuat."
Di situlah ia dipotret -pakai blitz. Dan tiba-tiba pandangannya
kabur.
Ia dirawat sejak pekan lalu. Dan selalu terkenan pada mendiang
suaminya sekarang, saya sulit mengadu - kalau ada hal-hal yang
perlu dipecahkan bersama. Memang saya punya anak. Dengan cucu
pun saya begitu dekat. Tapi, kepada mereka saya rak bisa bicara
macam dengan Bapak dulu."
Wajahnya berubah sedih dan matanya memerah. "Saya harus mampu
melihat kenyataan. Saya tidak boleh cengeng. Tidak, saya tidak
cengeng," ujarnya, seperti memberi kekuatan pada diri sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini