BOBOT tubuhnya 68 kg dan tingginya cuma 155 cm, sehingga kesan
gemuk tidak bisa dipungkiri lagi. Dahinya yang lebar selalu
dibanjiri oleh keringat dan seakan-akan diburu, dia selalu
bicara cepat kepada pendengarnya. Dr. Liberty Manik berbicara
tentang musik gondang Batak kepada Guruh Sukarno Putra, Eros
Djarot dan lainnya lagi pertengahan Mei lalu. Di waktu yang
lain, dia berbicara dengan sekelompok orang kulit putih -- masih
tentang gondang Batak - di Wisma Subud, Cilandak. Ke mana dia
pergi dan bicara, tidak pernah ketinggalan perlengkapan
pribadinya digotong juga: pita rekorder merek Uher berikut
pengeras suara stereonya.
Manik lahir di Sidikalang, Sumatera Utara 53 tahun yang lalu.
Dia adalah penggubah lagu Satu Nusa - Satu Bangsa. Sebelum 1950,
Manik pernah bekerja di majalah Arena, yang dipimpin almarhum
Usmar Isrnail, dan penulis tentang musik di majalah Mimbar
Indonesia dan Zenith. Bukunya yang pertama diterbitkan
BalaiPustaka di tahun 1952, berjudul Musik di Indonesia an
beberapa persoalannya. Tahun 1954 dia pergi ke Belanda, untuk
memperdalam musik. Selama 14 tahun belajar tentang musik di
Belanda dan Jerman. Tahun 1968, Manik berhasil mengakhiri
studinya dengan suatu promosi berjudul Das arabische Tonsystem
ini Mittelalter dengan nilai magna cum laude. Kemudian bekerja
pada jawatan yang menyusun semua pustaka-pustaka Batak di semua
perpustakaan di Jerman Kini lewat Deutsche
Forschungsgemeinschaft, dia diberi tugas untuk menyusun buku
tentang gondang Batak dan diharapkan selesai bulan-bulan depan
ini.
Manik -- satu-satunya doktor Ilmu Musik di Indonesia -- bersikap
baik terhadap eksperimen anak muda. "Saya lebih positif pada
usaha Guruh. Dia menyertakan unsur gamelan Bali dalam musik
percobaannya. Tidak seperti musik pop, yang selain main contoh
musik luar negeri", katanya. Musik pop hanya merupakan mode,
"tapi dia begitu dominan sebagai medium yang kuat untuk
mendekati masyarakat. Karena inilah, saya mencoba memperdalam
musik pop", lanjut Manik.
"Setelah sekian tahun tinggal di luar negeri, akhirnya Manik
berkata: "Saya mau tinggal di sini saja. Meskipun di Jerman
Barat dengan mobil dan rumah bagus saya bisa hidup dengan layak.
Toh materi, tidak selalu membahagiakan saya". Rencananya,
setelah buhunya tentang gondang Batak terbit, dia akan
berkeliling ke Flores, Timor, Irian Jaya untuk musik.
Malang baginya, setelah dia berhasil menelurkan komposisi
Desaku, Pantai Yang Sepi dan beberapa lainnya di tahun 1955,
selama dia tinggal di Jerman Barat hingga kini belum keluar lagi
komposisi apapun.
"Inilah celakanya seorang sarjana. Otaknya sudah dibebani
pikiran aneka ragam. Praktis selama tinggal di Jerman Barat,
saya tidak merasakan keharusan mencipta". Dia seangkatan dengan
Frans Seda, Binsar Sitompul dan Cornel Simanjuntak di
Hollandsch-Inlandsche Kweekschool. Katanya lagi: "Sayangnya, di
Indonesia kita belum bisa membedakan mana itu jazz dan pop,
sebab yang dibuat pop itu ternyata aliran musik modern". Dia
menyesalkan berkurangnya minat terhadap penyanyi jenis seriosa.
Satu hal yang belum berhasil dicapainya: hidup berkeluarga.
Bujangan setengah abad lebih ini berkata: "Tapi saya tidak
berniat membujang terus. Sebab saya beranggapan manusia itu
sebaiknya berkeluarga". Siapa calon isterinya? Liberty Manik
cuma ketawa saja, tapi ada dia berkata: "Sebelum lihat calon
orangnya, saya punya syarat. Tapi kalau sudah kena, hati
bergetar dan semua syarat itu menyingkir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini