Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Festival lawak wanita

Yetty wanny muallim, berhasil menjadi juara umum dalam festival lawak wanita, siswa kelas i sekolah kejuruan industri pariwisata ini juga guru tk trisna slipi. (pt)

5 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"SEBELUM naik pentas, saya memang sudah gemetaran," ujar Yetty Wanny Muallim. "Tapi kata nenek, kalau mau tenang baca ini . . . -- dan lipatan kertas berisi doa itu tidak diperlihatkannya. Yetty yang bertubuh langsing berkulit kuning, bersuara bagai Titiek Puspa dan bertampang lumayan, telah berhasil jadi juara umum Festival Lawak Wanita. Saingannya dalam final ada 8 orang plus 9 grup. Kemenangan itu tidak disangkanya. "Kalau juara atau juara II, saya rasakan," ujarnya. Yetty telah memboyong 3 buah piala dan berbagai hadiah lainnya dari sponsor. Termasuk sambal segala. "Padahal gua kagak seneng sambel," ujarnya. Yetty anak Betawi asli. Duduk di kelas I Sekolah Kejuruan Industri Pariwisata, dia juga seorang ibu guru di TK Trisna, Slipi. Di kelas, Yetty selalu membuat tertawa teman-temannya. Bahkan dia turut membentuk grup Lestrik, singkatan Kelas Nyentrik, tapi grup ini kalah di semi final. Teman-temannya sekolah memang menjagoi Yetty. Sampai-sampai banyak yang membolos dan tentu saja pak guru marah. Cita-cita ingin jadi pelawak, tidak pernah terlintas di kepalanya. Entah kalau setelah menang. "Sebab tadinya saya cuma iseng," tambahnya. Nomor 13 yang dikenakannya tampaknya membawa berkah juga. Yetty maju ke panggung dengan skrip karangannya sendiri. Dia mengenakan kain kebaya, tampak jauh lebih dewasa dari usianya, dan tidak lupa membawa jas dan kacamata ketika harus memerankan wanita profesor doktor dengan segala macam titel. Sebelum dia buka suara, dari tengah penonton yang rupanya sudah kesal lantaran lawakan sebelumnya rata-rata jelek, terdengar "Nggak usah melawak deh! Lu udah cakep!" Tapi penampilannya ternyata berwibawa, dan pandangan orang serentak berobah. Di antara ucapannya ialah "Kita harus beremansipasi. Kalau laki-laki piara rambut gondrong, mengapa kita tidak menggundul kepala kita sampai botak? . . . Mari kita ramai-ramai shalat Jum'at!" Melucu soal-soal porno dia ogah. "Nggak sampai hati melawak begitu," ujarnya. "Dengernya aja udah malas. Apalagi yang bawain wanita, biasanya konyol. Malu dong."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus