Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Dicari kb yang cocok

Metode kontrasepsi yang telah dikenal, kurang sesuai bagi masyarakat di negara berkembang, who, ford foundation & unfpa memberikan dana untuk program penelitian di bidang kontrasepsi. (ilt)

5 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

METODE kontrasepsi (KB) yang tersedia sekarang rupanya kurang sesuai, terutama untuk negara berkembang. "Bahkan di Amerika Serikat, di mana cara kontrasepsi efektif tersedia luas, masih ada sepertiga dari jumlah kehamilan tidak dikehendaki," kata Elizabeth B. Connell, Direktur bidang Ilmu Kesehatan dari Rockefeller Foundation. Ada usaha kaum ilmiawan di negara-negara maju untuk melanjutkan penelitian dalam mencari kontrasepsi baru. Tapi seperti Dr. Connell melihatnya, dana yang disediakan sektor pemerintah maupun swasta untuk itu, "sejak tahun 1973 tidak bertambah." Perusahaan farmasi sedunia menarik diri, karena agaknya insentif untuk mendukung program penelitian di bidang kontrasepsi secara finansiil sangat tidak menarik. Risikonya besar sekali. Misalnya perusahaan farmasi raksasa Upjohn di Amerika Serikat sudah menempuh masa percobaan dan penelitian lebih 20 tahun -- dengan biaya $20 juta -- untuk memproduksi Depo Provera (depo medroxyprogestrone acetate). Jenis kontraseptif itu dapat diinjeksi dan telah digunakan di 68 negara di dunia. Belum lama ini FDA (Food and Drug Administration), lembaga resmi Amerika Serikat melarang penjualannya di negeri itu. Peranan UNFPA Larangan itu merupakan pukulan besar bagi Upjohn. Sebagian besar negara lain, termasuk Indonesia masih tetap mengizinkannya. Kenapa Noegroho Iman Santosa dari Ditjen Pelayanan Medis KB, Departemen Kesehatan, mengatakan Indonesia tidak selalu perlu mengikuti keputusan FDA. "Namun keputusan itu harus menjadi perhatian kita dan tidak boleh diabaikan." Edward M. Southern, seorang pemimpin riset dari Upjohn menjelaskan kisah Depo Provera membuat perusahaannya enggan memikul biaya program penelitian dan pengembangan cara kontrasepsi baru. Beban program penelitian itu sekarang ingin dipikul terutama oleh organisasi yang tidak mencari untung seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Ford Foundation dan UN FPA (United Nations Fund for Population Activities). Ford Foundation sekarang misalnya memperkirakan biaya $24 juta untuk suatu program pengembangan vaksine beta hCG -- kontraseptif injeksi untuk pria. Yayasan ini juga menaksir $17,5 juta untuk mengembangkan obat kontrasepsi yang ditanam di bawah kulit dan yang larut kemudian. Tiap program itu memerlukan waktu 5 tahun. Usaha ini masih tergantung dari sumbangan dana pemerintah dan badan swasta sedunia. Tapi sebagian negara Barat -- mungkin karena angka kelahiran di negeri mereka sudah sangat turun -- kurang terdorong untuk menyumbang. Menyadari ini, sejumlah sarjana terkemuka di seluruh dunia telah menandatangani sebuah rencana resolusi, yang akan diajukan ke Konperensi tentang Ilmu dan Teknologi untuk Perkembangan PBB (UNGSTD), yang direncanakan Agustus di ibukota Austria, Wina. Resolusi itu pada pokoknya mendesak agar dana pengembangan di bidang kontrasepsi supaya ditingkatkan sampai tiga kali dari jumlah tersedia sekarang, menjelang tahun 1985. Dana dianjurkannya supaya disalurkan melalui UNFPA. Ini diprakarsai oleh Draper Fund, suatu dana sosial dari Population Crisis Committee di Washington. Indonesia, yang sedang menggalakkan program KB, akan tertolong sekali jika dijumpai alat kontraseptif yang lebih sesuai untuk negara berkembang. Umumnya masyarakat di negara berkembang sukar menjumpai kehidupan pribadi seperti di negara Barat. Fasilitas saniter mereka yang baik pun amat jarang. Ini sangat membatasi penggunaan metode kontrasepsi seperti kondom, diafragma dan tablet busa. Penggunaan pil pun terhalang di negara berkembang karena ia menuntut ketekunan dan keteraturan, sesuatu sang erat berhubungan dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorang. Sedang untuk pemakaian IUD (alat dalam rahim) sekalipun infrastruktur medisnya pun belum tersedia luas di negara berkembang. Suatu rapat kerja nasional pekan lalu di Jakarta menilai program KB Indonesia sudah maju. Hal menggembirakan ini diakui juga pekan lalu oleh perutusan UFPA. Namun seperti diucapkan Menteri Kesehatan Suwardjono Suryaningrat yang merangkap Kepala BKKBN dalam rakernas itu, angka kelahiran di Indonesia masih perlu diturunkan lagi, dengan lebih cepat. Target semula -- penurunan angka kelahiran 50% dari keadaan 1971 -- untuk tahun 2000 supaya diajukan ke tahun 1990, katanya. Di sini letak kebutuhan Indonesia akan teknologi kontrasepsi yang lebih sesuai. Program penelitian secara kecil-kecilan di Indonesia sudah berjalan juga, seperti terhadap penggunaan jamu dan tanaman lain yang berkhasiat kontraseptif. Cara tradisional ini sudah menjadi perhatian banyak ahli dari luar negeri. Tapi pengembangannya masih jauh. Persoalan ialah, seperti dinyatakan oleh Prof. M.F. Fathalla dari Mesir, masih belum banyak riset dilakukan untuk menerapkan teknologi kontraseptif pada negara berkembang. Jangan diharapkan rakyat menyesuaikan diri pada teknologi, tapi sebaiknya dicari teknologi yang cocok untuk rakyat, demikian Fathalla yang dikutip The Draper Fund Report.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus