DIMANAKAH bekas Gubernur Djakarta Raya Henk Ngantung? Ada
dirumahnja jang penuh lukisan didjalan Tanah Abang. Kepada
Leopold Gan reporter TEMPO Henk Ngantung pun berkata terus
terang "Memang saja anggota Lekra, tapi maklum ketika itu wadah
artis adalah Lekra". Waktu itu konon, untuk menolak tidak bisa,
demikian pula untuk menjatakan tidak setudju. Tambahnja pula
"Andai saja ini seorang komunis tulen, saja dapst membuat
Djakarta lebih meraih. Tetapi kenjataannja oleh PKI sendiripun
saja ini tidak laku". Dia mendjadi Gubernur pada bulan-bulan
sebelum Gestapu. Dan JPK kreasinja Pot-pot bunga jang mentjapai
berangkat atau topi badja jang tinggal dua tiga dan air mantjur
dilingkaran Djl. Thamrill. "Saja ingin menanamkan estetika dan
membudajakan ibukota. Tetapi masa itu untuk mrmbuat air mantjur
saja harus menerima tjatji maki. Karena air minum masih kurang".
katanja sambil tersenjum. Karjanja sebagai gubernur sepenuhnja'?
hampir tidak ada, karena "seperti naik tangga, baru dua tiga
langkah sudah harus turun kembali. Belum melihat di atasnja",
diapun sudah diharuskan melldjadi gubernur pensiunan.
Tetapi betulkah karena Lekra-nja Henk Ngantung sekarang
bersembunji? Ternjata tidak, karena dia tidak diapa-apakan. Apa
jang menghambat dirinja untuk tetap tinggal dirumaah ialah
karena penjakit matanja. Ini rupanja kian Lawat djuga. Sungguh
menjedih-kan sekali, karena SL Dagai seorang pelukis, mata jang
djeli adalah pokok utama. Karena sang mata pula dia mendjadi
malas bergaul. Sebab "kerap saja disodori tangan, tetapi saja
tidak melihatnja untuk mendjabat salam tersebut. Djuga diwaktu
orang gelak tertawa dipesta, saja tidak bisa ikut gembira karena
saja tidak melihat sesuatu jang lutju".
Kini dia hidup hanja dari pensiunanja sadja, dan uang hasil
lukisannja. "Achir-achir ini lukisan saja dibeli oleh Pak Ali
Sadikin dan Pak Mamo", dan dalam solidaritas korps, hasil
lukisannja jang hanja beberapa buah itu, lumajan untuk menambah
isi kantongnja. Jang pasti, tentu ini redjeki anak-amaknja jang
"setelah saja bukan gubernur lagi, lahirlah anak-anak saja".
Henk Ngantung, 50 tahun, harus menjuapi empat mulut jaua masih
ketjil-ketjil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini