MUNTJULNJA suara-suara mati-nja Surabaja didrama 4 kota 2 bulan
jang lalu telah membawa semangat hidup para seniman di Surabaja.
Bahkan komisi B DPRD KMS karena itu -- meskipun suara-suara mati
bukan nomor satu dalam sidangnja mendjelang ulangtahun ke-65
Surabaja April jang lalu telah sepakat mengingini satu Pusat
Kesepian disana. Maka terbetik berita bahwa pada fiesta
ulangtahun Surabaja jang sederhana itu sekaligus akan diresmikan
Dewan kesenian Surabaja (DKS). Tapi kalangan seniman jang mulai
berbesar hati mendadak djadi bertanja-tanja. Mengapa tidak djadi
diumumkan DKS itu. Apakah ada kiranja suara-suara mati disana
Basuki Rachmat, manikebuis Surabaja dengan nada bertanja
mengatakan kepada Atjin Yassien koresponden TEMPO, "Apakah sudah
dirasa perlu adanja DKS, itu?" Sembari meniup abu puntung rokok
jang tertjetjer dimedjanja, dikantoi madjalah njaja Baja.
Lekra. Ia kembali mengkadji peristiwa Lama, ketika ia bersama
rekannja Farid Dimjati menjelenggarakan festival drama peladjar
tahun 1958 di Surabaja. "Saat itu benar-benar ada semangat para
seniman jang betul untuk seni itu sendiri". Lalu ia membuka
fakta -- sebenarnja kegiatan seni setelah non aktifnja Lekra
telah lama tidak digalang lagi. Sedjak Kesatuan Aksi Seniman
Budajawan Indonesia tahun 66 itu hingga kini nasib kesenian di
Surabaja tetap terlantar. Mengapa? "Seniman Surabaja telah lama
berke-lompok "dalam golongan". Tapi bukan itu masalah utama.
Basuki 33 tahun bapak dari 3 putera, sebenarnja masih
mempertjajai konsepsi masjarakat seniman sebagaimana disebutkan
"individu-individu jang haus aktivitas dibidang seni" itu. Maka
kini masalahnja bukan DKS atau apa namanja. Tapi bagaimana
terlebih dulu mentjiptakan suasana "seniman-seniman bisa
mengadakan pergaulan".
Dan Farid Dimjati 31 tahun, jang djuga manikebuis dan pernah
bersama Basuki Rachmat dipetjat dari keanggotaan PWI sehingga
terpaksa menganggur , setengah tahun itu, memperdjelaskan
persoalan. Dirumahnja Djl.Dharmawangsa ia mengatakan "terlalu
banjak orang-orang jang bukan seniman ikut tjampur disana".
Misalnja jajasan bina seni, kelompok pengusaha jang ditundjuk
wali kota sebagai pengumpul dana, telah melangkah djauh kearah
praktis dan mengadjukan rentjana jang bersifat teknis belaka.
"Uangnja darimana?" tanja Farid. Meskipun kini oleh Farid
kegiatan seniman Surabaja tidak lagi mengchawatirkan masalah
keuangan karena dari APBD 71/72 tersedia dana chusus kesenian
pada sektor kebudajaan. Jang terpenting bagi Surabaja diperlukan
muntjulnja "seorang organisator para seniman".
Agaknja memang benar apa jang digambarkan para pembantu
walikota di bidang pembinaan seniman itu. Baik Basuki Rachmad
maupun Farid Dimjati tidak menjukai istilah jang terlalu muluk
tapi tak ada pelaksanaan. Basuki merasa ngeri pada suatu ketika
katanja mendengar utjapan seorang anggota Dewan Kesenian
Djakarta "Seniman kita diantjam kemusnahan". Ia
menggambarkan perlu penghajatan seni bagi anak-anak kita.
Maka ia akan menempuh tjara semula. "Dengan fasilitas jang
diberikan Pemerintah Daerah, raja ingin membiajai kehidupan
seni disekolah-sekolah terutama SMA" katanja. Dan Walikota
Sukotjo meskipun niatnja mengumpulkan DKS pada tanggal 1
April, digagalkan, tapi perombakan bagian timer gedung utama
Balai Pemuda telah dimulai pula 2 April hari berikutnja.
"Diharapkan Agustus nanti", gedung baru bagi kegiatan seniman
Surabaja dengan model bangunan jang modern itu, "sudah akan
bisa ditempati", kata beliau. Lalu bagaimana dengan organisasi
seniman itu sendiri? "Satu gerak serempak telah tampak", untuk
menjambut fasilitas tersebut, tulis seorang tokoh seniman
Surabaja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini