RAJA Aceh terakhir, Sultan 'Alaidin Muhammad Daud Syah, tahun
1904 dibuang Belanda ke Jakarta. Dalam sejarah Aceh, Sultan
Muhammad Daud atau biasa juga disebut Tuanku Muhammad Daud,
resminya diangkat sebagai calon raja oleh Majelis Kerajaan Aceh
semasa kanak-kanak -- menggantikan pamannya Sultan Mahmud Syah
yang meninggal tahun 1874. Majelis Kerajaan Aceh yang berkuasa
menurunkan dan mengangkat raja Aceh itu terdiri dari Tuanku Raja
Keumala, Tuanku Hasyem (sekaligus wali Tuanku Muhammad Daud) dan
Teuku Panglima Polem. Majelis ini menyerahkan kekuasaan -- untuk
memerintah dan memimpin Aceh melawan Belanda -- kepada Teuku
Tjhik Di Tiro. Ketika Tuanku Muhammad Daud ditawan Belanda, dia
memberikan kekuasaan itu kepada Teuku Tjhik Mahyeddin Di Tiro
(putera terakhir Teuku Tjhik Di Tiro). Belanda sendiri kemudian,
menganggap perang Aceh usai pada 3 Desember 1911, sesaat Teuku
Maat Tjhik Di Tiro (cucu Teuku Tjhik Di Tiro tewas di medan
laga. Akan Sultan Muhammad Daud sendiri, setelah
berpindah-pindah tempat pembuangan (Jakarta, Bandung, Ambon),
tahun 1939 meninggal di Jakarta, tanpa pernah kembali ke tanah
kecintaannya.
Raja terakhir ini punya seorang anak sulung, calon Putera
Mahkota Kerajaan Aceh Raya, Tuanku Raja Ibrahim. Sebagai putera
raja, kehidupan Abang (begitu kerabat dekat memanggilnya) cukup
beragam. Pernah misalnya berkunjung ke negeri Belanda , karena
Ratu Wilhelmina menyatakan ingin berjumpa dengan sang Raja Muda.
Dan Ratu memberinya pangkat Letnan. Tapi ini bukan berarti
kompromi: menjelang Tuanku Ibrahim menginjak dewasa, dia sering
ikut sang ayah bergerilya di hutan. Juga ketika sang ayah
dibuang ke Jakarta, Tuanku Ibrahim turut serta. Bermukim di
Pisangan lama, Jatinegara, ayahnya sempat menikahi seorang dara
Banten yang mempunyai nama panggilan Neng Ipi. Dari wanita ini
lahirlah lima orang adik tiri Tuanku Ibrahim. Lantas biarpun
ayahnya melarang, Abang di tahun 1937 kembali ke Aceh.
Sampai 1960, Tuanku Ibrahim menjabat Mantri Tani di Sigli.
Biarpun putera raja, nyatanya tidak kaya. Pensiun dari Mantri
Tani cuma Rp 9.000. Ayah dari 15 orang anak (dua meninggal) dan
menikah delapan kali, Abang menetap di Lam Lho -- dalam keadaan
yang umumnya dianggap tidak layak bagi seorang bekas Putera
Mahkota. Seorang anggota DPRD menjenguknya dan mendapatinya
hidup dalam keadaan prihatin. "Untuk hidup wajar saja dengan
uang sebegitu, tentu susah", keluh Abang -- yang paham bicara
Inggeris, Belanda dan Perancis. Kemudian dengan SK no. 100/76
dari Pemda, dapatlah Abang sebuah rumah mungil. Ketika dia juga
berkirim surat kepada Sultan Hamengkubuwono IX (maklum, sesama
raja toh), dapatlah ia tambahan Rp 5.000 dari Pemda dan Kp 1.500
dari Departemen Dalam Negeri, yang kalau ditotal jenderal masih
di bawah jumlah lumayan -- karena dia masih harus menghidupi 9
mulut. Dan rumah mungil yang harganya 1,7 juta rupiah pun
ditempati dengan syarat: "Bila saya telah tiada, rumah ini harus
dikembalikan", ujar Abang. "Eh, toh, semua itu saya terima".
Usia Tuanku Ibrahim kini 83 tahun. Pernah dalam sebuah seminar
tentang Aceh di Medan timbul sebuah usul agar ayah Tuanku
Ibrahim -- Tuanku bfuhammad Daud -- diresmikan sebagai pahlawan.
Dari Baperis (badan yang mengurus kuburan raja-raja Aceh, dan
kini jadi obyek turis) mulai dihembuskan suara: kalau nanti
Tuanku Ibrahim meninggal, sebaiknya dikuburkan di kuburan
raja-raja. Tuanku Ibrahim sendiri mempunyai satu keinginan yang
belum terlaksana: pergi ke Jakarta menengok kuburan sang ayah.
Rupanya, Tuanku Ibrahim, tidak "seberuntung" Tengku Tjhik D
(Daud) Beureuh - Pemimpin Rakyat Aceh -- yang menjelang Pemilu
lalu oleh Pemerintah di-keliling duniakan dan sering datang ke
Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini