Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Macbeth, dengan tempo jawa

Bengkel teater yogyakarta dengan sutradara rendra me- mentaskan "macbeth" di teater terbuka tim. pementasan karya rendra terbaru, terjemahan karya willian shakespeare. dirensi oleh syu'bah asa. (ter)

26 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MACBETH Karya: William Shakespeare Terjemahan: Rendra Sutradara: Rendra Produksi: Bengkel Teater Yogyakarta *** KESENIAN sama sekali bukan barang 'klas tinggi' elite. Itulah yang ingin "diajarkan" Rendra lewat pemunculannya di panggung. Sesudah periode 'minikata'-nya yang singkat, yang hanya bisa dinikmati oleh sangat sedikit orang, Rendra muncul sebagai orang paling depan dalam mengantarkan jenis kerakyatan untuk apa yang dahulu disebut teater 'modern'. Pertama lewat bentuk-bentuk pengucapan kesenian rakyat tradisionil, atau yang dibangun kembali dari sana, lengkap dengan dialek dan dengan sendirinya juga langgam hidup kerakyatan -- dan di atas dasar itu 'unsur-unsur Timur' dari manapun dibolehkan masuk. Dalam hal ini ia memang beberapa saat didahului Arifin C. Noer, yang meskipun terhitung kurang kaya pada 1967-1968 sudah mementaskan karya-karyanya sendiri dengan ciri-ciri tersebut. Tetapi dalam usaha menampilkan 'potret rakyat sebenarnya' -- menyuarakan nasib aktuil mereka -- Rendra jelas tidak bisa dilebihi seorangpun. Sementara Arifin melancarkan kritik-kritik kepincangan sosial dalam rangka katakanlah "memenuhi kebutuhan teater", dan sementara Putu Wijaya menjadikan bahan-bahan kerakyatan sebagai - kadang-kadang -- sarana untuk menumbuhkan imaji-imaji murni yang 'klas tinggi (Lho atau Anu, misalnya). Rendra menjuruskan seluruh bakat dan kepandaiannya untuk pengabdian seperti dimaksud. Itulah agaknya dua hal (bentuk pengucapan kerakyatan dan masih aktuil mereka) yang menyebabkan ia ditunggu-turlggu oleh gelombang besar publik di Samping faktor kekuatan publikasi. Ia sendiri sudah lama sekali tak main di Teater Arena TIM. Meskipun pentas arena menguntungkan untuk sesuatu bentuk tontonan tertentu, namun Rendra kelihatan tidak tertarik -- sampai sekarang -- kepada jenis kesenian bagus yang hanya ditonton oleh sedikit orang. Padahal sedikit atau banyaknya penonton tidak menentukan mutu. Rendra sendiri jelas meleset ketika menyatakan -- untuk membela pementasannya Suku Naga yang jelek -- bahwa kesenian jaman sekarang haruslah propaganda. Namun bahwa kesenian sama sekali bukan barang elite', tidak lain berarti bahwa kesenian memang bisa mencapai mutu yang tinggi seraya bisa dinikmati oleh sebanyak mungkin orang. Rendra sendiri sudah membuktikan kebenaran hal itu dalam banyak pementasan termasuk yang terbaru, Macheth, 4-6 Juni di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki. Cara pemilihan lakon itu sendiri seperti umumnya lakon-lakon yang asing lain untuk pementasan-pementasannya terakhir -- memperkuat pula trend 'seni bukan barang elite' itu. Sebuah kisah yang berbicara tentang nurani, tentang 'kebijaksanaan tua' seperti kejujuran, kebenaran dan sikap adil, selamanya ajaran moral yang mudah dan kukuh dalam sanubari rakyat di segala tempat dan abad. Ia selalu aktuil dan memungkinkan untuk dipertajam dengan "istilah-istilah sekarang" bila dikehendaki. Memang ada terasa para penonton Rendra yang berjubel tiga malam itu masih kurang puas (mereka mengharap lebih banyak lagi "tikaman-tikaman pedas" sebagai biasanya). Tetapi, sementara terlihat juga kecenderungan Rendra untuk menuruti selera itu -- dan menempuh jalan komunikasi paling singkat dengan sebagian besar publiknya -- keterikatan yang sudah dipilihnya dengan disiplin lakon bisa difaham bila menghalangi dia untuk terlalu jauh meninggalkan alur. Macbeth, seperti umum dikenal, adalah cerita yang mengajarkan hukuman nurani yang diderita seorang penguasa negara (bersama isterinya) yang telah memperoleh dan mempertahankan kekuasaan pemerintahan dengan segala jalan khianat, penindasan dan intrik. Ini adalah lakon yang penuh pembunuhan, ramalan dukun dan "suara-suara alam". Yang menarik pertama kali ialah bagaimana Rendra menjaga ketegangan (suspence) yang berbeda dengan lakon Hamlet (yang lebih bertumpu pada akting, psikologi atau barangkali filosofi) di sini dituangkan dengan kempal dalam struktur yang kuat. Cara yang ditempuh Rendra bukanlah sekedar permainan lampu, ritme atau efek suara untuk sebuah lakon tegang yang dimainkan dengan cara Eropa'. Bahwa jenis teater Rendra makin lama semakin menegas -- dan mapan bisa dilihat dari kenyataan bahwa ia dengan menggunakan cara pengaturan panggung, pengelompokan pemain serta pola gerak yang ketiga-tiganya sangat khas 'Timur', dengan mudah menggarap lakon mana saja menjadi sah miliknya tanpa menghilangkan titik-berat aslinya. Macbeth Kurosawa Terasa bau Jepang yang kuat dalam pementasan ini. Seperti juga film Macbeth Kurosawa yang bagus, pemain Ny. Macbeth (Sitoresmi Rendra) dirias Danarto dengan wajah putih bak boneka plus mata yang sipit, sementara para pemain lain diberi alis miring (termasuk Rendra sendiri sebagai Macbeth), dan ikat kepala bulat kayak para pemain Mandarin. lias Danarto ini, mohon diperhatikan, bukan semata-mata model. Bentuk wajah,mata dan gerak-gerik seperti itu (terutama pada Ny. Macbeth) adalah kunci misteri dan kelicikan. (Ingatkah anda pada wajah putih wanita Jepang tradisionil, yang dengan gerak-geriknya yang lembut beringsut-ingsut, menyimpan "tenaga dalam" yang mampu menggoncangkan dunia?). Sebagai kebalikannya, kostum yang memakai batik-batik (rancangan Aji Damais dan Asmoro Arifin) memudahkan gerak "model Rendra" seperti yang dikenal selama ini -- salah-satu faktor kuat yang menjadikan teater ini bukan teater Jepang. Unsur ketegangan kedua tentunya efek suara. Musik (Sunarti Rendra dan kawan-kawan), yang menaburkan bunyi genderang dengan semacam terompet model jazz yang "ngaco", diiringi dengan suara-suara malam hari seperti bunyi burung kuburan (dengan suara tik-tik-tik" yang panjang-panjang),membangkitkan suasana yang mengendap, diam, bagi keperluan misteri serta klimaks kecil dan sedikit humor sebagai latar belakang. Rencana panggung yang diatur Roedjito sendiri (salahsatu kreasinya yang paling bagus) sangat banyak membantu. Mengingatkan adegan kuda-kuda Kurosawa yang berlari dalam kabut di tengah hutan, kira-kira 20 batang bambu digantungkan Roedjito di bagian belakang agak ke kanan. Ini, selain memberi suasana rumpun, bisa disibakkan sambil berbenturan satu sama lain untuk adegan klimaks atau perang (gaya silat), dan bisa disinari cahaya dengan efek sedikit fantastis misalnya pada adegan dukun -- meskipun sebenarnya belum maksimal dipergunakan oleh sutradara. Bambu-bambu melintang yang bisa digoyangkan dibagian kiri belakang, serta sebuah gundukan tanah kecil untuk sesajen model Jepang di kanan depan, semuanya membantu memelihara suasana yang dimaksud. Kesatuan unsur-unsur inilah yang begitu terasa, yang menyebabkan Macbeth kali ini lebih bagus dari Macbeth Rendra 1971 yang juga memakai silat dalam bentuk sangat berbeda. "Yang aneh-aneh" Kemudian akting. Orang tak usah menanyakan permainan Rendra, salah-satu aktor besar di tanah air -- meskipun peranannya yang gagah kali ini tidak lebih baik dibanding penampilannya sebagai Oedipus buta dalam Colonus -- dengan hampir sama sekali tak bergerak. Tetapi tak bisa dikatakan Rendra main sendirian. Imbangan ada juga didapatkan dari para anak-buah, sebutlah misalnya saja pemain penjaga gudang yang bernama Geger Hang Andika. Sekiranya pemain ini diberi peran banyak, ia tampaknya bisa "mengancam" keunggulan Rendra. Lebih dari itu, beberapa orang atau lainnya -- meskipun tiga empat orang jelas belum mencapai nilai rata-rata. (Jangan pula disebut seorang perempuan Barat, yang dimasukkan Rendra sesuai dengan kecenderungannya yang "aneh-aneh"). Maka sekiranya pertunjukan ini tidak mengendor setelah berjalan lebih separoh (adegan dukun dengan pola dialog yang tidak kena, dan adegan Ny. Macbeth gila yang tidak "berisi"), barangkali kelambanan tontonan uni tidak akan tiba-tiba disadari. Padahal teater Rendra, yang dalam dialog banyak sekali mengambil "tempo Jawa", sudah terhitung sangat kalem dibanding lain-lainnya. Rendra barangkali mengira bahwa sebuah teater yang 'bukan elite', yang bermaksud mengajarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan moral, hendaklah ngomong dengan jelas, populer, dan tidak usah tergesa-gesa. Tapi sementara kesenian jenis ini mencapai nilai yang tinggi, ia jelas tidak bisa ditonton sambil makan-makan atau ngobrol untuk menyelingi tempo yang terlalu kalem tentunya - seperti bisa dilakukan dalam hal tontonan rakyat yang benar-benar santai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus