MACBETH
Karya: William Shakespeare
Terjemahan: Rendra
Sutradara: Rendra
Produksi: Bengkel Teater Yogyakarta
***
KESENIAN sama sekali bukan barang 'klas tinggi' elite. Itulah
yang ingin "diajarkan" Rendra lewat pemunculannya di panggung.
Sesudah periode 'minikata'-nya yang singkat, yang hanya bisa
dinikmati oleh sangat sedikit orang, Rendra muncul sebagai orang
paling depan dalam mengantarkan jenis kerakyatan untuk apa yang
dahulu disebut teater 'modern'. Pertama lewat bentuk-bentuk
pengucapan kesenian rakyat tradisionil, atau yang dibangun
kembali dari sana, lengkap dengan dialek dan dengan sendirinya
juga langgam hidup kerakyatan -- dan di atas dasar itu
'unsur-unsur Timur' dari manapun dibolehkan masuk. Dalam hal ini
ia memang beberapa saat didahului Arifin C. Noer, yang meskipun
terhitung kurang kaya pada 1967-1968 sudah mementaskan
karya-karyanya sendiri dengan ciri-ciri tersebut. Tetapi dalam
usaha menampilkan 'potret rakyat sebenarnya' -- menyuarakan
nasib aktuil mereka -- Rendra jelas tidak bisa dilebihi
seorangpun. Sementara Arifin melancarkan kritik-kritik
kepincangan sosial dalam rangka katakanlah "memenuhi kebutuhan
teater", dan sementara Putu Wijaya menjadikan bahan-bahan
kerakyatan sebagai - kadang-kadang -- sarana untuk menumbuhkan
imaji-imaji murni yang 'klas tinggi (Lho atau Anu, misalnya).
Rendra menjuruskan seluruh bakat dan kepandaiannya untuk
pengabdian seperti dimaksud. Itulah agaknya dua hal (bentuk
pengucapan kerakyatan dan masih aktuil mereka) yang menyebabkan
ia ditunggu-turlggu oleh gelombang besar publik di Samping
faktor kekuatan publikasi. Ia sendiri sudah lama sekali tak main
di Teater Arena TIM. Meskipun pentas arena menguntungkan untuk
sesuatu bentuk tontonan tertentu, namun Rendra kelihatan tidak
tertarik -- sampai sekarang -- kepada jenis kesenian bagus yang
hanya ditonton oleh sedikit orang.
Padahal sedikit atau banyaknya penonton tidak menentukan mutu.
Rendra sendiri jelas meleset ketika menyatakan -- untuk membela
pementasannya Suku Naga yang jelek -- bahwa kesenian jaman
sekarang haruslah propaganda. Namun bahwa kesenian sama sekali
bukan barang elite', tidak lain berarti bahwa kesenian memang
bisa mencapai mutu yang tinggi seraya bisa dinikmati oleh
sebanyak mungkin orang. Rendra sendiri sudah membuktikan
kebenaran hal itu dalam banyak pementasan termasuk yang terbaru,
Macheth, 4-6 Juni di Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki.
Cara pemilihan lakon itu sendiri seperti umumnya lakon-lakon
yang asing lain untuk pementasan-pementasannya terakhir --
memperkuat pula trend 'seni bukan barang elite' itu. Sebuah
kisah yang berbicara tentang nurani, tentang 'kebijaksanaan tua'
seperti kejujuran, kebenaran dan sikap adil, selamanya ajaran
moral yang mudah dan kukuh dalam sanubari rakyat di segala
tempat dan abad. Ia selalu aktuil dan memungkinkan untuk
dipertajam dengan "istilah-istilah sekarang" bila dikehendaki.
Memang ada terasa para penonton Rendra yang berjubel tiga malam
itu masih kurang puas (mereka mengharap lebih banyak lagi
"tikaman-tikaman pedas" sebagai biasanya). Tetapi, sementara
terlihat juga kecenderungan Rendra untuk menuruti selera itu --
dan menempuh jalan komunikasi paling singkat dengan sebagian
besar publiknya -- keterikatan yang sudah dipilihnya dengan
disiplin lakon bisa difaham bila menghalangi dia untuk terlalu
jauh meninggalkan alur.
Macbeth, seperti umum dikenal, adalah cerita yang mengajarkan
hukuman nurani yang diderita seorang penguasa negara (bersama
isterinya) yang telah memperoleh dan mempertahankan kekuasaan
pemerintahan dengan segala jalan khianat, penindasan dan intrik.
Ini adalah lakon yang penuh pembunuhan, ramalan dukun dan
"suara-suara alam". Yang menarik pertama kali ialah bagaimana
Rendra menjaga ketegangan (suspence) yang berbeda dengan lakon
Hamlet (yang lebih bertumpu pada akting, psikologi atau
barangkali filosofi) di sini dituangkan dengan kempal dalam
struktur yang kuat. Cara yang ditempuh Rendra bukanlah sekedar
permainan lampu, ritme atau efek suara untuk sebuah lakon tegang
yang dimainkan dengan cara Eropa'. Bahwa jenis teater Rendra
makin lama semakin menegas -- dan mapan bisa dilihat dari
kenyataan bahwa ia dengan menggunakan cara pengaturan panggung,
pengelompokan pemain serta pola gerak yang ketiga-tiganya sangat
khas 'Timur', dengan mudah menggarap lakon mana saja menjadi sah
miliknya tanpa menghilangkan titik-berat aslinya.
Macbeth Kurosawa
Terasa bau Jepang yang kuat dalam pementasan ini. Seperti juga
film Macbeth Kurosawa yang bagus, pemain Ny. Macbeth (Sitoresmi
Rendra) dirias Danarto dengan wajah putih bak boneka plus mata
yang sipit, sementara para pemain lain diberi alis miring
(termasuk Rendra sendiri sebagai Macbeth), dan ikat kepala bulat
kayak para pemain Mandarin. lias Danarto ini, mohon
diperhatikan, bukan semata-mata model. Bentuk wajah,mata dan
gerak-gerik seperti itu (terutama pada Ny. Macbeth) adalah kunci
misteri dan kelicikan. (Ingatkah anda pada wajah putih wanita
Jepang tradisionil, yang dengan gerak-geriknya yang lembut
beringsut-ingsut, menyimpan "tenaga dalam" yang mampu
menggoncangkan dunia?). Sebagai kebalikannya, kostum yang
memakai batik-batik (rancangan Aji Damais dan Asmoro Arifin)
memudahkan gerak "model Rendra" seperti yang dikenal selama ini
-- salah-satu faktor kuat yang menjadikan teater ini bukan
teater Jepang.
Unsur ketegangan kedua tentunya efek suara. Musik (Sunarti
Rendra dan kawan-kawan), yang menaburkan bunyi genderang dengan
semacam terompet model jazz yang "ngaco", diiringi dengan
suara-suara malam hari seperti bunyi burung kuburan (dengan
suara tik-tik-tik" yang panjang-panjang),membangkitkan suasana
yang mengendap, diam, bagi keperluan misteri serta klimaks kecil
dan sedikit humor sebagai latar belakang. Rencana panggung yang
diatur Roedjito sendiri (salahsatu kreasinya yang paling bagus)
sangat banyak membantu. Mengingatkan adegan kuda-kuda Kurosawa
yang berlari dalam kabut di tengah hutan, kira-kira 20 batang
bambu digantungkan Roedjito di bagian belakang agak ke kanan.
Ini, selain memberi suasana rumpun, bisa disibakkan sambil
berbenturan satu sama lain untuk adegan klimaks atau perang
(gaya silat), dan bisa disinari cahaya dengan efek sedikit
fantastis misalnya pada adegan dukun -- meskipun sebenarnya
belum maksimal dipergunakan oleh sutradara. Bambu-bambu
melintang yang bisa digoyangkan dibagian kiri belakang, serta
sebuah gundukan tanah kecil untuk sesajen model Jepang di kanan
depan, semuanya membantu memelihara suasana yang dimaksud.
Kesatuan unsur-unsur inilah yang begitu terasa, yang menyebabkan
Macbeth kali ini lebih bagus dari Macbeth Rendra 1971 yang juga
memakai silat dalam bentuk sangat berbeda.
"Yang aneh-aneh"
Kemudian akting. Orang tak usah menanyakan permainan Rendra,
salah-satu aktor besar di tanah air -- meskipun peranannya yang
gagah kali ini tidak lebih baik dibanding penampilannya sebagai
Oedipus buta dalam Colonus -- dengan hampir sama sekali tak
bergerak. Tetapi tak bisa dikatakan Rendra main sendirian.
Imbangan ada juga didapatkan dari para anak-buah, sebutlah
misalnya saja pemain penjaga gudang yang bernama Geger Hang
Andika. Sekiranya pemain ini diberi peran banyak, ia tampaknya
bisa "mengancam" keunggulan Rendra. Lebih dari itu, beberapa
orang atau lainnya -- meskipun tiga empat orang jelas belum
mencapai nilai rata-rata. (Jangan pula disebut seorang perempuan
Barat, yang dimasukkan Rendra sesuai dengan kecenderungannya
yang "aneh-aneh").
Maka sekiranya pertunjukan ini tidak mengendor setelah berjalan
lebih separoh (adegan dukun dengan pola dialog yang tidak kena,
dan adegan Ny. Macbeth gila yang tidak "berisi"), barangkali
kelambanan tontonan uni tidak akan tiba-tiba disadari. Padahal
teater Rendra, yang dalam dialog banyak sekali mengambil "tempo
Jawa", sudah terhitung sangat kalem dibanding lain-lainnya.
Rendra barangkali mengira bahwa sebuah teater yang 'bukan
elite', yang bermaksud mengajarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan
moral, hendaklah ngomong dengan jelas, populer, dan tidak usah
tergesa-gesa. Tapi sementara kesenian jenis ini mencapai nilai
yang tinggi, ia jelas tidak bisa ditonton sambil makan-makan
atau ngobrol untuk menyelingi tempo yang terlalu kalem tentunya
- seperti bisa dilakukan dalam hal tontonan rakyat yang
benar-benar santai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini