Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Novel Baswedan membuat kanal YouTube untuk mengedukasi publik tentang isu antikorupsi.
Haris Azhar menyuarakan isu hukum dan hak asasi manusia lewat YouTube.
Anis Hidayah menggunakan Facebook dan Instagram untuk membantu pekerja migran.
LANGKAH Novel Baswedan memerangi korupsi tidak surut meski dia telah dipecat dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain mendirikan lembaga kajian IM57 Institute bersama 56 mantan pegawai KPK yang senasib dengannya, mantan penyidik senior komisi antirasuah itu membuat kanal media sosial YouTube.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Novel mengatakan pemberantasan korupsi memerlukan keterlibatan masyarakat. "Tapi terkadang ada upaya pihak-pihak tertentu melalui opini yang menyesatkan persepsi publik. Dengan kerisauan itu, saya merasa penting untuk punya ruang berbicara di publik," tutur pria 44 tahun ini kepada Hafsah Chairunnisa dari Tempo lewat konferensi video pada Rabu, 24 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui kanal YouTube yang dibuatnya pada Oktober lalu, Novel menyuguhkan konten edukasi seputar isu antikorupsi. Dia berharap masyarakat menjadi lebih kritis dan berperan aktif dalam melawan korupsi setelah menyaksikan video-video buatannya. Dia juga mendorong pemerintah dan lembaga penegak hukum untuk lebih serius membasmi praktik rasuah yang masih merajalela di Tanah Air.
Dibantu seorang rekannya, Novel telah menghasilkan 26 video dan meraup lebih dari 15 ribu subscriber. Dia antara lain membahas bahaya korupsi, kode etik pejabat, hingga pelemahan KPK. Ada pula video berisi pendapatnya tentang penanganan kasus korupsi bantuan sosial. "Saya tentu tidak menyampaikan hal-hal yang bersifat rahasia dan masih menjadi tanggung jawab saya. Tapi lebih ke hal-hal umum tentang edukasi antikorupsi," ucapnya.
Sebagai pendatang baru, Novel mengaku sempat grogi karena tak terbiasa berbicara di media sosial. Dia juga masih belum meraup cuan dari kanal YouTube-nya. Tapi ia mengatakan akan menyempurnakan konten agar lebih menarik dan diminati publik. Dia berencana mengajak kolaborasi tokoh-tokoh berintegritas dan inspiratif untuk menularkan semangat antikorupsi, khususnya kepada generasi muda.
Advokat dan pegiat hak asasi manusia, Haris Azhar, juga telah membuat kanal YouTube pada 2019. Direktur Lokataru ini semula menggunakan YouTube untuk mengunggah ulang cuplikan tayangannya sebagai narasumber di berbagai stasiun televisi dan acara bincang-bincang. Dalam waktu satu setengah tahun, kanal YouTube besutannya meraup 30 ribuan pengikut.
Aktivis HAM Haris Azhar memperagakan pembuatan konten chanel Youtubenya di Makassar, 26 November 2021. TEMPO/Iqbal Lubis
Atas saran teman-temannya, bekas Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ini memutuskan mengisi kanal YouTube-nya secara rutin dengan konten-konten yang terkonsep. "Temanya saya memilih khusus tentang hukum dan HAM karena menurut saya belum ada kanal YouTube yang dedicated untuk HAM," kata Haris, 46 tahun, saat dihubungi Mahardika Satria Hadi dari Tempo, Selasa, 23 November lalu.
Kanal YouTube milik Haris memiliki dua program, yaitu NgeHAMtam dan KNALPOT. NgeHAMtam biasanya memuat diskusi dengan narasumber para ahli, pengamat, ataupun praktisi. Sementara itu, KNALPOT adalah saluran podcast untuk orang-orang terpinggirkan, yakni mereka yang terbelit masalah hukum tapi tidak mendapat keadilan dan bingung mengadu ke mana.
Haris juga berkolaborasi dengan Hakasasi.id, inisiatif nirlaba berbentuk platform riset digital yang mengangkat isu-isu hak asasi manusia di Indonesia. Setiap konten yang muncul di kanal YouTube milik Haris akan menjadi produk tulisan dan media sosial di situs Hakasasi.id. Begitu pun sebaliknya.
Dibantu dua anggota staf untuk menyusun materi dan menyunting konten, Haris sukses membesarkan kanal YouTube-nya. Memuat 155 video dengan lebih dari 214 ribu subscriber, kanal YouTube milik Haris mulai menerima uang dari iklan dalam tiga-empat bulan terakhir. Dia pernah memperoleh belasan juta rupiah. "Itu juga cuma dua kali selama enam bulan terakhir. Sisanya satu digit juta," katanya.
Dengan ongkos produksi mencapai Rp 2 juta untuk sebuah konten video, Haris mengaku kerap tekor dan menutup biaya operasional kanal YouTube dengan merogoh kocek pribadinya.
Berbeda dengan Novel dan Haris yang menggunakan kanal YouTube, Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah masih bertumpu pada media sosial Facebook, Instagram, dan Twitter untuk mengadvokasi isu-isu perempuan dan pekerja migran. Dia pertama kali menggunakan Facebook untuk berkomunikasi dengan pekerja migran Indonesia di berbagai negara sejak 2009. "Sudah gratis, mudah, diakses banyak orang, dan kalau butuh mendesak bisa cepat direspons," ucap Anis saat dihubungi pada Selasa, 23 November lalu.
Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah di Depok, Jawa Barat, 24 November 2021. TEMPO/Nurdiansah
Perempuan 45 tahun ini mengatakan media sosial mempermudah komunikasinya dengan para pekerja migran. Termasuk saat ia menerima aduan yang mampir hampir setiap hari. Anis, misalnya, pernah mengunggah di Facebook kabar tentang seorang pekerja migran Indonesia yang meninggal di trotoar Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia, pada November 2019. "Itu cepat sekali menyebar, sampai Menlu (Menteri Luar Negeri Retno Marsudi) meresponsnya," ucapnya.
Anis menganggap media sosial seperti pisau bermata dua. Sejak pandemi Covid-19 merebak, media sosial membantunya menangani kasus secara daring. Di sisi lain, banyak buruh migran yang tertipu lowongan pekerjaan abal-abal lewat media sosial. Mereka biasanya telanjur membayar tapi ternyata lowongan kerjanya bodong.
Anis lebih sering menggunakan media sosial Facebook dan Instagram untuk kegiatan advokasinya. Dia tidak terlalu aktif di Twitter karena, seperti Haris Azhar, pernah dirisak pendengung. Adapun kanal YouTube baru dibuatnya sejak pagebluk merebak. "Tapi lebih banyak membahas tanaman organik, he-he-he...," tutur Anis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo