Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dusun Butui di pedalaman Pulau Siberut masih mempertahankan uma atau rumah tradisional Mentawai.
Uma berfungsi sebagai pusat kehidupan sosial, budaya, dan religi suku di Mentawai.
Butui menjadi kawasan wisata tradisional di Siberut Selatan.
DALAM keremangan pagi, dari balik kelambu, saya mendengar suara derap langkah kaki yang berjalan di lantai kayu. Suara orang yang hilir-mudik. Suara keciak anak ayam dan anjing yang sesekali menggonggong. Dengan cepat saya sadar sedang berada di mana: di dalam uma Aman Laulau di lembah Butui, jauh di pedalaman Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di perapian di tengah uma, Bai Lepon terlihat sedang membakar kapurut, makanan yang terbuat dari tepung sagu dan kelapa yang dibungkus dengan daun sagu. Lidah api menyala-nyala menyebarkan rasa hangat dan menghalau udara dingin yang sepanjang malam menyelusup dari sela lantai kayu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di depan tungku, sambil menunggui air yang menggelegak di dalam periuk besi, Bai Karo yang duduk di sebelah Bai Lepon tampak bersantai menggulung tembakaunya dengan kertas rokok dalam gulungan kecil, lalu mengisapnya perlahan-lahan. Kedua perempuan yang juga menantu Aman Laulau itu sedang menyiapkan sarapan.
Saya keluar dari kelambu nilon, bergabung dengan Bai Lepon dan Bai Karo, duduk di depan tungku. “Mari, kapurut-nya baru masak, enak,” kata Bai Karo. Saya mengambil satu dan membuka lilitan daun sagu yang masih panas. Penganan itu terasa lembut dan kenyal karena baru selesai dimasak. Kalau sudah dingin, kapurut bisa sekeras kayu.
Uma Aman Laulau di lembah Sarereiket, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai. Dokumentasi Dedi Sakatsila
Teman seperjalanan saya tampak masih tertidur nyenyak di balik kelambu masing-masing, mungkin masih terlalu letih. Tadi malam kelambu dipasang berjajar di ruang tengah uma untuk tidur kami. Deretan kelambu yang merapat ke dinding bagian kanan uma itu menjadi kamar tidur dadakan dan tempat privat kami pada malam.
Sebelumnya, seharian saya dan sembilan teman mengarungi Sungai Rereiket dari Muara Siberut hingga Butui selama lima jam perjalanan naik pompong, perahu kecil dengan mesin tempel. Kami datang dengan tiga pompong yang masing-masing berpenumpang empat atau lima orang, termasuk operatornya.
Perjalanan lancar karena air sungai sedang tinggi. Hanya, sengatan sinar matahari membuat kepala terasa agak sakit. Tak terbayangkan jika naik pompong melewati Sungai Rereiket yang sedang dangkal pada musim kemarau, tentu kami akan lebih sering menyeret pompong dibanding menaikinya hingga ke Butui.
Aman Laulau, pemilik uma, adalah sikerei—ahli pengobatan tradisional dan pemimpin ritual adat Mentawai—yang terkenal. Begitu juga kedua anaknya, Aman Lepon dan Aman Godai. Mereka sering menjadi duta budaya Mentawai, dibawa ke berbagai acara festival budaya oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai. Mereka pernah tampil di Jakarta dan Bali.
Uma mereka di lembah Butui ini juga menjadi tempat tujuan wisatawan dan peneliti dari dalam dan luar negeri. Peneliti asing dan fotografer mancanegara kadang tinggal beberapa bulan dan berkali-kali berkunjung ke umanya untuk mendokumentasikan budaya tradisional Mentawai yang dijalankan penduduk setempat.
Sebenarnya sudah lama saya ingin mengunjungi Aman Laulau di Butui dan melihat umanya yang besar. Tapi lokasi Butui jauh di pedalaman Siberut dan saya harus pergi ke sana bersama teman. Kebetulan pada awal Oktober lalu Dedi Julisman Sakatsila, kenalan saya dari Saibi, Siberut Tengah, mengajak ke sana. Saya pun menyambutnya dengan senang hati.
Aman Laulau (tengah) bersama kedua anaknya yang juga sikerei, Aman Lepon dan Aman Godai di dalam uma. TEMPO/Febrianti
Tahun ini, pemuda Mentawai itu menjadi salah satu penerima program Fasilitasi Bidang Kebudayaan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Ia bersama timnya akan melakukan digitalisasi arsitektur rumah adat Mentawai dan tato tradisional Mentawai di uma milik Aman Laulau.
Dedi bertandang ke Butui bersama Esmat Sakulok, sepupunya yang juga saya kenal baik. Dia pemuda Mentawai yang kembali mempopulerkan tradisi tato di kalangan anak muda Mentawai beberapa tahun lalu. Esmat dan Dedi baru mendirikan Yayasan Kilibet Mentawai di Saibi untuk menyelamatkan budaya Mentawai.
•••
UMA adalah rumah tradisional Mentawai yang belakangan banyak yang hilang di Siberut. Butui salah satu dusun yang memiliki cukup banyak uma. Di dusun yang ditetapkan sebagai kawasan wisata tradisional itu, terdapat tujuh uma yang dipertahankan. Ada pula yang dibangun baru. Boleh dibilang Butui menjadi kawasan terakhir di Siberut yang mempertahankan uma-umanya hingga sekarang.
Uma milik Aman Laulau adalah yang terbesar di Butui. Panjang uma itu, dari depan hingga belakang, 23,5 meter. Lebarnya 8,5 meter. Jaraknya sekitar 1,2 meter dari permukaan tanah, ditopang tonggak-tonggak kayu kokoh yang dibenamkan ke tanah.
Dari halaman depan, uma itu terlihat seperti rumah panggung yang megah. Tingginya hingga puncak atapnya sekitar 6 meter. Dari kejauhan, bangunan uma tampak seperti tenda panjang yang ditutup dengan atap daun sagu hingga seluruh bangunan hampir sampai ke tanah. “Ini uma sabeu, uma besar, saya membangunnya baru empat tahun lalu, setelah uma saya yang lama mulai banyak yang rusak,” ucap Aman Laulau.
Dari beranda uma, mata bisa leluasa memandang lembah Butui yang pagi itu menampakkan keindahannya. Sungai Butui di depan uma mengalir tenang. Airnya jernih kehijauan, berasal dari anak-anak sungai yang mengalir dari bukit. Air Sungai Butui ini akan bertemu dengan air Sungai Rereiket dan mengalir ke Muara Siberut.
Di belakang uma terdapat hamparan pohon sagu yang tumbuh di rawa. Pohon sagu itu menjadi sumber makanan pokok yang tidak pernah habis. Di belakangnya terdapat hutan dan bukit tempat Aman Laulau sekeluarga mengambil semua kebutuhan hidup: pohon untuk membuat rumah dan sampan, tanaman obat, serta rusa, babi hutan, dan monyet buruan.
Aman Laulau bercerita, pembangunan umanya memakan waktu sekitar satu setengah tahun. “Setelah bahannya terkumpul baru dibuat, lalu istirahat lagi, cari biaya lagi, dan setelah ada dibuat lagi hingga selesai, dan biayanya sangat besar,” ujarnya.
Selama pengerjaan uma, tutur Aman Laulau, ia harus mengeluarkan biaya besar untuk mendapatkan 40 babi dan sekitar 50 ayam sebagai bahan makanan bagi kerabat yang membantu membangun umanya. Ia telah menjual enam kuali besi besar untuk mendapatkan tambahan dana.
Banyak pohon besar yang harus ditebang untuk membuat umanya. Pohon itu diambil dari area hutan miliknya di punggung bukit yang jauh di Matotonan, desa tetangga Butui. Batang pohon ditebang dan digergaji di dalam hutan menjadi kayu balok dan papan, lalu dibawa ke sungai dan dihanyutkan di Sungai Rereiket dari Matotonan, lantas digotong lagi ke lokasi pendirian uma yang jauh dari sungai besar.
Para pria dari Suku Mentawai berburu di belakang uma. TEMPO/Febrianti
Tiga anak laki-laki Aman Laulau—Aman Lepon, Aman Godai, dan Aman Karo—bertugas mengambil kayu. Mereka juga menyewa jasa dua tukang potong kayu yang memiliki gergaji mesin atau chainsaw di Matotonan. “Tukang chainsaw kami beri lima batang pohon durian yang paling besar di dalam hutan milik kami. Sekarang pohon durian itu jadi punya mereka, buahnya juga. Mereka juga diberi pohon sagu dan masing-masing satu kuali paling besar, dan satu parang,” katanya.
Adapun untuk membuat atap uma, Aman Laulau mengerahkan semua anggota keluarganya guna mengumpulkan dan merangkai daun sagu. Ia masih ingat jumlah daun sagu yang digunakan sebagai atap umanya sebanyak 5.750 lembar. Jumlah daun yang dibutuhkan sangat banyak karena atap umanya disusun amat rapat agar tidak mudah bocor dan tahan lama.
Pengumpulan daun dan pembuatan atap memakan waktu delapan bulan. Menurut Aman Laulau, pekerjaan itu pun tidak bisa mereka tangani sendiri. Ia mengundang tiga pembuat atap dari Matotonan. “Selama pembuatan tobat itu, babi disembelih setiap hari untuk makan bersama dan dagingnya ada yang dibawa pulang sebagai upah yang ikut mengerjakan. Tiap hari makan di sini seperti ada punen (pesta adat),” katanya.
Setelah uma selesai dibangun, Aman Laulau menggelar punen uma baru, sebuah punen besar. Semua anggota keluarga diundang. Lima babi dan 15 ayam dipotong. Maka, sesudah uma jadi, Aman Laulau pun tak punya ternak babi lagi. Ia harus membeli lima babi lagi untuk dipelihara.
•••
UMA Aman Laulau adalah rumah besar untuk klan Aman Laulau keturunan suku Salakirat dari garis ayah. Suku ini tidak terlalu besar dan merupakan pecahan dari suku Saruruk di Ugai, desa tetangga Butui. Karena ada pertengkaran di uma yang lama dalam suku Saruruk di Ugai, orang tua Aman Laulau membawa keluarganya membangun uma baru di Butui dengan nama suku yang juga baru, yaitu Salakirat. “Salakirat artinya tidak punya pintu, karena bapak saya dulu punya rumah tidak punya pintu dan dinding, kemudian dijadikan nama suku kami di sini,” tuturnya.
Selain menjadi hunian, uma itu adalah tempat sukunya mengadakan punen. Beranda uma, yang disebut gare, dijadikan lokasi persiapan punen, seperti tempat meletakkan peralatan punen dan memotong babi.
Sisi depan uma ditutup dengan dinding dari daun sagu yang dijepit menggunakan kayu sehingga menjadi ornamen yang menarik. Dinding itu terbentang dari atas ke bawah hingga batas 1,5 meter dari lantai sebagai pintu masuk ke uma.
Di bagian dalam, di atas pintu itu berderet puluhan tengkorak babi yang menghadap ke dalam uma, menandakan babi peliharaan. Tengkorak babi itu adalah sisa punen yang sebelumnya diadakan di uma tersebut.
Ruangan pertama di dalam uma dinamakan patitikat. Ruangan itu tidak berdinding sehingga orang lebih leluasa memandang ke luar. Udara segar pun mudah masuk ke uma. Di sisi kanan dan kiri dipasang bangku-bangku panjang yang menempel ke sisi uma untuk tempat duduk. Di situlah tempat penghuni uma atau tamu berkumpul dan berbincang. Sesuai dengan namanya, patitikat, ruang itu pun menjadi tempat membuat titi atau tato, juga tempat sikerei baru belajar menyanyi.
Di antara ruang depan dan tengah terdapat tiga pintu lebar yang dinamakan sau-sau, terbuat dari kulit kayu. Pintu itu dilipat ke atas. Jika diturunkan, pintu bisa menjadi dinding yang membatasi ruang tengah dan ruang dalam. Tapi sepertinya pintu itu tidak pernah diturunkan. “Kalau uma ini disekat atau dibuat kamar seperti rumah orang di kota, tidak ada lagi tempat untuk mengadakan punen, tidak muat untuk mengundang 10 orang, 20 orang, atau 100 orang,” kata Aman Laulau. Area ruang depan hingga ruang tengah memang luas dan tanpa kamar.
Hiasan tengkorak rusa, monyet, dan babi, yang digantung di dalam uma. TEMPO/Febrianti
Di tengah uma terdapat tungku perapian. Perapian itu menjadi sumber penerangan saat punen digelar pada malam. Pemanasan gendang gajeuma yang terbuat dari kulit ular dan kulit biawak agar bunyinya lebih nyaring juga dilakukan di sana.
Perapian itu pun menjadi tempat ritual pengangkatan sikerei baru. Selain itu, perapian dijadikan tempat memasak buruan atau merebus daging babi saat punen digelar.
Di dekat tungku perapian terdapat lantai khusus tempat sikerei menari. Lantai tari itu disusun dari papan lebar. Saat sikerei menari di sana, suara entakan kakinya akan terdengar keras seirama dengan tabuhan gendang gajeuma. Di ruang tengah itulah tempat punen diadakan.
Yang menarik, di atasnya ada pajangan kenang-kenangan hasil perburuan yang terpasang pada balok melintang. Di barisan teratas berjejer 18 tengkorak rusa dengan tanduknya. Di bawahnya tergantung puluhan tengkorak monyet endemis Mentawai, seperti joja, bokoi, dan simakobu. Juga belasan tengkorak babi hutan.
Tengkorak itu dihiasi dengan ikatan daun sagu yang kering dan burung kayu yang menyembul di tengah puluhan tengkorak. Semua tengkorak itu menghadap depan, arah hutan, dan lembah di luar uma. “Itu untuk memanggil teman-temannya agar bergabung bersama mereka di dalam uma ini, jadi binatang buruan itu mudah ditangkap,” tutur Aman Laulau, menjelaskan makna susunan tengkorak tersebut.
Ruangan berikutnya di balik dinding bagian kanan uma adalah tempat yang sakral. Ada tabung bambu berisi bakat katsaila, sekelompok tumbuhan berdaya magis yang sudah mengering dan diambil saat punen. Awal acara ritual yang dipimpin Aman Laulau yang menjadi pemimpin uma atau sikebukat uma diadakan di sana. Di dekat bakat katsaila juga ada beberapa gong. Sebagian gong tua terlihat menghitam dan beberapa gong kuningan baru masih berkilat.
Di antara gong yang digantung itu terdapat sebuah piring keramik kuno yang besar yang ditaruh di dalam wadah dari anyaman rotan, yang juga digantung di dekat gong. “Piring itu sudah lama, harta warisan orang tua saya dulu, pemberian Belanda di zaman kolonial,” ucap Aman Laulau.
Aman Godai sedang memanaskan gendang gajeuma
Di bagian atas ruangan bakat katsaila terdapat para-para untuk menaruh barang-barang uma. Juga beberapa peti kayu untuk menyimpan parang setiap penghuni uma. Setiap penghuni hanya boleh memegang dan mengeluarkan parangnya dan tidak boleh menyentuh parang milik anggota keluarga lain, termasuk parang istri dan anak atau sebaliknya.
Di ruangan itu juga terbentang sejumlah kelambu untuk tidur para perempuan. Aman Laulau sebagai sikebukat uma punya kamar sendiri di bagian kiri dalam ruangan itu. Hanya dia yang punya kamar permanen.
Bagian paling belakang adalah dapur dengan tungku perapian tempat memasak sagu dan keladi. Di dapur, Bai Laulau sedang mengayak tepung sagu, dibantu Bai Godai yang memasukkan tepung sagu yang sudah diayak ke bambu. Mereka sedang menyiapkan obuk, sagu yang dibakar di dalam bambu, untuk makan siang.
•••
BAGI saya, sungguh menyenangkan punya kesempatan tinggal selama lima hari di uma milik Aman Laulau. Saya bisa menikmati kampung tradisional Mentawai yang asri dengan Sungai Butui yang mengalir jernih. Suasana uma-uma pun sangat mengesankan. Uma di sana benar-benar menjadi rumah tradisional untuk menjaga budaya Mentawai—yang belakangan mulai luntur di Siberut.
Antropolog Mentawai, Tarida Hernawati, mengatakan uma adalah pusat kehidupan sosial, budaya, dan religi suatu klan atau suku. Semua ritual harus dilakukan di uma karena secara fisik umalah tempat menyimpan semua benda adat dan keperluan upacara atau ritual.
“Uma juga dapat menampung semua anggota uma yang akan berkumpul. Benda-benda adat dan arsitektur di uma menyimpan energi spiritual yang menjadi media roh-roh berinteraksi dengan manusia,” kata Tarida.
Suasana di dalam uma di Kampung Butui, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. TEMPO/Febrianti
Uma, Tarida menambahkan, harus dibangun secara mandiri oleh suku di luar permukiman. Biasanya uma didirikan di sekitar kawasan ladang atau peternakan milik suatu suku.
Menurut Tarida, pergeseran fungsi uma belakangan ini bermula setelah pemerintah gencar menjalankan program Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing dengan konsep perumahan sosial. Perlahan jumlah bangunan uma menurun. Fungsi sosialnya sebagai tempat berkumpul pun mulai berkurang karena permukiman tidak lagi berbasis suku.
Beberapa tahun belakangan, tutur Tarida, pemerintah mengadakan program revitalisasi uma dengan membangun beberapa uma di Siberut. “Namun bangunan itu hanya mampu mengembalikan uma secara fisik sebagai semacam ‘museum’, tidak mampu mengembalikan fungsi uma sebagai pusat kehidupan sosial, budaya, dan religi orang Mentawai,” ujar penulis buku Uma: Fenomena Keterkaitan Manusia dengan Alam tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo