Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAM itu, 10 April 2010, untuk pertama kalinya kami pentas di Sampit. Kota kecil ini mesti kami tempuh empat jam perjalanan darat dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Penat yang menumpuk seketika sirna ketika kami bertemu dengan ibu-ibu dan penggemar setia Koes Plus di tempat yang tak pernah terpikir akan kami sambangi ini. Bersama tiga anak muda, Danang (gitar melodi dan keyboard), Soni (bas), dan Seno (drum), saya unjuk gigi di panggung yang sederhana.
Tak terasa, selama dua jam tanpa henti dua puluh lima lagu sudah kami dendangkan. Semangat saya untuk terus berkarya dan berkiprah di dunia musik tak berkurang meski tampil dengan Koes Plus formasi baru. Saya memang telah bertekad terus bermusik hingga tetes darah penghabisan. Seperti kata (almarhum) Mas Tonny yang selalu berujar, ”Hidup dan matiku untuk musik.”
Tekad itu memberikan roh bagi jiwa Koes Plus saat ini. Meski satu per satu personel Koes Plus pergi, saya memilih terus melanjutkan grup band ini hingga akhir hayat. Selepas Yok dan Murry mengundurkan diri, silih berganti orang menemani saya tampil di atas panggung.
Yok sekarang lebih memilih tinggal dengan para petani binaannya di Saketi, sebuah kecamatan di Pandeglang, Banten. Dia memang tak bisa jauh dari alam. Hanya kadang-kadang dia masih suka menengok kediamannya di Jalan Haji Nawi, Jakarta Selatan.
Adapun Murry, sejak terserang penyakit hernia dan keluar-masuk rumah sakit, memilih beristirahat. Sekarang dia sudah sehat dan sibuk mempromosikan album pop Jawa-reggae-nya. Sesekali dia manggung sebagai bintang tamu bersama band pelestari lagu-lagu Koes Plus. Mas Nomo tinggal di Magelang, Jawa Tengah, dan masih berbisnis.
Sudah enam tahun Koes Plus tampil dengan formasi baru. Anak-anak muda pendamping saya ini lahir bukan dari era emas Koes Plus. Danang, personel paling muda, lahir pada 1980. Meski tak merasakan masa jaya Koes Plus, penampilan Danang tak kalah dibanding Mas Tonny.
Saya pertama kali mengenal Da-nang saat Koes Plus pentas di Jawa Tengah pada 2002. Andolin, yang biasa memainkan gitar melodi dan keyboard, mendadak sakit. Saya langsung teringat kepada Danang. Sebelumnya ada fan bernama Pak Sudi membawa rekaman permainan Danang. Saya minta Danang dikontak dan ikut main di panggung. Tanpa latihan dan persiapan, Danang mengiringi saya. Ternyata permainannya enak juga.
Lain lagi cerita tentang Soni dan Seno. Saya bertemu dengan mereka saat akan rekaman lagu medley Nusantara pada 2004. Tapi ternyata Murry, Jack, dan Andolin—personel Koes Plus saat itu—enggak datang. Ada kabar selentingan bahwa mereka memboikot saya. Tapi saya enggak mau mikir masalah boikot-boikot itu. Di studio rekaman, lha kok ndilalah ada Soni, Seno, dan Acil. Akhirnya saya rekaman bersama mereka. Selepas rekaman, posisi Acil digantikan Danang.
Aura baru terpancar dari formasi saat ini. Meski saya dikelilingi anak-anak muda dari generasi berbeda, saya tetap menemukan jiwa Koes Plus pada mereka. Beberapa orang mengatakan mereka itu jelmaan dari Koes Plus sesungguhnya.
Lihat saja Danang dengan pembawaannya yang mirip sekali dengan Mas Tonny, baik dari sosok maupun penampilannya di panggung. Soni bak duplikat Yok. Saat menyaksikan wajah dan gayanya di panggung, banyak orang mengira Soni itu anak Yok. Seno pun tak kalah gesit dan energetik saat menggebuk drum. Sama seperti Murry semasa muda.
Pengamat musik Denny Sakrie yang sedang menulis tentang Koes Plus mengatakan karisma kelompok ini memang tak lekang oleh zaman. Meski berkali-kali ganti pemain, Koes Plus, yang diawali oleh Koes Bersaudara, tetap menjadi fenomena tersendiri di Tanah Air. Sebutan The Beatles-nya Indonesia sangat tepat untuk band ini.
Sosok Tonny yang menjadi jiwa Koes Plus memang tak tergantikan. Namun warisan unsur melodi dan lirik sederhana yang ditinggalkannya membuat Koes Plus masih diterima masyarakat hingga saat ini.
Kehadiran tiga anak muda yang menemani Yon sekarang memberikan nilai lain pada Koes Plus. Meski lahir jauh dari era kejayaan Koes Plus, mereka bisa menjiwai seluruh lagu Koes Plus. Sebuah perpaduan yang apik dari band pelestari dan personel aslinya. ”Yang patut diacungi jempol, kualitas dan penampilan mereka bisa mencerminkan Koes Plus asli,” ujar Denny.
Perjalanan Koes Plus tak ubahnya roda yang berputar. Semua pengalaman manis dan pahit sudah kami kecap. Boleh dibilang beraksi dari panggung hajatan sampai pergelaran akbar pernah kami rasakan.
Semua itu berawal dari semangat bermusik Mas Tonny. Setiap hari dia genjrengan lagu-lagu Everly Brothers, Neil Sedaka, Paul Anka, Skeeter Davis, Ricky Nelson, Pat Boone, dan Cliff Richard. Lagu-lagu mereka menjadi santapan kami setiap hari di rumah, dari bangun tidur hingga menjelang tidur lagi.
Musik tambahan datang dari stasiun RRI, ABC, dan BBC di radio ”roti”—radio kecil merek Philip milik kami yang selalu memperdengarkan lagu-lagu Barat. Lagu semacam Dear John, Changing Partners, The Doggie in the Window, Seven Lonely Days, dan On Moonlight Bay yang dinyanyikan Doris Day dan Patty Page membuat saya, Mas John, dan Yok tertarik ikut genjrengan. Terbayang riuhnya kamar berukuran 3 x 4 meter di Jalan Mendawai III Nomor 14 Blok C, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, itu. Di sinilah karier musik kami mulai tumbuh. Jiwa seni Mas Tonny mampu membius kami.
Setiap hari lagu-lagu Barat yang tengah populer selalu terdengar di rumah dengan dua kamar tidur tersebut. Lagu-lagu dari Kalin Twins dan Everly Brothers menggeser lagu pop Indonesia masa itu. Mas Tonny memang terkenal dengan selera musik yang sangat tinggi. Buat Mas Tonny, musik pop Indonesia kampungan dan kurang bagus. Maka Mas Tonny lebih senang meniru alunan musik Barat.
Kecintaan Mas Tonny pada musik Barat terbawa pada grup band yang kami bentuk pada 1958: Koes Bross dari kata Koes Brothers. Band ini terdiri atas Mas John pada bas betot, Mas Tonny pada gitar melodi dan keyboard, saya di vokal dan gitar rhythm, serta Yok pada vokal dan bas. Dengan moto ”Missa Solemnis” yang, menurut Mas Tonny, artinya ”dari hati kiranya mendapat tempat di hati pula”, kami pun mulai memenuhi panggilan hati kami. Serius bermusik.
Band kami tampil di keriaan atau pesta apa saja, mulai pesta pernikahan, ulang tahun, hingga sunatan. Honor menjadi urusan nomor dua. Yang penting kami bisa tampil di depan publik dan juga makan enak. Musik bagi kami bagaikan candu saat itu. Sepanjang hari dipenuhi dengan genjrengan. Ada cerita konyol: saat ngamen di pesta, kami sering menyembunyikan aneka kue ke dalam bas betot. Kami nikmati kue-kue itu beramai-ramai setiba di rumah.
Ada pengalaman lain yang tak kalah unik. Suatu hari kami diundang bermain musik di rumah seorang paranormal. Setelah main, kami dipanggil masuk ke kamar si paranormal. Kami pikir hendak dikasih bayaran, enggak tahunya paranormal itu cuma berkata, ”Apa cita-cita kalian? Nanti aku doakan. Insya Allah akan terkabul.” Eh, lha kok Mas Tonny sembari tertawa nyeletuk, ”Kami ingin terkenal di seluruh Indonesia!” Kami pun cekikikan saat berada di luar kamar. Entah kebetulan entah berkat doa paranormal itu, Koes Plus akhirnya dikenal di seantero Nusantara.
Honor yang hanya cukup untuk mengganti ongkos transpor tak menyurutkan semangat Mas Tonny untuk terus berkarya. Kemampuan kami menyanyikan lagu duet justru semakin terasah setelah berkeliling ngamen. Saya dan Yok juga tak bosan terus berlatih. Mas Tonny terobsesi oleh iringan dan petikan gitar melodi dari lagu duet. Bahkan Mas Tonny mulai mengarang lagu duet sendiri dalam bahasa Indonesia.
Adapun Mas John sebagai sponsor utama membantu meminjam tape recorder tua merek Grundig dengan pita sebesar piring dari temannya untuk merekam lagu ciptaan Mas Tonny. Karena kualitas alat perekam tua, kami tak boleh salah menyanyi. Saya dan Yok digembleng mati-matian latihan vokal dan memetik gitar agar tak salah saat rekaman. Akhirnya lagu berjudul Terpesona dan Wenny dibawa ke perusahaan rekaman Irama, yang terletak di daerah Cikini, Jakarta Pusat, sekitar 1961.
Perasaan kami diliputi kebanggaan. Sudah terbayang kami akan rekaman di piringan hitam seperti album milik Everly Brothers. Namun impian itu tak terwujud karena lagu tersebut batal direkam. Toh, kami tak patah semangat. Kami terus giat berlatih dan Mas Tonny semakin giat menciptakan lagu-lagu duet. Saya dan Yok digembleng habis-habisan. Bahkan Yok pernah menangis karena harus mengulang lagu yang dinyanyikan lantaran dinilai Mas Tonny masih belum sempurna.
Perjuangan kami akhirnya mulai menuai hasil. Kami berhasil masuk dapur rekaman. Lagu-lagu pertama yang direkam adalah Pagi yang Indah, Bis Sekolah, Senja, Telaga Sunyi, Kuduslah Cintamu, dan beberapa lagu lain. Saat itu tegang sekali. Saya dan Yok nyanyi dalam satu mikrofon. Lagi-lagi karena alat rekaman yang masih sederhana, kami tak boleh sekali pun melakukan kesalahan, baik vokal maupun musik.
Baru beberapa saat nyanyi, tiba-tiba ada teriakan keras, ”Ulang!” Enggak tahu siapa yang salah saat itu. Kami pun mengulang lagi dari awal. Rekaman baru sempurna setelah kami mengulang hingga keempat kalinya. Plong rasanya. Rekaman berikutnya tak luput dari kendala, bukan karena suara kami, melainkan adanya suara kereta api yang lewat di belakang studio rekaman.
Lelah proses rekaman terbayar saat kami bisa mendengarkan suara kami melalui piringan hitam, meski baru dua lagu. Rekaman pun terus berlanjut hingga 12 lagu terekam dalam piringan long play. Beberapa lagu itu di antaranya Dara Manisku, Jangan Bersedih, Dewi Rindu, Bis Sekolah, Pagi yang Indah, Telaga Sunyi, Angin Laut, dan Senja.
Gambar saya dan Yok bertolak belakang sambil memegang gitar menghiasi sampul piringan hitam. Di sampul belakang tertulis nama Mas John pada gitar bas dan Mas Tonny pada gitar melodi serta Mas Nomo pada drum. Seiring dengan munculnya rekaman pada 1963, kami pun sepakat mengganti nama Koes Bross menjadi Koes Bersaudara. Biar tidak terlalu kebarat-baratan, begitu kata Mas Tonny saat itu.
Pertama kali mendengar lagu sendiri melalui RRI, terasa bangga dan senang sekali. Meski tak sebening suara Everly Brothers, rupanya lagu-lagu kami diterima masyarakat seluruh Nusantara. Panggilan show mulai datang. Kami pertama kali show di gedung GKBI Yogyakarta. Saat awal show, hanya saya dan Yok yang tampil karena terbatasnya alat musik yang kami miliki. Kami bernyanyi diiringi band putri arahan A. Riyanto.
Di masa itu hasil penjualan piringan hitam tak seberapa berarti karena masih minimnya masyarakat yang memiliki alat pemutar piringan hitam. Penghasilan kami hanya dari show. Atas pertimbangan kepraktisan, kami pun mengganti bas betot dengan bas listrik agar gerakan kami saat di panggung bisa lebih lincah dan dinamis. Koes Bersaudara semakin solid dengan empat personel: Mas Tonny, Mas Nomo, saya, dan Yok. Berempat kami show dari daerah ke daerah mengumpulkan uang untuk melengkapi alat musik kami.
Pertengahan 1965. Tak ada hujan tanpa angin, muncul petir di siang bolong: kami berempat diciduk oleh aparat keamanan dan ditahan di Kejaksaan Tinggi di Jalan Gadjah Mada, Jakarta. Kami diinterogasi di sana selama tiga hari hingga akhirnya dipindahkan ke penjara Glodok.
Dari seorang aparat keamanan kami tahu, rupanya kami dituduh tak mengindahkan Instruksi Presiden Soekarno. Saat itu pemerintah memberlakukan Panpres Nomor 11 Tahun 1965 yang melarang musik ngak-ngik-ngok yang berasal dari Inggris dan Amerika Serikat.
Saat itu kami memang tengah gandrung dengan musik The Beatles dan Rolling Stones. Alhasil, kami sering menyelipkan lagu mereka saat show. Kami lupa dengan suasana politik negeri yang sedang gencar meneriakkan antiimperialisme, kolonialisme, neokolonialisme, dan kapitalisme. Indonesia tengah menggelorakan semangat anti-Barat dan membanggakan ”kepribadian Indonesia” dengan jargon dari Bung Karno ”ini dadaku, mana dadamu”.
Sebelum ditangkap, kami sempat diundang tampil di rumah seorang kolonel yang dihadiri oleh salah seorang diplomat dari Kedutaan Amerika Serikat. Rupanya itulah yang memicu penangkapan kami. Di sana kami memainkan lagu The Beatles yang dinilai kebarat-baratan. Maka lemparan batu dari kelompok Pemuda Rakyat tak terelakkan menimpa kediaman sang kolonel. Mas Tonny bahkan sempat ke luar rumah dan minta maaf serta berjanji tidak akan memainkan lagu The Beatles lagi. Saat itu kami memang selamat dari amukan massa, tapi kami tak bisa mengelak dari jeruji besi.
”Hidup Koes Bersaudara!” teriakan itu menyambut kami saat menginjak sebuah sel dengan pintu rangkap. Rupanya para penghuni sel itu mengenal kami dan pernah mendengar lagu kami. Perasaan takut sempat menghantui kami saat itu, terlebih kami disatukan dengan para koruptor, pembunuh, dan dalang pembunuhan.
Mas John yang selamat dari penangkapan membesuk kami. Dia berujar kepada Mas Tonny, ”Jangan khawatir, Ton, ini hanya blessing in disguise.” Entah apa maksud Mas John saat itu, yang pasti selama tiga bulan kami berempat merasakan tidur berimpitan beralaskan tikar dengan tiga tahanan lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo