Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Setelah Upacara Sakral Sirna

Beberapa kali menghadapi masa sulit, Koes Plus tetap bertahan. Hidup dan mati untuk musik.

10 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ERA 1980 merupakan masa-masa berat bagi Koes Plus. Selera musik masyarakat mulai bergeser pada lagu berirama slow, dengan lirik cengeng yang mendayu-dayu. Suara mendayu dari penyanyi solo perempuan maupun laki-laki sukses mengambil hati masyarakat. Sebut saja Nia Daniati, Iis Sugianto, Betharia Sonata, Chrisye, Ebiet G. Ade, hingga Obbie Mesakh.

Masyarakat tampaknya mulai jenuh dengan lagu berirama cepat. Koes Plus pun ikut tersungkur meski tak sampai jatuh ke tanah. Kami mulai jarang tampil bersama karena sepinya order pertunjukan. Karena sepi order, sesekali saya manggung dan rekaman solo.

Perusahaan rekaman yang biasa mengisi pundi-pundi kami, Remaco, gulung tikar. Ambisi menjadi raja bisnis rekaman di Indonesia membuat Remaco lupa daratan. Strategi menggaet artis-artis Tanah Air, mengorbitkannya, dan menjual obral kaset dengan harga murah justru menjadi bumerang bagi perusahaan itu sendiri.

Setelah Remaco bangkrut, artisnya tercerai-berai. Koes Plus harus rela dipindah tangan ke Purnama Record. Kualitas suara rekaman perusahaan ini masih jauh di bawah Remaco. Tapi, apa mau dikata, demi mengisi periuk nasi keluarga, kami pun menerimanya. Bahkan, saking susahnya hidup, kami harus rela naik bus lagi. Sebuah kebiasaan yang lama kami tinggalkan semasa berada di puncak karier.

Masa-masa sulit yang kami alami ternyata tak berhenti pada aktivitas bermusik. Rumah tangga kami pun mengalami pasang-surut. Mulai kegagalan rumah tangga Mas Tonny yang terpaksa berpisah dengan istrinya. Prahara rumah tangga juga menghampiri rumah tangga saya. Semuanya beruntun menerpa.

Cobaan demi cobaan membuat saya kembali teringat akan masa-masa awal kami menginjakkan kaki ke Jakarta pada 1952. Teringat akan rumah kecil di Jalan Mendawai III/14, Blok C, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Istana kecil itu melahirkan band Koes Bersaudara hingga Koes Plus. Juga masa kecil kami yang diliputi kesusahan imbas dari penjajahan Jepang dan Belanda. Kemiskinan dan kesengsaraan ibaratnya menjadi makanan sehari-hari kami.

Kendati dalam kondisi serba susah, Bapak dan Ibu tak pernah melupakan pendidikan kami. Semua anak wajib mengenyam bangku pendidikan, meski dengan fasilitas seadanya. Saat itu Mas John membantu menopang ekonomi keluarga. Mas John mendapat penghasilan dari upah praktek saat masih di bangku STM di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat.

Mas John jugalah yang pertama membelikan gitar akustik untuk Mas Tonny. Gara-gara kami keranjingan main gitar, Mas John dimarahi Bapak karena dinilai merusak adik-adiknya. ”Mau jadi apa kalian, kencrengan saja? Nanti hidupnya bisa susah, bisa jadi kere!” kata Bapak sewaktu melihat kami asyik bermain musik. Namun, karena tekad bulat kami dan dukungan yang besar dari Mas John, terbentuklah Koes Bersaudara, hingga menjadi Koes Plus. Maka kami sering menyebut Mas John sebagai sponsor utama Koes Bersaudara dan Koes Plus.

Saya teringat pada saat liburan, Bapak pernah mengajak kami tamasya ke Kebun Raya Bogor dengan mobil sewaan. Sepanjang perjalanan Bapak terus bertutur mengenai kebesaran Tuhan, sang pencipta langit dan bumi. Bapak berusaha menanamkan ajaran moral dan agama kepada anak-anaknya. ”Coba lihat siapa yang telah menciptakan pohon-pohon ini,” Bapak bertanya sembari menunjuk ke pohon-pohon rindang yang ada di kebun raya itu.

Sadar atau tidak, ajaran Bapak di Kebun Raya Bogor itu telah menumbuhkan kecintaan kami terhadap Tanah Air. Dan semuanya itu telah kami tuangkan dalam karya-karya kami dalam band Koes Bersaudara hingga Koes Plus.

l l l

Jumat siang, 27 Maret 1987. Kabar menggemparkan itu datang dari Rumah Sakit Setia Mitra, Jakarta Selatan. Setelah kurang-lebih dua minggu Mas Tonny dirawat karena kanker usus, akhirnya Yang Kuasa pun memanggilnya. Kepergian Mas Tonny, yang menjadi nyawa Koes Plus, membuat kami semua serasa berada dalam era kegelapan.

Mas Tonny pergi tatkala Koes Plus dalam kondisi mulai ringkih. Tak ada show, tak ada lagu-lagu yang meledak di pasar. Semua terasa sunyi ketika kami harus rela melepas kepergian Mas Tonny selama-lamanya. Hiruk-pikuk yang pernah kami kecap saat berada di puncak popularitas ternyata tak mengiringi Mas Tonny menuju peristirahatan terakhirnya.

Predikat band legendaris pun tak mampu menghadirkan ribuan orang yang mengaku sebagai pemuja Koes Plus. Tak ada pejabat yang memberikan pidato perpisahan. Mas Tonny pergi dalam kesunyian. Tanpa popularitas, tanpa kemewahan. Semuanya sederhana, sesederhana lirik dan melodi lagu-lagunya.

Cobaan tak berhenti sepeninggal Mas Tonny. Koes Plus yang tersisa: saya, Yok, dan Murry, mulai labil. Kami sempat vakum sementara, mengisi hari dengan kesibukan masing-masing. Sampai akhirnya pada 1993, Ais Suhana kembali merekrut Koes Plus untuk show bersama Abadi Soesman. Lumayanlah, bisa menambal kebutuhan kami sehari-hari.

Selama tak manggung, Koes Plus hanya melakukan rekaman lagu-lagu nostalgia, lagu pop Indonesia ataupun Melayu yang dikelola oleh Tommy Darmo. Untuk menggantikan posisi Mas Tonny saat pentas, kami menggaet Andolin memainkan gitar melodi dan keyboard.

Bersama Deddy Dores, saya dan Yok juga sempat membuat rekaman sebuah lagu yang berjudul Rindu Kamu. Kami akui, sejak ditinggalkan Mas Tonny, jiwa Koes Plus memudar. Semangat bermusik kami surut. Kenikmatan dan keasyikan penggarapan lagu era 1970, saat Koes Bersaudara dan Koes Plus berjaya, tak kami rasakan lagi. Proses yang kami juluki sebagai upacara sakral itu sirna.

Kami juga harus mencari pemain pengganti untuk mengisi posisi Mas Tonny. Ironisnya, saat kami menemukan Andolin sebagai pengganti Mas Tonny, luka yang tengah diobati itu harus kembali koyak saat Yok menyatakan mundur dari Koes Plus. Pemain pengganti pun harus disiapkan. Jack Khasby akhirnya mengisi posisi Yok di pentas sejak 1996.

Yok kini memilih menghabiskan sisa umurnya di Saketi, Pandeglang, Banten, dengan para petani binaannya. Meski tak lagi bergabung dengan Koes Plus, jiwa seni Yok ternyata masih mengakar. Sesekali dia masih tampil dengan band pelestari Koes Plus. Dia juga mengukir, melukis, dan menulis beberapa lagu, di antaranya Nusantara Bersatu dan Jakarta Bangkit. Saya dan Yok bernyanyi duet dengan iringan musik yang ditata Ian Antono.

Ujian ternyata belum usai. Selepas Yok mengundurkan diri, saya masih harus dihadapkan dengan kondisi Murry yang sakit-sakitan. Terakhir Murry divonis menderita hernia sehingga harus keluar-masuk rumah sakit, meski sekarang dia sudah kembali sehat. Alhasil, saya pun harus manggung sendirian tanpa personel Koes Plus yang asli.

Meski berat, saya tak mau patah semangat. Darah seni yang telanjur mengalir dalam tubuh tak bisa dihentikan. Saya terus bertekad melanjutkan karya Koes Plus.

Setiap ada niat baik, Tuhan pasti membukakan jalan. Hingga akhirnya saya bertemu dengan tiga anak muda. Mereka adalah Danang, Soni, dan Seno. Saya kepincut pada kepiawaian mereka dalam bermusik. Ditambah dengan penampilan mereka yang mencerminkan tiga personel Koes Plus: Mas Tonny, Yok, dan Murry.

Pengalaman ditinggalkan Mas Tonny, Yok, dan Murry memberikan pelajaran dalam hidup saya. Nama besar yang kami sandang selama ini tak selamanya menjamin kehidupan kami. Ratusan bahkan ribuan lagu yang kami ciptakan semasa berjaya ternyata tak menjamin kehidupan kami terus berada di tangga atas.

Tak ada royalti dari hasil penjualan kaset lagu-lagu lama kami. Entah karena kebodohan atau saat itu kami tak ambil pusing tentang materi, kami meneken kontrak flat. Artinya, kami hanya mendapat sekali honor untuk setiap lagu dan album yang kami ciptakan.

Banyak orang mengatakan nasib Koes Plus saat ini sangat tragis. Di usia senja, kami masih harus mengamen dari panggung ke panggung, berkeliling Nusantara untuk menghidupi keluarga. Namun kecintaan akan musik, ketulusan, dan kesederhanaan dalam berkarya membuat kami terus bertahan hingga saat ini. Mas Tonny selalu berkata bahwa hidup dan mati untuk musik. Demikian juga kami, meski formasi Koes Plus telah berganti, kami terus berkarya karena musik bagi kami adalah jantung kehidupan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus