A khir pekan selalu menjadi hari istimewa bagi Marini, 54 tahun. Bila memang tidak punya kegiatan, di hari itu dipastikan dia akan berkubang di garasi rumahnya di bilangan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Ruangan seluas 6x6 meter itu telah disulap menjadi sebuah kelas yang dipenuhi anak-anak dari keluarga tak mampu yang tak lain adalah murid taman kanak-kanak yang dikelolanya, TK Mata Hati.
Taman kanak-kanak yang dikelolanya itu memang jauh dari sempurna. Di ruang itu cuma ada satu bangku panjang yang bergantian dipakai murid-muridnya. Malah, dulunya mereka cuma duduk di atas sehelai tikar. Setiap bulannya, para murid dikenai iuran sebesar Rp 10 ribu. Menurut Marini, uang itu nantinya akan dipakai oleh anak-anak itu untuk berdarmawisata. ”Para gurunya enggak dibayar, kecuali diberi uang transpor setiap datang mengajar,” ujar Marini.
Toh, biarpun sederhana, semua itu tidak diperoleh dengan mudah. Sejak dibangun dua tahun lalu bersama mahasiswi IKIP Jakarta, Marini harus menyisihkan uang belanja untuk buku-buku dan bangku sekolah. Kini, kebahagiaannya kian komplet. Juli lalu, ia mengelola sendiri sekolahnya tanpa bantuan mahasiswi IKIP, meski Depdiknas belum mengeluarkan izin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini