ASALKAN kita ganti semua huruf o dengan a," kata Wartawan Rosihan Anwar, "semua orang akan paham puisi berbahasa Padang ini." Itu diselorohkannya di Balai Budaya, Jakarta, Senin malam pekan ini. Acaranya, penutupan pameran lukisan Alam Minangkabau - memang para pelukisnya dari Sumatera Barat. Dan Rosihan, 64, memang lalu benar-benar membacakan puisi karyanya dalam bahasa Minang - dengan suara datar nyaris tanpa ekspresi. Tapi salah bila dikira ini acara khusus untuk para urang awak. Sebab, lalu tampil H.B. Jassin Gorontalo asli, dengan senyumnya yang khas. Pak Jasin, demikian kira-kira sebagian orang Indonesia memanggil dokumentator besar sastra Indonesia ini, lalu membaca puisi Muhammad Yamin berjudul Rumah Tempat Penyimpanan. Penyimpanan apa? "Wah, ini sebenarnya lebih tepat berjudul Rumah Penjara," kata Jassin, 69. Tiap selesai membaca satu kalimat, H.B. Jassin lalu menyela pembacaan puisinya dengan senyum. Untung, puisi itu pendek. Berbeda dengan Rosihan, bila hendak membacakan sebuah puisi, mengawalinya dulu dengan asal usul terciptanya sajak itu. Umpamanya Syair Tari Srimpi adalah kenangan di malam kesenian di Yogyakarta, Desember 1948, yang dihadiri pucuk pimpinan nasional waktu itu: Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Terakhir, Rosihan bukan lagi membacakan, tapi menyanyikan, sebuah lagu Belanda - dan memang Ketua Dewan Kehormatan PWI ini benar-benar bersenandung. Tak kalah semaraknya adalah Ike Supomo, yang lebih dikenal sebagai penulis novel pop daripada penyair. "Saya ini sudah tampil di dunia internasional membacakan puisi bersama Taufiq Ismail," kata ibu tiga anak ini. "Yaitu di Riyadh dan Jeddah." Dibandingkan dengan Jassin dan Rosihan, Ike memang lebih berani berekspresi. Lihat tangannya diacungkan ke atas, jari-jarinya mengambang. Dan, "saya senang puisi, mengingatkan masa remaja." Maksudnya puisi bikin awet muda. Pantas bila Rosihan dan Jassin, angkatan sebelum Perang, muncul dengan semangat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini