ADA film masuk ke ruang kelas. Hore! Ratusan anak SD Pademangan Barat, Jakarta Utara, bergembira Jumat pekan lalu, ketika mobil unit yang membawa peralatan film berbelok masuk pekarangan sekolah. Beberapa anak kemudian ikut membantu menumpuk bangku, tempat menaruh proyektor. Kofina (Koperasi Film Nasional) sedang melakukan uji coba memutar film humaniora ke SD-SD di Jakarta Utara dan Barat, sejak Maret lalu. Dua film dipertunjukkan dalam satu paket. Sebuah film impor tentang ilmu pengetahuan, yang lain film cerita produksi Kofina sendiri. Semuanya memakan waktu kurang dari satu jam. Di SD Pademangan Barat itu diputar Telur Menjadi Ayam yang sudah memakai narasi berbahasa Indonesia dan film cerita (pendek) Takabur, kisah sekelompok Pramuka mendaki gunung yang dibintangi Tino Karno. Tidak gratis. Dari setiap anak dipungut Rp 200. "Jumlah sebesar itu berdasarkan instruksi Gubernur DKI," kata Alfian, Humas Kofina. Bagaimana kalau ada anak yang tak kuat membayar? "Apa ada? Kalau memang ada, saya mengimbau orangtuanya, memintanya supaya mengurangi merokok empat batang dalam sebulan, untuk kepentingan anaknya." Ini tambahan dari Soemardjono, Ketua Umum Kofina. Direncanakan, film humaniora ini nantinya akan diputar secara teratur, bergiliran sebulan sekali di setiap SD Jakarta. Jumlah murid SD (dan madrasah ibtidaiyah), baik negeri maupun swasta, di Ibu Kota sekitar 1,5 juta. Dengan asumsi satu juta murid saja membayar iuran Rp 200, Kofina sudah bisa membayangkan merogoh Rp 200 juta - setiap bulan. Besar? "Memasukkan film ke sekolah itu biayanya banyak, lho. Memproduksi satu film saja membutuhkan Rp 40 juta belum biaya mendidik dan menggaji tenaga kerja sebanyak 150 orang," kata Soemardjono. Ide film pendidikan ini memang datang dari tokoh perfilman yang masih tetap membujang ini. Katanya, "Saya melihat kurikulum belajar sekarang ini DDH. Duduk, Dengar, Hafalkan. Semestinya CBSA - Cara Belajar Sistem Aktif - seperti diskusi, darmawisata, dan sebagainya. Di sini saya melihat film memegang peranan penting." Soemardjono membawa ide ini ke sidang Majelis Musyawarah Perfilman Indonesia (MMPI) pada 1979 di Palembang. Tanggapan cukup baik, tapi peserta sidang masih meminta ide itu lebih dirumuskan. Setahun kemudian Soemardjono menulis rumusan yang jelas. "Sayangnya, setelah itu saya mengundurkan diri sebagai Sekjen MMPI. Biasa, perbedaan paham," katanya. Desember 1983, Soemardjono memaparkan ide itu kembali kepada Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. "E, tiga hari setelah itu saya dipanggil Gubernur. Ternyata, Gubernur berminat." Dan jadilah proyek ini sebagai proyek kerja sama Pemda DKI Jakarta dengan Kofina. Gubernur memberi modal awal Rp 200 juta untuk memproduksi lima film pendek, masing-masing dengan masa putar sekitar 30 menit. Judulnya: Takabur, Bermain Drama, Ayo, Lahirlah sang Bintang, dan Murid yang Baik. Proyek ini tentu tak akan jalan hanya dengan film. Untuk perangkat lain - proyektor, mobil unit, tenaga pelaksana - Kofina lantas bekerja sama dengan PT Pembimbing Masa, yang selama ini bergerak di bidang penerbitan. Tersedialah 50 unit mobil yang siap pakai memasarkan film ke sekolah-sekolah, dengan setiap mobil sepasang kopi film. "Pengadaan sarana ini seluruhnya bernilai Rp 1,5 milyar," kata Muhammad Chusnun, Direktur PT Pembimbing Masa. Perusahaan ini juga bertugas mencari film ilmu pengetahuan yang masa putarnya sekitar 15 menit. Dan ketemu - dan perusahaan Coronet di Amerika. Sebuahnya berharga 700 dolar AS. Itu yang ada sekarang. Sudah didatangkan tiga film, dengan judul-judul terjemahan: Telur Menjadi Ayam, Matahari Kita dengan Planet-Planetnya, dan Mari Kita Saksikan Tumbuhnya Tumbuh-Tumuhan. Selama uji coba - terus berlangsung di Jakarta Utara dan Barat, sampai mencapai 120 SD - belum ada kasus seorang murid yang tidak mampu membayar Rp 200. "Sambutan anak-anak baik sekali. Sekolah kami ini jarang disinggahi hiburan," kata Djuned Ilyas, Kepala SD Pademangan yang punya 584 murid. Karena mereka tak punya aula, dua kelas yang dipisahkan dengan sekat yang bisa dicopot dipakai memutar film. Itu pun daya tampungnya tak lebih dari seratus anak. Akhirnya, film diputar ulang. Dan itu terjadi di banyak sekolah. Akibatnya, dua kerepotan timbul: selain di pihak pemutar, juga di pihak sekolah. Seperti yang bisa dibaca pada kesan-kesan dua murid SDN 10 Pagi Kebon Jeruk, "Memutar film itu mengganggu pelajaran. Karena memutar filmnya itu pada jam pelajaran." Yang sebenarnya terjadi: film diputar berulang-ulang, sehingga murid yang sudah atau belum mendapat giliran menonton jadi terganggu. Apa kata Soemardjono? "Saya rasa tidak mengganggu 'kan sebulan sekali." Lha, 'kan ada gangguan sebulan sekali? Setelah dilakukan beberapa kali uji coba, barulah proyek ini akan dimulai secara resmi pada awal tahun ajaran baru, Juli nanti. Diperkirakan, dua atau tiga tahun kemudian seluruh biaya operasi sudah kembali, dan keuntungan bisa dipetik para "pemegang saham". Perinciannya: 80% akan dibagi dua - untuk Kofina dan PT Pembimbing Masa, dua pihak yang bertanggung jawab pada pengembangan selanjutnya. Bagian Kofina masih dibagi dua lagi - separuhnya disetorkan ke Pemda DKI. Lha, yang 20%, dari keuntungan bersih tahunan yang mungkin berjumlah Rp 2,4 milyar itu? Rencananya, akan disisihkan lebih dulu untuk disumbangkan. Yaitu 5% untuk menyubsidi anak-anak yang tidak mampu membayar iuran itu, dan 15% dikembalikan ke sekolah masing-masing untuk biaya kebersihan gedung. Begitulah janji mereka. Putu Setia, Laporan Moebanoe Moera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini