Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
B.J. Habibie begitu riang. ”Maaf ya sudah menunggu,” kata Presiden Indonesia ketiga ini ketika Tempo berkunjung ke kediaman yang juga menjadi kantornya di kawasan Kuningan pada sebuah sore Maret lalu. Berjalan menuju ruang perpustakaan, melewati ruang muka, ia tiba-tiba berhenti dan mengarahkan stik ke lantai marmer, yang ada gambar peta Indonesia-nya. ”Iya, Timor Timur sudah bukan lagi bagian Indonesia.”
Ingatan melambung ke peristiwa 30 Agustus 1999. Pada tanggal tersebut, Presiden B.J. Habibie memberi peluang rakyat Timor Timur mengadakan referendum. Hasilnya mengejutkan. Sebanyak 78,5 persen pemilik suara menyatakan menolak otonomi luas dan hanya 21,5 persen yang menerima. Pada 20 Mei 2002, provinsi termuda di Indonesia ini pun resmi menjadi negara berdaulat: Timor Leste.
Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, Ali Alatas, menyebut Timor Timur sebagai kerikil dalam sepatu. Habibie berusaha menyingkirkan kerikil itu dengan memberikan kepercayaan kepada rakyat Timor Timur untuk menentukan nasibnya sendiri. Bagaimana Habibie begitu berani mengambil keputusan yang cukup kontroversial tersebut?
Ketika mengawali masa kepresidenan, saya merasa punya masalah. Jiwa Undang-Undang Dasar 1945 adalah jiwa yang tidak bisa menerima masyarakat sekecil apa pun di muka bumi ini dijajah. Saat Pak Harto (Soeharto) menjabat presiden, saya pernah bertanya kepada beliau, ”Pak, kenapa sih Timor Timur itu? Kita memproklamasikan Indonesia kan bukan berdasarkan etnis, bukan berdasarkan bahasa. Yang merekatkan kita adalah kebersamaan dalam penderitaan karena kita dijajah Belanda. Tapi kenapa kita masuk ke situ (Timor Timur)?”
Pak Harto bilang, ”Benar yang kamu bilang. Tapi kamu harus tahu, saya ke situ karena orang Timor Timur ketuk pintu dan menyatakan mau diikutsertakan dalam pembangunan di Indonesia. Berdasarkan itu, saya bicarakan dengan MPR, kemudian MPR membolehkannya. Kita terima permintaan mereka. Jadi bukan saya masuk ke situ.”
Menurut saya, penjelasan Pak Harto itu logis. Tapi saya tetap selalu merasa tidak enak. Ditambah lagi, kalau saya ke luar negeri, saya selalu didemo, dikritik. Waktu Pak Harto lengser dan saya jadi presiden, saya bilang ke Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan dan Keamanan, saya mau berbicara dengan Uskup Dili, Carlos Filipe Ximenes Belo, dan Uskup Baucau, Basilio do Nascimento.
Yang datang ke Bina Graha pada Rabu, 24 Juni 1998, itu hanya Uskup Belo. Dia bilang Uskup Basilio berhalangan. Saya tanya ke dia, ”What can I do for you?” Dia bilang beberapa hal, di antaranya masalah rakyat Timor Timur tak bisa bergerak bebas. Saya bilang, ”Kenapa? Itu rumahmu, masak kamu enggak boleh bergerak?” Dia jawab, ”Ya, peraturannya begitu.” Saya bilang, ”Oke, kamu boleh bergerak. Apa lagi?” Dia menjelaskan, dan saya menjawab, ”Ini boleh, ini enggak bisa, ini saya cek dulu.” Misalnya, soal anggaran, saya bilang, saya cek dulu. Dari semua daftar dia, sekitar 80 persen saya oke… oke… oke.
Kemudian saya bilang ke Uskup Belo, ”Pak Belo, pokoknya nanti bulan Desember saya harus memutuskan anggaran negara. Jadi, kita mulai berdiskusi September untuk anggaran Timor Timur.” Tapi kemudian Uskup Belo tak kunjung datang lagi ke Jakarta, meski saya sudah mengirim pesan. Akhirnya, Frans Seda bersedia membantu saya. Saya bilang, ”Saya perlu ketemu Belo karena perlu tanda tangan ini (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).” Dia bilang, ”I’ll take care. Don’t mind.” Saya pun menunggu. Ternyata kemudian Frans Seda mengatakan Belo tidak bisa datang karena tidak punya waktu.
Tiba-tiba, pada bulan Desember, saya mendapat surat dari Perdana Menteri Australia John Howard. Edan. Kira-kira begini: ”Dear Mr President. Bersama ini saya sarankan Anda menyelesaikan masalah Timor Timur seperti Prancis menyelesaikan masalah koloninya di New Caledonia.”
Ini yang saya tunggu. Jadi, saya punya bukti bahwa orang menganggap ini adalah koloni. Ini melanggar UUD. Supaya tidak berpolemik, di atas surat Howard, saya tulis, ”Harap menjadi periksa… jikalau ternyata saudara-saudara kita di Timor Timur tidak kerasan untuk bersama dengan saudaranya di Indonesia melaksanakan pembangunan bersama, maka baiklah kita berpisah sebagai kawan.”
Kemudian surat Howard dengan disposisi saya tersebut saya kasih ke Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, dan Menteri-Sekretaris Negara. Copy surat juga saya kirim ke Duta Besar Amerika Serikat dan Vatikan. Perlu saya tegaskan, keputusan tersebut bukan karena tekanan Howard.
Pada waktu itu, Pak Ali Alatas sempat minta waktu bertemu. Dia bilang, ”Hi Rudy (sapaan akrab B.J. Habibie), siapa desak kamu? Kok, kamu bikin ini. Ada yang bisikin kamu?” Saya jawab, ”Tidak. Yang bisikin saya ya otak saya sendiri. Alasannya ini… ini. I’ll take care.” Ali Alatas begitu, wajar. Waktu itu memang negosiasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa masih berlangsung. Tapi saya sudah yakin dengan keputusan saya. Sebab, dengan surat Howard, secara implisit, saya dianggap penjajah.
Sidang kabinet khusus membicarakan masalah Timor Timur digelar pada 27 Desember 1999. Akhirnya, pemerintah mengumumkan dua tawaran opsi. Melalui jajak pendapat, rakyat Timor Timur diberi kesempatan menentukan apakah mereka menerima tawaran otonomi luas atau menolak. Apabila mayoritas menolak, wajar jika kemudian pemerintah Indonesia mengusulkan ke wakil rakyat di Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mempertimbangkan pemisahan Timor Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia secara damai, baik-baik, dan terhormat.
Waktu itu, sama sekali tidak kebayang hasilnya akan seperti apa. Sejak Pak Harto lengser, begitu banyak laporan, termasuk berbagai laporan intelijen, yang membingungkan. Saya harus hati-hati. Tapi saya sudah tahu kondisi sebenarnya di Timor Timur. Orang ingin merdeka, meskipun mereka tak memiliki sumber daya. Itu yang dibilang Belo ke saya: ”Pak Habibie, meski miskin, saya lebih baik di rumah sendiri, daripada kaya di rumah Anda.”
Saya juga tahu, apa pun hasil jajak pendapat, akan ribut. Kalau yang menang yang prointegrasi, pasti ribut. Demikian juga sebaliknya. Karena itu, saya harus sebijaksana mungkin untuk mengamankan kebijakan tersebut supaya tanpa celah.
Saya telepon Jimmy Carter, yang memiliki Carter Center: ”Bantu dong.” Saya telepon Jerman. Mereka juga bersedia membantu. Kalau ada yang dari Indonesia mau membantu juga, silakan. Tapi jangan aneh-aneh. Prinsipnya, saya membuka pintu.
Nah, sebelum jajak pendapat, saya minta Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, kalau sudah ada hasil jajak pendapat, jangan umumkan dulu. Beri saya waktu 72 jam. Saya akan menukar tentara yang ada di situ dengan tentara anggota TNI yang biasa bekerja dengan PBB. Jadi, tidak akan ada hubungan emosi dengan Timor Timur. Baru kemudian silakan diumumkan.
Saya khawatir terjadi keributan. Tentara Indonesia sudah di sana sekitar 30 tahun. You can not solve it within three days. Jadi, saya hanya bisa mengatakan ke para penanggung jawabnya, ”You selesaikan itu dengan pengorbanan seminimal mungkin.”
Pada Sabtu, 4 September 1999, saya menerima telepon dari Kofi Annan, yang melaporkan hasil jajak pendapat. Hasilnya mengecewakan bagi pihak yang ingin tetap bergabung dengan NKRI. Namun kita harus tunduk pada keinginan rakyat yang dinyatakan melalui jajak pendapat.l
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo