Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dari Natrabu ke Martin Scorsese

28 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat orang yang aktif di dunia film Indonesia itu berkumpul di Restoran Minang Natrabu, Jalan Sabang, Jakarta, pada suatu siang di bulan Maret 2010. Mereka adalah J.B. Kristanto, pengamat film dan penulis Katalog Film Indonesia 1926-2007; Philip Cheah, Direktur Artistik National Museum of Singapore (NMS); Lintang Gitomartoyo, pengurus program restorasi film di Yayasan Konfiden; dan Lisabona Rahman, Manajer Program Kineforum Dewan Kesenian Jakarta.

Ini makan siang bisnis yang santai. Mereka membicarakan kelanjutan proyek Katalog Film Indonesia edisi bahasa Inggris yang ditaja NMS. Di sela-sela rendang, kikil, dendeng balado, dan sambal ijo itu, muncullah gagasan spontan Cheah untuk memutar sebuah film Indonesia klasik saat peluncuran terjemahan tersebut nanti. Kritikus film Singapura itu bertanya film apa yang pantas. Kristanto langsung menjawab: Lewat Djam Malam.

Alasannya, tutur Lisabona, film itu mewakili berbagai segi. Ia adalah film Indonesia terbaik dalam Festival Film Indonesia pertama pada 1955. Temanya sangat kuat dan termasuk film Indonesia dengan tema paling kompleks hingga sekarang. Sutradaranya, Usmar Ismail, adalah Bapak Perfilman Indonesia. ”Gagasan awalnya sih sekadar membuat kopi baru dari film itu, karena kopi yang ada di Sinematek mungkin sudah susah diputar di proyektor NMS,” kata Lisabona.

Gagasan itu ternyata bergulir lebih jauh. Zhang Wenjie, Manajer Program NMS yang baru pulang dari kuliah musim panas di Cineteca di Bologna, lembaga arsip film Italia terkenal, menyarankan agar film itu direstorasi saja. Usul itu langsung disambar Lisabona. Di Singapura, NMS sibuk mengumpulkan dana dan berusaha meyakinkan pemerintah mereka tentang pentingnya proyek ini. Di Jakarta, Lisa bersama Lintang dan Alex Sihar, Direktur Yayasan Konfiden, menghubungi keluarga Usmar Ismail, sebagai pemilik hak cipta film tersebut, yang langsung memberikan persetujuan. Lalu mereka berurusan dengan Sinematek, yang menyimpan bahan-bahan yang dibutuhkan, dari film negatif hingga rekaman suaranya.

Mereka memilih L’immagine Ritrovata, laboratorium milik Cineteca di Bologna, untuk merestorasi film tersebut. Laboratorium itu telah banyak memperbaiki film klasik dunia, seperti Hiroshima Mon Amour (1959) karya Alain Resnais, Viaggio d’Italia (1954) karya Roberto Rosselini, La Grande Illusion (1937) karya Jean Renoir, La Dolce Vita (1960) karya Federico Fellini, dan sejumlah film Charlie Chaplin.

Kebetulan saat itu L’immagine­ Ritrovata juga sedang membetulkan Kalpana, film India karya Uday Shankar dari tahun 1948, yang merupakan proyek World Cinema Foundation (WCF). Sineas kondang Martin Scorsese, bos WCF, terdorong untuk menonton Lewat Djam Malam di sana. ”Ia terpukau, lalu mengusulkan kerja sama,” kata Kent Jones, Direktur Eksekutif WCF.

Ini bagaikan durian runtuh bagi NMS. ”Itu pengakuan dari orang sekaliber Martin Scorsese. Jadi, kami telah melakukan langkah yang tepat dengan restorasi ini,” kata Lee Roh Lin, Direktur NMS. Lee menghubungi Alex dan kawan-kawan di Jakarta, yang cepat menerima tawaran kerja sama itu. ”Kerja sama dengan WCF membuka akses lebih jauh bagi kerja restorasi ini,” kata Alex. Buktinya memang langsung tampak: Lewat Djam Malam diputar di Festival Film Cannes.

Sesuai dengan perjanjian, Konfiden bertanggung jawab untuk peredaran film hasil restorasi itu di Indonesia, NMS di Asia, dan WCF di seluruh bagian dunia lainnya. WCF juga menyumbangkan US$ 50 ribu atau sekitar Rp 460 juta dari total biaya restorasi sekitar Sin$ 200 ribu atau hampir Rp 1,5 miliar. Sisa biaya ditanggung NMS.

World Cinema Foundation adalah lembaga yang didirikan Martin Scorsese pada 2007 untuk melengkapi Film Foundation, lembaga yang bergerak dalam upaya pemeliharaan, pelestarian, dan pengarsipan film-film Amerika Serikat. WCF dikhususkan untuk ”dunia ketiga”, yang belum menaruh perhatian pada kegiatan semacam itu. Diluncurkan di Cannes pada 2007, WCF sudah melestarikan 16 film, termasuk Titas Ekti Nadir Naam karya Ritwik Ghatak (India-Bangladesh), Limite karya Mario Peixoto (Brasil), dan Al-Momia karya Shadi Abdel Salam (Mesir). Setiap tahun lembaga itu mendapat jatah khusus di Cannes Classics.

Tahun ini, selain Lewat Djam Malam, mereka menampilkan Kalpana dan Once Upon a Time in America (1984) karya Sergio Leone dari Amerika Serikat. Film-film yang cukup baru dari negara maju pun perlu direstorasi, karena kendati dirawat dengan baik, mereka terlalu sering digunakan. ”Apalagi film berwarna, yang secara kimia kurang stabil dibanding film hitam-putih,” kata Davide Pozzi dari L’immagine Ritrovata.

Untuk melancarkan proyek ini, Lisa, Lintang, dan Alex bolak-balik Jakarta-Singapura. Lisabona sempat pula ke Bologna untuk memandu proses restorasi. Semua biaya yang dikeluarkan harus mereka keruk dari kocek sendiri. ”Ya, gimana? Kami memang ngebet bener sama restorasi ini,” kata Alex.

Akhirnya kerja keras anak-anak muda itu membuahkan hasil. Hasil restorasi Lewat Djam Malam sungguh kinclong, baik gambar maupun suara. Tapi ada niat yang tak kesampaian: Katalog Film Indonesia edisi bahasa Inggris masih juga belum selesai. ”Tak apalah,” kata Lee seraya tertawa terbahak.

Ging Ginanjar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus