Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Djam Malam yang Cerlang

Film Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail direstorasi dan diputar di Festival Film Cannes. Butuh satu setengah tahun untuk memperbaikinya. Mengapa?

28 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iskandar, mantan pejuang kemerdekaan itu, melanggar jam malam di Bandung. Dia berlari di tengah malam dan kakinya ditembak pasukan jaga malam. Tapi dia terus berlari dan akhirnya mencapai halaman rumah kekasihnya, Norma. Kamera menyorot Iskandar yang menyeret tubuhnya yang berlumur darah menaiki tangga rumah itu.

Mukanya menampakkan kesakitan, tapi bahagia. Iskandar baru saja menembak mati Gunawan, mantan komandannya, yang dulu memerintahkan dia membunuh sebuah keluarga, termasuk anak-anak, dengan alasan revolusi. Belakangan Iskandar tahu bahwa pembunuhan itu sebenarnya untuk merampas harta keluarga tersebut, yang kemudian dijadikan modal usaha Gunawan pascaperang. Gunawan pun ternyata jadi kontraktor korup.

Ketika tayangan hasil restorasi film Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail itu usai, tepuk tangan dari sekitar 300 penonton pun membahana di Salle Bunuel, salah satu bioskop di Palais du Festival, Cannes, Prancis, Kamis dua pekan lalu. Film Usmar dari tahun 1954 itu terpilih sebagai film pembuka Cannes Classics, program pemutaran film-film klasik dalam Festival Film Cannes, yang berlangsung pada 16-27 Mei 2012. Selain menampilkan film Usmar, Cannes memutar hasil restorasi film Once Upon a Time in America karya Sergio Leone, Tess karya Roman Polanski, Jaws besutan Steven Spielberg, The Ring ciptaan Alfred Hitchcock, dan Lawrence of Arabia karya David Lean.

"Film yang sangat bagus," kata Alexander Payne, sutradara Amerika Serikat yang terkenal dengan film-film satirenya, seperti Sideways dan The Descendants. Payne sebenarnya juri kategori kompetisi, kategori utama untuk memperebutkan Palem Emas di festival film sejagat ini, tapi ia menyempatkan diri menonton film Usmar.

Payne menolak memberi komentar lebih jauh karena kedudukannya sebagai juri. Namun, kepada Pierre Rissient, pengamat film Prancis yang banyak mengikuti perfilman Indonesia, Payne mengaku sangat senang menonton film tersebut. "Pilihan saya tepat untuk memutuskan menonton film ini: sangat berkualitas dan penuh emosi," kata Payne, seperti ditiru Rissient.

Penonton rupanya dapat menikmati film hitam-putih sepanjang 101 menit itu. "Saya tak menyangka pada 1950-an sudah ada film Indonesia yang temanya kompleks," kata Florence, warga Paris peserta bengkel kerja film di festival ini.

Film Lewat Djam Malam berformat digital itu merupakan hasil restorasi dari film 35 milimeter yang disimpan Sinematek, lembaga swasta nirlaba di bidang pengarsipan film di Jakarta. Perbaikan film itu dilakukan oleh L'Immagine Ritrovata, laboratorium film di Italia, atas kerja sama National Museum of Singapore, World Cinema Foundation, Yayasan Konfiden, dan Kineforum Dewan Kesenian Jakarta.

Menurut Lee Roh Lin, Direktur National Museum of Singapore, perbaikan film yang dibintangi A.N. Alcaff dan Netty Herawati itu menelan biaya sekitar Sin$ 200 ribu atau hampir Rp 1,5 miliar. Film terbaik pilihan Festival Film Indonesia 1955 itu dikenal sebagai salah satu karya puncak Bapak Perfilman Indonesia, Usmar Ismail. Skenarionya ditulis Asrul Sani dan topiknya tergolong sensitif: korupsi, pengkhianatan perjuangan, dan idealisme yang dicampakkan. "Sebuah film yang jujur dan berani membicarakan persoalan peka waktu itu, yang bahkan sampai sekarang pun kebanyakan seniman tak berani mengungkapnya," kata Lee.

Yang menarik pula, film ini merekam lanskap Kota Bandung lama: Braga, kawasan Jalan Siliwangi, stasiun, dan Jalan Banceuy. Berkat restorasi digital, gambaran masa itu muncul dengan jernih. Cahaya dan warna muncul secara stabil. Kontras warna hitam-putih juga muncul dengan luar biasa. Tapi jangan membandingkannya dengan kualitas visual film hitam-putih masa kini, misalnya The Artist, pemenang Oscar tahun ini.

Bisa saja laboratorium membuat Lewat Djam Malam jadi memiliki kualitas sebaik film masa kini. "Tapi itu palsu, karena pada 1950-an teknologi film belum seperti sekarang. Kontras, kedalaman warna, dan lainnya belum seperti sekarang," kata Davide Pozzi, Direktur L'Immagine Ritrovata.

Tujuan restorasi, kata Pozzi, memulihkan sedapat mungkin kualitas gambar dan suara menjadi seperti ketika film itu pertama kali dirilis. Ibaratnya, ia sekadar menampilkan film itu seasli mungkin, bukan mendandaninya biar cakep. "Ini merupakan bentuk penghormatan terhadap ekspresi artistik dan pencapaian estetika film itu," ujarnya.

Unsur teknis lain yang terasa berbeda jika membandingkan hasil restorasi dengan kopi film sebelumnya adalah suara. Dialog-dialog yang hilang-timbul di versi kopi film itu terdengar dengan jelas dan terang di sini. Hadirin yang menari sambil menyanyi Potong Bebek Angsa dan Rasa Sayange di adegan pesta juga bisa kita nikmati suaranya yang bermutu baik.

Di beberapa bagian memang masih terdengar desis atau terlihat kelap-kelip dari beberapa bingkai yang sudah cacat akibat dimakan jamur, tergores, atau tak bisa diperbaiki. Namun, secara umum, restorasi ini luar biasa hasilnya.

Tapi ini memang bukan pekerjaan enteng. "Proses teknis restorasinya berlangsung sangat rumit, selama satu setengah tahun penuh," kata Lisabona Rahman, mantan Manajer Program Kineforum. Perempuan 36 tahun itu sempat mengawasi proses restorasi di Bologna, Italia, selama sepekan pada awal tahun ini.

Menurut Pozzi, penanganan setiap film berbeda-beda, sehingga sukar membandingkan satu dengan yang lain. Tapi ia mengakui penggarapan film Usmar ini sangat rumit dan termasuk paling pelik yang pernah dikerjakan laboratoriumnya. Bahkan semua pegawainya, 45 orang, terlibat penuh dalam proyek ini. Untuk pembersihan digital saja, misalnya, mereka memerlukan 1.800 jam kerja atau sekitar tujuh setengah bulan kerja tanpa libur. Ini tergolong sangat lama untuk menangani satu film.

Secara sepintas, restorasi film ini seakan-akan bisa lebih mudah karena ada enam kopi yang tersedia, yang meliputi film negatif kamera asli, duplikat negatif, duplikat positif, dan negatif suara. Masalahnya, tidak semuanya lengkap. Selain itu, semuanya sudah dimakan jamur, keriting, mengkerut, penuh goresan, sobek, atau mengalami kerusakan lain. "Seluruhnya ada 46 reel yang kami kirim ke Bologna," kata Lintang Gitomartoyo dari Konfiden.

Restorasi diawali dengan pemeriksaan film, lalu perbaikan kerusakan, pembersihan dengan mesin cuci ultrasound, sebelum pemindaian menjadi data digital. "Sebagian film sudah keriting atau mengkerut, sehingga tak bisa dipindai secara otomatis. Harus manual, helai demi helai," ujar Lisabona.

Tahap berikutnya adalah restorasi digital. Semua kerusakan diperbaiki secara digital. Satu bingkai yang cacat dipulihkan dengan menggunakan sampel bingkai sebelumnya. Warna yang sudah memudar pun dipulihkan.

Kerjanya mirip dengan penyuntingan foto di peranti lunak Photoshop. Tapi bayangkanlah bahwa yang disunting itu film sepanjang 1 jam 41 menit, yang memiliki lebih dari 145 ribu bingkai.

Restorasi suara juga rumit. Tim restorasi sempat pusing karena terdapat bagian yang tanpa suara selama 106 detik. Suara ini tidak ada di seluruh bahan yang dikirim dari Jakarta hingga Februari 2012. Tim hampir memutuskan menambalnya dengan menambahkan teks yang menerangkan adanya dialog yang hilang.

Untunglah, setelah bolak-balik ke Sinematek, Lintang Gitomartoyo, penanggung jawab proyekini, mendapat informasi dari Ketua Sinematek Berthy Ibrahim bahwa ada enam reel lain yang ditemukan Hartono, anggota stafnya. Ternyata dari reel itu ada suaranya. Maka dicangkokkanlah suara itu ke film tersebut.

Tantangan lain dari restorasi adalah keasliannya. "Restorasi yang baik harus menghormati pilihan artistik pembuat filmnya, termasuk pada detail-detail terkecil," kata Pozzi.

Untuk itu, tim ini membutuhkan berbagai bahan, seperti film lain Usmar Ismail; karya lain dari penata kamera Lewat Djam Malam, Max Tera; dan film karya sutradara lain dari periode yang sama. "Itu agar mereka memperoleh panduan mengenai keaslian warna, kontras, pencahayaan, bahkan karakter bahan yang digunakan, jenis, dan merek film, misalnya," kata Direktur Konfiden Alex Sihar.

Hasilnya adalah film format digital (digital cinema package) yang diputar untuk pertama kalinya di Cannes. Nantinya, semua pihak yang terlibat proyek akan memperoleh kopi digital, kopi positif 35 milimeter, dan cetak negatif 35 milimeter yang sudah dibersihkan. Semua paket yang diperoleh pihak Indonesia akan disimpan di Sinematek.

Lewat Djam Malam adalah film Indonesia pertama yang direstorasi penuh. Sebelumnya, Tiga Dara karya Usmar Ismail dari tahun 1956 direstorasi di Belanda pada 2009 atas sponsor Eye Film Institute, lembaga perfilman Belanda. Tapi krisis ekonomi membuat pemerintah Belanda menghentikan berbagai subsidi untuk kebudayaan, termasuk lembaga yang menyokong restorasi Tiga Dara. Maka restorasinya pun macet.

Namun peluncuran hasil restorasi Lewat Djam Malam di Cannes menerbitkan harapan-harapan baru. Selain kelanjutan nasib restorasi Tiga Dara, ada restorasi berikutnya untuk film-film lain Indonesia. Direktur Eksekutif World Cinema Foundation Kent Jones mengaku tertarik untuk terlibat lebih jauh. Dia akan mengirim utusan ke Indonesia untuk menjajaki kemungkinan restorasi film lain.

Adapun Sinematek sudah berencana merestorasi sepuluh film, yang terdiri atas lima film Benyamin Sueb dan lima film Rhoma Irama, di sebuah laboratorium di India. Biayanya? Ini urusannya komersial. "Ada perusahaan yang tertarik membiayainya dan nantinya mereka akan mengedarkan hasil restorasi itu dalam berbagai bentuk," kata Berthy.

Di luar itu, sebagian besar dari 1.700 koleksi Sinematek juga menunggu penyelamatan. Lisabona mencatat, setidaknya 16 film harus mendapat prioritas, seperti Tengkorak Hidoep (Tan Tjoei Hock, 1941), Si Pintjang (Kotot Sukardi, 1951), Si Melati (Basuki Effendi, 1954), Djendral Kantjil (Nya Abbas Akup, 1958), Bintang Ketjil (1963), Apa Jang Kau Tjari, Palupi? (Asrul Sani, 1969), Matt Dower (Nya Abbas Akup, 1969), Senyum di Pagi Bulan Desember (Wim Umboh, 1974), Yuyun Pasien RS Jiwa (Arifin C. Noer, 1979), dan Kabut Sutra Ungu (Sjuman Djaya, 1979).

Proyek Lewat Djam Malam juga telah mengilhami sejumlah pegiat film untuk membentuk Sahabat Sinematek. Organisasi ini, kata Alex Sihar, "Diarahkan untuk mencari dana buat menyelamatkan film-film lama Indonesia."

Ging Ginanjar (Cannes)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus