SEMBARI memegang tongkat rotan, Presiden Soeharto tampak santai dan banyak melucu ketika menerima tamunya - para pemimpin redaksi surat kabar dan majalah di peternakan Tapos, Bogor, Ahad lalu. Humor yang keluar dari mulut Kepala Negara pun khas petani, sesuai dengan lingkungan sekitarnya. Misalnya, ketika berada di bawah pohon lamtorogung yang rimbun, Pak Harto menyebutkan tumbuhan itu dengan julukan lain: lamtoro buto. Buto artinya raksasa. Karena, kata Pak Harto, dalam tempo empat tahun, tumbuhan itu sudah besar sekali. Presiden lantas menjelaskan manfaat pohon itu. "Gunanya banyak," kata Pak Harto. "Bisa untuk makanan ternak, penghijauan, bahan baku pabrik kertas, dan arangnya pun bisa diekspor." Kepala Negara kemudian menambahkan, "Di Sunda, sering dijadikan lalap. Di Jawa Tengah, buahnya yang agak tua dimasak dicampur dengan teri. Dimakan, bisa lupa mertua." Guyon Pak Harto ini disambut tamunya dengan gelak tawa. Pak Harto - yang didampingi Menteri Penerangan Harmoko dan Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan J.H. Hutasoit - juga fasih bercerita tentang ternak. Ketika menceritakan domba hasil silang, Pak Harto menunjuk domba-domba yang buntutnya sudah buntung. Ekor itu, katanya, sengaja dipotong. Caranya, ketika domba itu berumur dua bulan, ekornya dililit karet, sehingga akhirnya putus sendiri. "Gunanya, supaya mudah dikawini," kata Presiden. Ketika melewati peternakan sapi perah, seorang wartawan bertanya mengapa tidak membuat keju. "Terlalu mewah," jawab Pak Harto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini