PENGIBAR sangsaka merah-putih di pagi 17 Agustus 1945, Abdul
Latief Hendraningrat, tiada lagi. "Saya tidak menduga ia begitu
cepat meninggalkan kami semua. Lha wong cuma sakit usus buntu
...," kata istrinya, Ny. Sophia. "Dari dulu saya selalu bilang
padanya: Mas, engkau boleh meninggalkan saya satu jam, satu
hari, satu minggu, satu bulan bahkan satu tahun, asal pergi
untuk tanah air dan bangsa kita." Tapi Senin malam Dekan lampau,
ayah 4 anak dan kakek 8 cucu itu pergi buat selamanya dalam usia
72 tahun di RSPAD Jakarta. Selasa siang dimakamkan di TMP
Kalibi dengan inspektur upacara Menko Kesra Surono.
Pensiunan Brigjen TNI-AL ini lahir di Jakarta 15 Februan 1911.
Menjalani pendidikan Europese Lagere school di
Jakarta-Pasuruan-Cianjur, 1926. Mulo di Bandung dan Surabaya,
1929. AMS-B di Malang, 1933, Fakultas Hukum Batavia, 1933-1934
dan pada tahun 1939 mengikuti kursus musim panas di Columbia
University, New York.
Sempat mengenyam serangkaian gemblengan kursus di bidang
kemiliteran zaman Jepang, di waktu Republik masih melanjutkan
kursus ketentaraan, kursus atase militer, 1951 dan tahun 1957 di
Sesko-AD. Setelah pensiun, almarhum masuk kursus kepariwisataan
di Jakarta, 1976.
Pengalaman kerjanya antara lain: guru bahasa Inggris di sekolah
'Perguruan Rakyat' dan 'Muahmmadiyah', 1933-1941. Lalu kepala
Pusat Latihan Pemuda dari Jawa, 1942-1943, kemudian cudanco
(komandan kompi) tentara Peta di Jakarta, 1943-1945. Anggota
TNI-AD, 1945-1967, dan pada tahun 1952-1957 menjabat Atase
Militer di Manila dan Washington. Lalu: Direktur Sesko-AD,
1957-1958 dan setahun kemudian menjadi Sek-Mil Presiden RI. Pada
1960-1965 anggota DPR-GR, merangkap. Rektor IKIP Jakarta,
1964-1966.
Ketika dibawa ke rumah sakit, almarhum masih berkata: "Jangan
khawatir, bu. PalinP lama dua hari." Tapi setelah tak kuat
bertahan, ia bilang pada istrinya: Wah, nek kaya ngene aku ya
ora kuqat - kalau begini saya tidak tahan. Dan Latief
menghembuskan napas terakhir satu jam sesudah itu-pukul 21.00.
"Sebenarnya kami akan merayakan hari pernikahan kami genap 40
tahun 24 Maret ini," kata Ny. Sophia "tapi apa boleh buat,
Tuhan punya kehendak lain." Yang paling merasa kehilangan
adalah salah satu cucunya, Gugun, 14 tahun, yang paling dekat
dengan kakeknya. "Akung itu sabar dan disiplin," kenang Gugun
"kalau saya nginap di sini saya selalu menemaninya nonton tv,
biarpun siarannya jelek, tapi Akung tetap bertahan nonton sampai
habis."
Perkara disiplin ini diakui adik almarhum, Letjen Rukmito
Hendraningrat. "Dulu dialah yang mengasuh saya, karena ia 11
tahun lebih tua. Tiap pagi ia menyuruh bangun pagi pukul 5.00,
lalu menimba air. Sesudah itu membersihkan sepeda. Berolah raga,
mandi dan berangkat sekolah," tutur Rukmito.
Ketika terjadi clash II Latief terpaksa meninggalkan istrinya
selama setahun. "Mas Latief memberi saya pistol kecil untuk jaga
diri," cerita Ny. Sophia pula. "Pistol itu kenang-kenangan dari
Italia. Tapi ketika ada operasi sapujagat, dialah orang nomor
satu yang menyerahkan senjata, tanpa diminta." Citrawati,
purtinya nomor dua menambahkan: "Ayah juga pembayar pajak yang
patuh." Gaya hidupnya tetap sederhana, sampai akhir hayatnya ia
tidak mempunyai pesawat video.
Meski punya biro perjalanan 'Tambora Travel', Latief tak suka
tamasya. Kalau Minggu, "Mas Latief mengetik di rumah.
Kadang-kadang sampai malam. Sering saya harus mengingatkan: Mas,
berhenti dulu, sudah jam dua ..," cerita Ny. Sophia.
Macam-macam surat diketiknya sendiri. Ia poskan sendiri.
Almarhum dikenal suka berorganisasi. Sampai saat setelah ulang
tahunnya ke-72, 15 Februari lalu, Latief masih mengurus berbagai
organisasi kekeluargaan, seperti Jayaseputran.
Sehari-hari ia nampak sehat, berkat olah raga sepeda di tempat.
Menjelang saat terakhirnya, Latief sedang sibuk membenahi
rumahnya: satu-satunya rumah di Jalan Ki Mangunsarkoro yang
diperlakukannya sebagai pusaka bagi anak cucunya. Di rumah itu
ia sedang membuat relief suasana pembacaan naskah proklamasi dan
pengibaran bendera merah-putih. Seorang pemahat dari ASRI telah
mulai bekerja. "Kami akan selesaikan amanat ayah itu," kata
putri sulungnya, Ny. Tuning Sukobagyo, 39 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini