Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Meninggal Dunia

Abdul Latief Hendraningrat, 72, pengibar sang saka merah putih 17 agustus 1945 meninggal dunia karena sakit usus buntu, meninggalkan seorang istri, empat orang anak dan 8 orang cucu.(pt)

26 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGIBAR sangsaka merah-putih di pagi 17 Agustus 1945, Abdul Latief Hendraningrat, tiada lagi. "Saya tidak menduga ia begitu cepat meninggalkan kami semua. Lha wong cuma sakit usus buntu ...," kata istrinya, Ny. Sophia. "Dari dulu saya selalu bilang padanya: Mas, engkau boleh meninggalkan saya satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan bahkan satu tahun, asal pergi untuk tanah air dan bangsa kita." Tapi Senin malam Dekan lampau, ayah 4 anak dan kakek 8 cucu itu pergi buat selamanya dalam usia 72 tahun di RSPAD Jakarta. Selasa siang dimakamkan di TMP Kalibi dengan inspektur upacara Menko Kesra Surono. Pensiunan Brigjen TNI-AL ini lahir di Jakarta 15 Februan 1911. Menjalani pendidikan Europese Lagere school di Jakarta-Pasuruan-Cianjur, 1926. Mulo di Bandung dan Surabaya, 1929. AMS-B di Malang, 1933, Fakultas Hukum Batavia, 1933-1934 dan pada tahun 1939 mengikuti kursus musim panas di Columbia University, New York. Sempat mengenyam serangkaian gemblengan kursus di bidang kemiliteran zaman Jepang, di waktu Republik masih melanjutkan kursus ketentaraan, kursus atase militer, 1951 dan tahun 1957 di Sesko-AD. Setelah pensiun, almarhum masuk kursus kepariwisataan di Jakarta, 1976. Pengalaman kerjanya antara lain: guru bahasa Inggris di sekolah 'Perguruan Rakyat' dan 'Muahmmadiyah', 1933-1941. Lalu kepala Pusat Latihan Pemuda dari Jawa, 1942-1943, kemudian cudanco (komandan kompi) tentara Peta di Jakarta, 1943-1945. Anggota TNI-AD, 1945-1967, dan pada tahun 1952-1957 menjabat Atase Militer di Manila dan Washington. Lalu: Direktur Sesko-AD, 1957-1958 dan setahun kemudian menjadi Sek-Mil Presiden RI. Pada 1960-1965 anggota DPR-GR, merangkap. Rektor IKIP Jakarta, 1964-1966. Ketika dibawa ke rumah sakit, almarhum masih berkata: "Jangan khawatir, bu. PalinP lama dua hari." Tapi setelah tak kuat bertahan, ia bilang pada istrinya: Wah, nek kaya ngene aku ya ora kuqat - kalau begini saya tidak tahan. Dan Latief menghembuskan napas terakhir satu jam sesudah itu-pukul 21.00. "Sebenarnya kami akan merayakan hari pernikahan kami genap 40 tahun 24 Maret ini," kata Ny. Sophia "tapi apa boleh buat, Tuhan punya kehendak lain." Yang paling merasa kehilangan adalah salah satu cucunya, Gugun, 14 tahun, yang paling dekat dengan kakeknya. "Akung itu sabar dan disiplin," kenang Gugun "kalau saya nginap di sini saya selalu menemaninya nonton tv, biarpun siarannya jelek, tapi Akung tetap bertahan nonton sampai habis." Perkara disiplin ini diakui adik almarhum, Letjen Rukmito Hendraningrat. "Dulu dialah yang mengasuh saya, karena ia 11 tahun lebih tua. Tiap pagi ia menyuruh bangun pagi pukul 5.00, lalu menimba air. Sesudah itu membersihkan sepeda. Berolah raga, mandi dan berangkat sekolah," tutur Rukmito. Ketika terjadi clash II Latief terpaksa meninggalkan istrinya selama setahun. "Mas Latief memberi saya pistol kecil untuk jaga diri," cerita Ny. Sophia pula. "Pistol itu kenang-kenangan dari Italia. Tapi ketika ada operasi sapujagat, dialah orang nomor satu yang menyerahkan senjata, tanpa diminta." Citrawati, purtinya nomor dua menambahkan: "Ayah juga pembayar pajak yang patuh." Gaya hidupnya tetap sederhana, sampai akhir hayatnya ia tidak mempunyai pesawat video. Meski punya biro perjalanan 'Tambora Travel', Latief tak suka tamasya. Kalau Minggu, "Mas Latief mengetik di rumah. Kadang-kadang sampai malam. Sering saya harus mengingatkan: Mas, berhenti dulu, sudah jam dua ..," cerita Ny. Sophia. Macam-macam surat diketiknya sendiri. Ia poskan sendiri. Almarhum dikenal suka berorganisasi. Sampai saat setelah ulang tahunnya ke-72, 15 Februari lalu, Latief masih mengurus berbagai organisasi kekeluargaan, seperti Jayaseputran. Sehari-hari ia nampak sehat, berkat olah raga sepeda di tempat. Menjelang saat terakhirnya, Latief sedang sibuk membenahi rumahnya: satu-satunya rumah di Jalan Ki Mangunsarkoro yang diperlakukannya sebagai pusaka bagi anak cucunya. Di rumah itu ia sedang membuat relief suasana pembacaan naskah proklamasi dan pengibaran bendera merah-putih. Seorang pemahat dari ASRI telah mulai bekerja. "Kami akan selesaikan amanat ayah itu," kata putri sulungnya, Ny. Tuning Sukobagyo, 39 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus