PERNAH terjadi, di zaman pendudukan Inggris -- setelah Jepang
bertekuk lutut pada Sekutu -- Wilopo berurusan ke markas tentara
yang sebelumnya merupakan markas polisi militer Jepang
Kenpeitai. Di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, di gedung yang kini
ditempati Departemen Hankam itu, ia berpapasan dengan seorang
Indo-Belanda. Entah apa pasalnya, mereka lantas saja
bersengketa.
Wilopo yang ketika itu anggota Barisan Pelopor, dan selalu
membawa pistol, mencabut senjatanya. Dan si Indo pingsan. Bukan
ditembak tapi digetok dengan popor. Mengapa? Sebab "saya tak
bisa menembak," tuturnya (TEMPO 9 April 1977).
Tokoh PNI yang kemudian jadi perdana menteri (1952-1953) dan
ketua Dewan Pertimbangan Agung (1968-1978) itu, 20 Januari
kemarin berpulang dalam usia 71 tahun. Ia kalah oleh serangan
jantung dengan komplikasi penyakit lainnya, antara lain asma --
yang dideritanya sejak ia mencoba jadi mahasiswa Sekolah Tinggi
Teknik di Bandung, 1930.
Almarhum, yang pernah juga jadi menteri perburuhan (1950),
menteri perekonomian (1951) dan ketua Konstituante (1956-1959)
itu, kecuali "tak bisa menembak" pada dasarnya tak suka
kekerasan. Anak sulung keluarga Soedjono Soerodirdjo -- juru
taksir pegadaian yang kemudian jadi karyawan pabrik gula dan
terakhir lurah Desa Kalitengah, Purworejo, Ja-Teng -- itu adalah
orang Jawa yang kalem.
Ayah angkatnya, Mantri Guru Prawirodihardjo (kakak ibunya)
mendidik Wilopo kecil mencintai tembang Jawa yang berisi petuah
budi. Dan ketika masuk sekolah menengah atas (AMS) di Yogya
(1927), ia pun belajar menari. Belakangan ia sangat menyukai
lukisan Affandi. Tapi tak semuanya. "Pertempuran seperti ayam
jago, saya tak senang," ujarnya. Ia pun tak menyukai film yang
"kelewat seram, dan jotos-jotosan."
Di rumahnya, di Jalan Sriwijaya Kebayoran Baru, tergantung
lukisan Affandi yang menggambarkan sebuah desa yang ditinggal
pergi penghuninya. Suasananya kacau sampai anjing pun kelaparan.
"Inilah yang saya sukai," katanya. "Di tengah kekacauan itu
pohonan menampakkan dirinya.
Wilopo menikah dengan Sumikalimah, Oktober 1937, dan memperoleh
dua anak perempuan. Yang pertama meninggal setelah menjadi
dokter dan memberinya empat orang cucu. Yang kedua, sarjana
psikologi, bekerja di Unilever dan sudah menikah pula.
"Almarhum adalah seorang pemimpin yang selalu akurat dalam
membuat perhitungan dan punya disiplin yang tinggi," kata Idham
Khalid, ketua DPA sesudah Wilopo, dalam sambutan melepas jenasah
di pemakaman Tanah Kusir. Kuburnya bersebelahan dengan makam Ir.
Sutami dan tak jauh dari makam para pahlawan Ampera. Hadir
antara lain Adam Malik, Alamsyah, K.H. Masykur, G.P.H.
Djatikusumo, Widjojo Nitisastro dan Bustanil Arifin.
Seorang yang jujur, bersih dan berkepribadian. Ia juga
mewariskan segala peraturan perundang-undangan perburuhan yang
disusunnya semasa jadi menteri muda perburuhan (1947). Ia pun
pernah memimpin suatu tim antikorupsi (Komisi Empat) di zaman
Orde Baru, dan pernah mencoba merujukkan para pimpinan PDI yang
gemar cekcok. Sayang, orang tua itu seakan tak didengar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini