Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

3 calon, tanpa ranking

Pemilihan dekan di fakultas psikologi universitas indonesia mengalami kericuhan. prof.dr. as. munandar yang diangkat menteri p dan k atas dasar pp 5/1980 tidak sesuai dengan hasil pemungutan suara. (pdk)

31 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAU kericuhan soal dekan baru di Fak. Psikologi UI sebenarnya sudah tercium satu-dua bulan yang lalu. Tapi baru tampil, ketika di awal bulan ini poster-poster protes terhadap dekan baru muncul di fakultas tersebut. Dan orang pun tambah bertanya-tanya, ketika upacara pelantikan enam calon dekan UI, termasuk dekan Fak. Psikologi, yang seharusnya berlangsung 10 Januari lalu, ditunda. Aturan permainan pengangkatan dekan baru di perguruan tinggi negeri, selama ini memang tergantung perguruan tinggi masing-masing, baru 14 Februari 1980, dengan PP No. 5, yang mengatur pokok-pokok organisasi perguruan tinggi, aturan itu menjadi jelas dan seragam. Dalam pasal 52 PP tersebut, dikatakan "dekan diangkat dan diberhentikan oleh menteri P&K atas usul rektor." Dan untuk lebih menjelaskan lagi, 22 Desember yang lalu diturunkan peraturan pelaksanaan. Antara lain disebutkan calon dekan harus staf pengajar tetap sekurang-kurangnya berpangkat lektor (golongan IV/a) dan sarjana secara tertulis bersedia dicalonkan menjadi dekan dan mempunyai prestasi kerja, disiplin kerja, dan lain-lain. Dan yang penting, dalam peraturan pelaksanaan itu senat fakultas diharuskan memilih tiga calon dekan, untuk diajukan kepada menteri P&K lewat rektor, tanpa ranking. Artinya, ketiga calon dianggap sama kuat dan menterilah pemegang keputusan terakhir. Selama ini -- paling tidak yang terjadi di UI pada dasarnya menteri dalam pemilihan dekan hanya mengesahkan calon yang diajukan. Meski dalam beberapa kasus, memang ada penyimpangan. Misalnya yang terjadi di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial UI dan Fak. Kedokteran Universitas Airlangga beberapa waktu lalu. Banyak Segi Dengan keharusan adanya tiga calon itu, kemungkinan adanya ketidaksepakatan antara Dep. P&K dan universitas/fakultas, dihindari. Sebab, siapapun di antara ketiga calon itu yang diangkat sebagai dekan oleh menteri P&K, adalah atas pengajuan pihak universitas sendiri. Tapi kericuhan di Fakultas Psikologi UI agaknya contoh peristiwa di "masa peralihan". Maret 1980, sembilan bulan sebelum keluarnya peraturan pelaksanaan di atas, panitia pemilihan dekan di situ mengajukan dua calon -- Prof. Dr. A.S. Munandar dan Dra. Melly Suwondo -- yang ditentukan siapa yang lebih kuat lewat pemungutan suara seluruh staf pengajar. Hasilnya, Prof. Dr. Munandar memperoleh 21 suara, Dra. Melly 38 suara. Tapi, yang diangkat oleh menteri P&K ternyata Prof. Munandar. Tidak saja sebagian besar staf pengajar kemudian mengajulmn keberatan kepada Rektor, kata sumber TEMPO, tapi mahasiswa pun ikut bersuara. Mahasiswalah yang memasang poster-poster ketidaksetujuan terhadap dekan yang diangkat menteri P&K. "Itu menyalahi asas demokrasi," kata Sigit, ketua senat mahasiswa fakultas tersebut. Meskipun ia mengakui pula, bahwa Prof. Dr. Munandar lebih populer namanya, dan dilihat dari bidang akademis, sepertinya ia lebih berbobot. "Cuma, seorang dekan tak hanya diukur dari itu, harus dari banyak segi," tambahnya. Antara lain disebutnya, bagaimana hubungannya dengan mahasiswa? Sebetulnya hal itu terjadi juga di FIS UI, dalam pengangkatan dekannya yang sekarang. Tapi, menurut sumber TEMPO hal itu berhasil diselesaikan di dalam, dan Prof. Dr. Tobias, calon kedua tapi yang justru dipilih menteri P&K, dengan tenang duduk sebagli dekan FIS UI, tanpa ada keributan yang berarti. Kelemahan sistem lama menurut Dr. Juwono Sudarsono, Pudek I FIS UI dan Prof. Dr. A. Amiruddin, Rektor Unhas, ialah dalam hal adanya pemungutan suara itu. "Pemungutan suara belum tentu memilih calon dekan yang mampu. Itu ilusi besar," kata Dr. Juwono. "Padahal jabatan dekan bukan jabatan yang berat ke politis, tapi berat ke administratif." Dan Rektor Unhas itu, di Ditjen Pendidikan Tinggi minggu lalu, sempat memberikan komentar: "Dari dulu saya tak percaya kepada sistem pemungutan suara untuk memilih dekan. Yang terpilih biasanya orang yang populer, tapi belum tentu capable menjadi dekan." Tak dijelaskan, memang, bagaimana bisa sukses memimpin kalau tidak populer. Meskipun dalam kasus Psikologi UI, dilihat dari perimbangan suara, popularitas Prof. Munandar sebenarnya cukup -- dilihat di kalangan dosen, lho.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus