BAU kericuhan soal dekan baru di Fak. Psikologi UI sebenarnya
sudah tercium satu-dua bulan yang lalu. Tapi baru tampil,
ketika di awal bulan ini poster-poster protes terhadap dekan
baru muncul di fakultas tersebut. Dan orang pun tambah
bertanya-tanya, ketika upacara pelantikan enam calon dekan UI,
termasuk dekan Fak. Psikologi, yang seharusnya berlangsung 10
Januari lalu, ditunda.
Aturan permainan pengangkatan dekan baru di perguruan tinggi
negeri, selama ini memang tergantung perguruan tinggi
masing-masing, baru 14 Februari 1980, dengan PP No. 5, yang
mengatur pokok-pokok organisasi perguruan tinggi, aturan itu
menjadi jelas dan seragam. Dalam pasal 52 PP tersebut, dikatakan
"dekan diangkat dan diberhentikan oleh menteri P&K atas usul
rektor."
Dan untuk lebih menjelaskan lagi, 22 Desember yang lalu
diturunkan peraturan pelaksanaan. Antara lain disebutkan calon
dekan harus staf pengajar tetap sekurang-kurangnya berpangkat
lektor (golongan IV/a) dan sarjana secara tertulis bersedia
dicalonkan menjadi dekan dan mempunyai prestasi kerja, disiplin
kerja, dan lain-lain.
Dan yang penting, dalam peraturan pelaksanaan itu senat fakultas
diharuskan memilih tiga calon dekan, untuk diajukan kepada
menteri P&K lewat rektor, tanpa ranking. Artinya, ketiga calon
dianggap sama kuat dan menterilah pemegang keputusan terakhir.
Selama ini -- paling tidak yang terjadi di UI pada dasarnya
menteri dalam pemilihan dekan hanya mengesahkan calon yang
diajukan. Meski dalam beberapa kasus, memang ada penyimpangan.
Misalnya yang terjadi di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial UI dan Fak.
Kedokteran Universitas Airlangga beberapa waktu lalu.
Banyak Segi
Dengan keharusan adanya tiga calon itu, kemungkinan adanya
ketidaksepakatan antara Dep. P&K dan universitas/fakultas,
dihindari. Sebab, siapapun di antara ketiga calon itu yang
diangkat sebagai dekan oleh menteri P&K, adalah atas pengajuan
pihak universitas sendiri.
Tapi kericuhan di Fakultas Psikologi UI agaknya contoh peristiwa
di "masa peralihan". Maret 1980, sembilan bulan sebelum
keluarnya peraturan pelaksanaan di atas, panitia pemilihan dekan
di situ mengajukan dua calon -- Prof. Dr. A.S. Munandar dan
Dra. Melly Suwondo -- yang ditentukan siapa yang lebih kuat
lewat pemungutan suara seluruh staf pengajar. Hasilnya, Prof.
Dr. Munandar memperoleh 21 suara, Dra. Melly 38 suara. Tapi,
yang diangkat oleh menteri P&K ternyata Prof. Munandar.
Tidak saja sebagian besar staf pengajar kemudian mengajulmn
keberatan kepada Rektor, kata sumber TEMPO, tapi mahasiswa pun
ikut bersuara. Mahasiswalah yang memasang poster-poster
ketidaksetujuan terhadap dekan yang diangkat menteri P&K. "Itu
menyalahi asas demokrasi," kata Sigit, ketua senat mahasiswa
fakultas tersebut. Meskipun ia mengakui pula, bahwa Prof. Dr.
Munandar lebih populer namanya, dan dilihat dari bidang
akademis, sepertinya ia lebih berbobot. "Cuma, seorang dekan
tak hanya diukur dari itu, harus dari banyak segi," tambahnya.
Antara lain disebutnya, bagaimana hubungannya dengan mahasiswa?
Sebetulnya hal itu terjadi juga di FIS UI, dalam pengangkatan
dekannya yang sekarang. Tapi, menurut sumber TEMPO hal itu
berhasil diselesaikan di dalam, dan Prof. Dr. Tobias, calon
kedua tapi yang justru dipilih menteri P&K, dengan tenang duduk
sebagli dekan FIS UI, tanpa ada keributan yang berarti.
Kelemahan sistem lama menurut Dr. Juwono Sudarsono, Pudek I
FIS UI dan Prof. Dr. A. Amiruddin, Rektor Unhas, ialah dalam
hal adanya pemungutan suara itu. "Pemungutan suara belum tentu
memilih calon dekan yang mampu. Itu ilusi besar," kata Dr.
Juwono. "Padahal jabatan dekan bukan jabatan yang berat ke
politis, tapi berat ke administratif."
Dan Rektor Unhas itu, di Ditjen Pendidikan Tinggi minggu
lalu, sempat memberikan komentar: "Dari dulu saya tak percaya
kepada sistem pemungutan suara untuk memilih dekan. Yang
terpilih biasanya orang yang populer, tapi belum tentu capable
menjadi dekan."
Tak dijelaskan, memang, bagaimana bisa sukses memimpin kalau
tidak populer. Meskipun dalam kasus Psikologi UI, dilihat dari
perimbangan suara, popularitas Prof. Munandar sebenarnya cukup
-- dilihat di kalangan dosen, lho.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini