TINGKAH lakunya, tutur katanya, demikian juga potongan bajunya,
sederhana. Joan Adams Mondale, biarpun usianya telah 48 tahun,
raut mukanya tidak setua umurnya. Dia juga tamu negara yang
berhasil menolak beberapa acara yang telah disediakan -- kecuali
kunjungan pagi hari di Taman Mini Indonesia, satu dari beberapa
acara dalam kunjungannya yang singkat.
"Saya ingin melihat segala sesuatu yang sungguh natural,"
ujarnya, ketika Staf Wakil Presiden AS Mondale menyatakan bahwa
kunjungan ke Musium Taman Fatahillah -- tempat keramik koleksi
Adam Malik -- dirobah ke Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta
(LPKJ) di bagian belakang Taman Ismail Marzuki. "Sebagian besar
yang dibicarakan hanya soal-soal seni saja," ujar Nyonya Mara
Adhyatman, pengurus Perkumpulan Keramik Jakarta dan anggota
Wastra Prema (Himpunan Pencinta Tekstil, yang mendampingi Joan
Mondale ke mana saja selama di Jakarta.
"Dia lebih memfokuskan seni masa depan dan bukan seni masa
lampau," kata Mara. Itulah mungkin sebabnya Joan tidak ke
Fatahillah, sebagaimana juga tidak ke batik Iwan Tirta. Tapi dia
pergi ke pabrik batik Setyowati yang punya tukang batik sekitar
10 orang dan letaknya di jalan kecil di Karet Kuningan, Jakarta.
Penulis buku Politik dan Seni ini, menyatakan kagum melihat
wanita membatik. Biasa. "Mereka pasti punya kesabaran yang
besar," katanya. Juga di LPKJ, Joan Monddle heran bagaimana
pembuat keramik kita harus mencari cat adukan warna sendiri.
Ternyata cat warna dari luar negeri mahal dan sulit didapat.
Fahmi, dari grup 'Sanggar Kampung Melayu', telah menghadiahkan
dua buah keramik kepada Joan. Sebuah guci buatan Fahmi sendiri
dan yang sebuah lagi adalah tiruan guci tua (warna biru) yang
kini banyak dibuat di lampung Dinoyo, dekat Malang. "Oh,
alangkah indahnya," kata Joan Mondale sambil memegang guci
buatan Fahmi. "Saya akan menaruhnya di dekat tempat perapian
rumah saya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini