"Norina tercinta, mereka telah memberitahu saya bahwa saya akan
segera mereka habisi. Saya menciummu untuk terakhir kalinya.
Cium juga untuk anak."
Surat terakhir Aldo Moro
SEORANG yang tidak dikenal menelepon polisi siang hari tanggal
9 Mei yang lalu itu. Sama sekali ia tidak menyebutkan tentang
Moro yang terculik 55 hari sebelumnya. Penelepon tak dikenal
tersebut cuma mengabarkan adanya bom yang diletakkan di sebuah
mobil terparkir di pusat kota.
Polisi segera melakukan pemeriksaan. Di Via Caetani, tak jauh
dari kantor Partai Kristen Demokrat (PKD) dan kantor Partai
Komunis Italia (PKI) sebuah mobil Renault curian ditemukan. Di
dalam bagasi mobil itulah ditemukannya Aldo Moro, 61 tahun,
bekas perdana menteri dan bekas Menlu Italia. Ia sudah jadi
mayat. Pembedahan mayat kemudian membuktikan bahwa sebuah pistol
otomatis telah memuntahkan peluru ke dalam tubuh yang telah
dilumpuhkan oleh penganiayaan semena-mena selama hampir 2 bulan.
Duka cita tiba-tiba tergantung berat di atas kota Roma. Para
pengendara sepeda motor berkeliling kota menyerukan
diselenggarakannya demonstrasi aksi mogok sebagai tanda duka
bagi kepergian Moro. Dalam waktu beberapa menit saja akhir dari
kisah sedih yang menimpa Moro itu telah tersebar di kalangan
warga Roma. Toko-toko, bioskop dan kantor-kantor mendadak tutup.
Radio dan televisi menghentikan semua acara mereka untuk segera
digantikan dengan musik duka yang klasik.
Via Caetani di pusat kota dan jalan kecil di depan flat kediaman
Moro dipenuhi manusia. Jam 4 petang, serikat buruh mengumumkan
pemogokan hingga larut malam. Secara amat mengharukan, markas
besar PKI mengibarkan bendera setengah tiang. "Kita nampaknya
sudah tiba pada tebing jurang kegilaan," kata Giancarlo Pajetta,
pejabat tinggi PKI yang hari itu berada di markasnya.
Pelataran Parkir
Lewat layar televisi, penduduk Italia menyaksikan wajah Moro
yang telah memucat kapas. Tubuh yang malang itu terbungkus
selimut biru dengan darah membeku di mana-mana. "Ia nampaknya
telah dibunuh beberapa hari yang lalu," komentar seorang
polisi. Seorang padre dari gereja terdekat terlihat membungkuk
mengatupkan mata jenazah. Sebuah upacara berdoa yang amat
sederhana terjadi di pelataran parkir itu. "Ia nampak anggun,"
kata sang padre kemudian.
Aldo Moro yang diculik 16 Maret yang lalu, nampaknya memang
tokoh yang mempertahankan keanggunan dari masa hidup hingga jadi
jenazah. Menjadi politikus pada usia dua puluhan, kesibukannya
sebagai guru besar ilmu hukum kriminil tidak dilepaskannya
bahkan ketika telah menjadi pejabat penting negerinya. Selalu
muncul dengan jas double brest warna biru tua, ia senantiasa
memulai harinya dengan menghadiri misa di sebuah gereja yang
terletak dekat flatnya. Tapi yang amat tidak terlupakan oleh
rakyat Italia adalah prestasi yang dicapainya beberapa saat
sebelum penculik menyambarnya setelah terlebih dahulu membunuh 5
orang pengawalnya dekat gereja yang tiap pagi dikunjunginya.
Hatta, maka pemilu Italia yang lalu membawa negeri itu dalam
kesulitan untuk membentuk suatu pemerintahan. Pihak komunis
yang mencapai kemajuan pesat tetap bersitegang untuk ikut duduk
dalam kabinet koalisi yang akan dibentuk oleh PKD. Berkat usaha
Morolah akhirnya PKI bisa menyokong kabinet yang dipimpin oleh
Perdana Menteri Andreotti tanpa harus menyertakan seorang
komunis pun dalam kabinet tersebut. Peranan yang penting
semacam itu di Italia di hari-hari ini hanya mungkin dilakukan
oleh seorang yang dihormati seperti Moro. Dan penghormatan itu
kabarnya akan lebih dipertegas dengan menjadikan Moro Presiden
Republik Italia lewat pemilihan presiden bulan Desember
mendatang. Tapi semua itu sudah jelas tidak mungkin menjadi
kenyataan.
Kematian Moro di mata Giuseppe Saragat, bekas Presiden Italia,
adalah suatu tragedi terbesar sejak negeri itu keluar dengan
babak belur dari perang dunia yang terakhir. "Tubuh republik ini
telah tergeletak berdampingan dengan jenazah Moro," kata
Saragat. Lewat layar televisi, Giuseppe Leone, Presiden Italia,
yang masih duduk di istana Quirinal, menyerukan agar rakyat
melawan teroris yang "berusaha menghancurkan negara .... hak-hak
sipil, pekerjaan, aspirasi dan anak-anak kalian.
Tapi seruan dan pernyataan pemimpin Italia yang sudah agak
emosionil itu ternyata tidak lagi terdengar di telinga keluarga
Moro. Eleonora Moro -- seorang bekas guru sekolah yang tidak
pernah tampil dalam kehidupan resmi suaminya -- sudah sejak
puluhan hari sebelum suaminya jadi mayat berseru kepada Leone
agar suka berunding dengan pihak Brigade Merah bagi kemungkinan
pembebasan suaminya. Tapi Leone, para pemimpin PDK maupun PKI
semuanya menolak suatu anjuran berunding dengan pihak penculik.
Uskup Kota Roma
Kekecewaan itulah rupanya yang membawa keluarga Moro -- isteri
dan 4 anak --untuk menolak semua upacara kenegaraan yang
disediakan negara bagi jenazah suaminya. Pemakaman yang amat
sederhana yang hanya dihadiri oleh keluarga dan teman dekat Moro
dilangsungkan di bawah hujan gerimis di desa Apulia, tempat
kelahiran Moro yang letaknya tidak begitu jauh dari kota Roma.
Rakyat memenuhi halaman dan jalan raya sebuah rumah sakit
universitas tempat jenazah Moro mengalami autopsi dan persiapan
pemakaman. Juga gereja kecil di Apulia dipenuhi manusia. Tapi
suatu suasana sepi yang hening telah terjadi di pemakaman Apulia
tempat Moro menetap untuk selama-lamanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini