BEKAS presiden Nixon baru-baru ini menerbitkan memoarnya. Banyak
sekali hal-hal menarik yang terjadi di belakang
peristiwa-peristiwa besar dunia yang diungkapkannya. Mulai dari
skandal Watergate, diplomasi, cerita tokoh-tokoh dunia sebagai
manusia biasa dan lain-lain. Salah satu peristiwa besar yang
dikisahkannya adalah kunjungannya ke Peking pada tahun 1972.
Berikut ini adalah terjemahan bebas dari nukilan-nukilan memoar
tersebut yang berceritera tentang pertemuan Nixon dengan para
pemuka RRC waktu itu: Mao Tse-tung, Chou En-lai dan Chiang
Ching.
Pesawat baru saja berhenti. Ketika pintu terbuka, di kaki tangga
berdirilah Chou En-lai. Ia tak mengenakan topi, memakai baju
tebal yang tak bisa menyembunyikan kekerempengannya. Ketika aku
berjalan turun dan hampir mencapai tengah tangga, tiba-tiba Chou
bertepuk. Saya tertegun dan dengan spontan bertepuk tangan pula
-- ini sesuai dengan kebiasaan di negeri itu.
Saya sadar bahwa Chou pernah tersinggung ketika John Foster
Dulles (Menteri Luar Negeri Amerika tahun 50-an) menolak uluran
tangannya ketika Konperensi Jenewa mengena masalah Vietnam
dibuka tahun 1954. Jadi, ketika saya sampai di bawah saya sambut
dan hampiri Chou sambil menjulurkan tangan saya
sepanjang-panjangnya.
Di hari pertama jam dua siang, kami mendapat pemberitahuan
bahwa Mao bersedia menerima kami di kediamannya. Kami dibawa ke
suatu ruangan sederhana dengan hiasan ala kadarnya. Kamar itu
penuh dengan buku-buku dan catatan-catatan. Sebagian buku-buku
itu terbuka dan diletakkan di meja teh kecil dekat Mao duduk.
Sekretarisnya menolong Mao berdiri. Ketika saya jabat tangannya
Mao mengatakan "Maafkan, bicara saya sudah tidak baik lagi."
Di hari berikutnya Chou mengatakan kepadaku, sudah sejak sebulan
itu Mao menderita bronkhitis. Ini tak pernah diketahui orang
banyak. Kemudian, dalam banyak obrolan, setiap orang, termasuk
Chou menunjukkan hormatnya kepada Mao. Ini memang layak. Dua
atau tiga orang sipil atau militer selalu berada dalam ruangan.
Setelah kira-kira 10 menit kami mengobrol Chou menyuruh mereka
pergi. Namun, ketiga orang itu terus berada dalam ruangan.
Mao memberi komentar tentang kepandaian Kissinger merahasiakan
missinya ke Peking. "Ia tidak seperti seorang agen intel,"
katanya. "Ia adalah orang satu-satunya yang pergi ke Paris
sebanyak 12 kali dan ke Peking sekali saja. Tapi tak ada orang
yang tahu. Kecuali barangkali beberapa orang wanita cantik,"
tambah Mao. "Saya menggunakan mereka sebagai penutup
kegiatan-kegiatan saya," potong Kissinger. "Di Paris", tanya
Mao. "Siapa saja yang menggunakan wanita-wanita cantik buat
menutupi kegiatannya, tentu ia tergolong diplomat yang ulung,"
kataku. "Jadi, kalian pun seringkali menggunakan wanita-wanita
kalian?" tanya Mao pula. "Maksud saya gadis-gadis dia, bukan
gadis-gadis saya. Bisa berabe kalau saya menggunakan wanita
sebagai selimut kegiatan saya," jawab saya segera.
"Saya suka orang-orang kanan. Orang mengatakan bahwa anda
termasuk golongan kanan -- bahwa Partai Republik ada di sisi
kanan -- bahwa PM Edward Heath juga orang kanan," kata Mao.
"Jangan lupa juga Jenderal de Gaulle," sambung saya. "Oh, dia
lain. Tapi saya selalu senang kalau kaum kanan berkuasa. Di
Amerika, paling tidak sekarang ini orang-orang kanan bisa
berbuat banyak yang orang-orang kiri cuma omongkan," kata Mao.
Kesombongan
Kami kemudian dibawa untuk menyaksikan Opera Peking. Pengantar
kami adalah Chou En-lai dan Chiang Ching. Saya sadar bahwa
Chiang Ching ini merupakan salah satu orang yang tak menyetujui
kedatangan kami. Ia seorang ideolog yang fanatik.
Sekilas saja saya tahu wanita ini tak punya rasa humor sama
sekali. Berlainan sekali dengan Mao dan Chou. Adalah suatu
kenyataan pula bahwa kebanyakan wanita RRC yang saya jumpai,
terutama yang muda-muda seperti yang jadi sekretaris Mao, punya
satu kekhususan. Mereka itu kurang ramah, serius di samping tak
ada rasa humor. Mereka lebih punya dedikasi -- tampaknya --
terhadap ideologi ketimbang kaum prianya. Chiang Ching sendiri,
pada pendapat saya orangnya agresif dan sangat tak menyenangkan.
Salah satu alasan kenapa orang-orang Cina itu mudah diajak
berunding adalah ketidak hadiran kesombongan dalam pikiran
mereka. Tidak seperti halnya orang Rusia yang selalu yakin bahwa
apa yang dikatakan atau diperbuatnya merupakan yang terhebat,
orang Cina sebaliknya. Mereka sangat gandrung akan kritik diri.
Mereka selalu menanyakan kepada orang asing dan meminta nasihat
bagaimana caranya menyempurnakan karya-karya mereka.
Juga Chiang Ching yang kelihatannya angker itu. Ketika saya
mengatakan terkesan dengan pertunjukan baletnya, ia mengatakan:
"Baik sekali kalau anda bisa mengertinya. Tapi apa nasihat anda
agar balet itu lebih sempurna?" Ketika Chou En-lai terus saja
ngomong tentang perlunya mereka menyempurnakan diri, pikiran
saya melayang kepada Kruschev yang ngomongnya gede dan selalu
penuh dengan bombastisme. Saya jadi terpikir bahwa apa yang
dianut orang-orang Cina ini pasti lebih sehat ketimbang kelakuan
orang-orang Rusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini