MUNGKIN bersama Djoe, rasa olehku lebih banyak 'suka' daripada
'duka'nya. Dan dalam keadaan 'suka', waktu memang terasa terbang
dengan cepat."
Itulah yang ditulis Sudiro ketika 'tiba-tiba' saja ia menyadari
telah setengah abad hidup bersama Djoe, 13 Desember yang lalu.
Sudiro dan Siti Djauhari saling jatuh cinta 52 tahun yang silam.
Setelah setahun pacaran dan setahun bertunangan, mereka menikah
13 Desember 1931.
"Waktu itu gantengnya sampai ke mana-mana," kenang Djoe sarnbil
tertawa. "Ya. Tapi meskipun sudah tunangan, kalau nonton
berdua, calon mertua saya selalu ikut. Takut saya nakal," tambah
suaminya.
Sudiro sendiri mengaku senang sama pacarnya itu karena "punya
cita-cita sama."
Djoe itu pula yang selalu mendampinginya mulai dari ketika
Sudiromenjadi penjual kelapa, guru, residen Surakarta, residen
gerilya, gubernur Sulawesi sampai pensiunan dan diangkat
menjadi, anggota DPA sejak 1978.
Adalah Sudiro juga yang menjabat Gubernur-Walikota Jakarta Raya
(1953-1960) an menyatakan menak ketika akan diangkat kembali.
Ia berani bilang tidak, padahal "Bung Karno waktu itu sedang
berada di puncak kekuasaan dan kepopulerannya," kata Ir. Tarto
W. Sudiro, anaknya yan nomor tiga.
Sudiro punya lima anak Tuti, Tito, Tarto, Titi dan Tanto.
Anak-anak dan cucu-cucunya itulah yang kemudian memeriahkan
pesta Kawin Emas Sudiro di Gedung Nyi Ageng Serang, Jakarta.
Kepada para umu yang diundangnya, Sudiro berpesan, "Jangan
membawa kado seperti untuk pengantin baru. Tapi foto keluarga
saja." Maksudnya kalau usia mereka sudah sangat tua, bisa meng
habiskan waktu di kursi malas sambil membuka-buka album itu.
Presiden dan Wakil Presiden tidak diundang tapi juga dimintai
foto. Karena itulah Sudiro memperoleh foto Pak Harto dan Ibu
Tien ukuran kabinet. Pak Harto pakai blangkon ungu, Ibu Tien
berkebaya dengan kembang-kembang ungu pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini